Dua tahun belakangan ini saya banyak
bertemu dan mendampingi pasien segala umur. Namun,
pasien lansia adalah mayoritas yang saya temui di kota kecil kami. Pertama kali
mendapatkan teori tentang definisi lansia membuat saya tersenyum simpul
sendiri. Ignatavicius membagi
lansia dalam empat kategori:
1. Lansia muda: usia
65-74 tahun
2. Lansia menengah:
usia 75-84 tahun
3. Lansia tua: usia
85-99 tahun
4. Lansia elit: usia
100 tahun ke atas.
Mengapa saya
tersenyum? Karena saya bisa berkata pada Ibunda bahwa beliau belum 'tua"!
Ya, ibu saya yang KTPnya setahun lebih tua dari usia aslinya (karena jadul,
sekolah atau lurah enak saja memberikan tanggal lahir pada anak :))
berusia 61 tahun.
Tinggal Bersama
Orang Tua
Sebelum menikah,
saya selalu tinggal bersama orang tua, kecuali saat saya studi atau training di
luar negeri. Setelah menikah, saya keluar dari rumah orang tua, dan tinggallah
kedua orang tua saya dan adik yang tinggal bersama orang tua sampai kini.
Saat saya masih
single, saya selalu berharap dapat tinggal bersebelahan dengan orang tua saya.
Sayapun telah merencanakan agar saya, orang tua dan adik saya dapat tinggal
bersebelahan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, jauh hari saya dan
ayahanda membeli dua kapling tanah yang bersebelahan di daerah Sawangan,
Bogor, tak jauh dari perumah ARCO Sawangan. Lokasinya sangat tak strategis 20
tahun yang lalu, namun dengan luas tanah 1000 meter persegi perkaplingnya kami
fikir dapat dibangun tiga rumah mungil bagi kami dua bersaudara dan rumah masa
tua ayah ibunda.
Ternyata saat rencana
tersebut belum terwujud, ayahanda sakit dan meninggal sebelum adik menikah. Saya
sendiri tinggal jauh dari mereka berdua. Sejak ayah meninggal, ibunda sangat jauh
berubah. Beliau sangat kehilangan ayah dari kesehariannya. Ibu seakan
kehilangan motivasi hidupnya. Akhirnya pengurusan sertifikasi tanah kepunyaan
ayah juga tertunda-tunda.
Kepala desa di
daerah kapling yang kami beli rupanya juga meninggal tak lama setelah ayahanda
meninggal. Tanpa sepengetahuan kami, anak-anak beliau yang bersengketa membuat
surat tanah palsu dan menjual kepada orang lain. Sang pembeli yang kaya,
langsung membuat sertifikat tanah atas namanya. Jadilah kami yang terkejut,
saat mengajukan pembuatan sertifikat tanah, dijawab dengan pernyataan bahwa tanah
tersebut sudah ada sertifikasinya atas nama orang lain! Hal ini tak akan terjadi di Amerika. Masalah pertanahan sangat teratur dan terbuka, dapat dimonitor dari manapun dan tak dapat dipalsukan semena-mena.
Orang tua
saya, sangat jarang terikat dengan materi. Setiap Ayahanda pindah,
beliau menyerahkan begitu saja tanah, rumah atau milik pribadi kepada yang
memerlukan, dan tak pernah mengingatnya atau sampai memintanya kembali. Hanya
ketika kami sepakat untuk membangun rumah berdekatan, beliau tergerak untuk
membeli kapling di sana. Tanah dan rumah lainnya beliau beli untuk
membantu teman yang memerlukan biaya. Sebelumnya, saya dan ayahanda pernah juga membeli
tanah dekat lokasi yang sama, karena ajakan teman pengajar di UI, namun
akhirnya berbuntut sama, karena yang mengelola menjual kembali tanah kami ke
orang lain. Ayahanda tak mengusutnya lebih lanjut, karena beliau mengenal ybs.
Allah Maha Adil katanya sambil tersenyum, "Belum rezeki kita."
Masya Allah sabarnya
ayahanda dalam menangani banyak hal dalam kehidupannya, sehingga banyak orang
yang berdatangan untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan persaudaraan sesama
muslim. Kepala desa pemilik tanah asal juga salah satu tamu reguler kami dulu.
Beliau sangat santun dan ramah, dan menepati janji. Namun, belasan anak dari
berbagai istri yang ditinggalkannya ketika meninggal tak semuanya begitu.
Ibunda memutuskan
melepas tangan dari haknya, selain saat itu masih dalam keadaan berduka,
kondisi fisiknya juga drop. Apalagi pengacara yang bersedia membantu menggugat
perkara meminta biaya yang tak kalah aduhainya. Jadilah ibu memutuskan menyerah
dan kehilangan peninggalan almarhum Ayahanda. Alhamdulillah, beliau masih
meninggalkan properti lain dan biaya hidup yang cukup bagi Ibunda,
sehingga Ibunda tak kekurangan. Saya hanya tertegun mendengarnya. Apalagi, ibu baru memberitahu saya setelah peristiwa berlalu. Andaikan saya ada
di sisi ibu, minimal saya bisa berlari ke sana-sini mengurus pengembalian hak
keluarga. Pelajaran bersabar yang luar biasa bagi ibu.
Sejak peristiwa itu
saya bertekad untuk dapat tinggal dan merawat Ibunda. Suatu hal yang ironis,
karena sampai detik ini saya masih tinggal ribuan mil jauhnya dari beliau.
Begitu egoisnya keinginan saya untuk memastikan beliau dalam keadaan baik,
sampai-sampai saya meminta adik untuk terus tinggal bersama Ibunda.
Di Amerika
Saat saya datang ke
Amerika, saya tinggal pertama kali di Maryland, di daerah kantong kota
yang padat dengan imigran. Saya terheran-heran melihat banyaknya gereja di
mana-mana, dan setiap hari Minggunya dipenuhi oleh para lansia. Setelah
beberapa waktu barulah saya menyadari, bahwa meskipun apa yang saya lihat di
film-film Hollywood tak selamanya refleksi dari kehidupan sehari-hari orang
Amerika, namun benar, mayoritas penduduk mereka keluar dari rumah orang
tua setelah usia 18 tahun atau setelah selesai SMA.
Saya saat itu
tinggal di apartemen, dan banyak dari penghuni apartemen adalah lansia. Rupanya
setelah pensiun mereka fikir tinggal di rumah besar hanya suami istri lansia
membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk merawatnya. Jadilah mereka memilih
menjual rumah mereka, tinggal di apartemen atau condo (apartemen yang merupakan
milik sendiri). Saya sedih melihat para lansia tertatih-tatih berjalan
dari atau ke apartemen mereka. Banyak yang masih menyupir kendaraan mereka
sendiri. Saat ke supermarket, mereka selalu membawa kereta benjaan sendiri yang
bisa dilipat. Saat itu saya merasa, kok anak-anak mereka tega, ya?
Setelah banyak
berbincang dengan para lansia yang saya temui saat klinikal maupun saat
bekerja, mereka mayoritas malah bangga dengan 'kesendirian' mereka. Tak jarang
mereka memandang hubungan orang tua anak ala Asia terlalu memasuki daerah
privasi masing-masing. Bahkan ada yang terang-terangan memberi selamat kepada
saya yang memilih tinggal jauh dari orang tua. "Kau sekarang seperti orang
Amerika umunya!" Mereka tak tahu apa sebenarnya yang ada di hati saya.
Dua tahun ini saya
banyak melihat pasien lansia dengan segala komplikasi yang dideritanya. Ada
juga yang sudah pikun dan tak mengenali keluarga mereka sendiri. Ada yang
bahkan sampai tak tahu siapa dirinya lagi, tak dapat berjalan sendiri, tak
dapat melihat, tak dapat mendengar, dan tak dapat makan selain makanan
mekanikal (puree).
Setelah terjun
langsung di lapangan, barulah saya tahu bahwa kebanyakan para lansia di Amerika
tinggal di rumah mereka sendiri, baik itu rumah biasa atau apartemen/condo.
Mereka baru ke rumah sakit bila sakit. Mereka berobat jalan ke dokter praktek,
dan yang sudah tak bisa menyetir sendiri bisa mendapatkan fasilitas antar
jemput ke dokter, supermarket, gereja atau ke tempat lainnya. Fasilitas ini
diberikan oleh County
atau dapat juga mereka dapatkan dari perusahaan swasta.
Bila mereka tak dapat lagi beraktifitas
normal dalam kesehariannya, mereka dapat pindah dari rumah atau apartemen/condo
ke Assisted Living. Assisted
living ini berbeda dengan rumah jompo. Perusahaan yang mengelola
tak hanya menyediakan perumahan, makanan, dan rekreasi, namun juga menyediakan
sarana kebersihan/housekeeping,
sampai sarana medis. Mahal? Tergantung tingkat sarana dan servis yang
digunakan. Yang termurah dari kisaran 3500 dollar perbulan sampai 8000 dollar
perbulannya. Lansia mendapatkan apartemen/kamar seperti studio, ada juga yang
1LDK (satu kamar tidur, living room, dining room, kitchen) atau 2LDK. Mereka
masih dapat beraktifitas sebagaimana di rumah sendiri, namun mereka makan
bersama di dining hall yang ada di setiap lantainya. Pegawai memastikan para
lansia tersebut bangun tepat waktu, makan tepat waktu, meminum obat yang harus
mereka konsumsi, mengikuti aktifitas yang disediakan institusi, hingga tidur
tepat waktu pula.
Bila lansia tersebut mempunyai kondisi
kesehatan yang kronis dan perlu pemantauan dan perawatan 24 jam seharinya,
sementara tak ada keluarga yang sanggup mennagani karena berbagai hal, biasanya
lansi ini dikirimkan ke panti jompo/Nursing
Home. Di sini mereka ditempatkan di kamar-kamar persis seperti
kamar inap rawat di rumah sakit. Pegawai di
Nursing Home sebagian besar adalah perawat berlisensi. Selain
mereka ada bagian kebersihan, bagian laundry, bagian makanan, bagian
administrasi dan Pastoral. Biaya untuk nursing home jauh lebih mahal dari biaya
di Assisted Living, karena
ini seperti tinggal di rumah sakit secara permanen.
Bedanya, di sini para pasien harus makan
di dining hall saat sarapan, makan siang dan makan malam. Mereka memepunyai
beragam pilihan aktifitas juga. Namun kebanyakan penghuni Nursing Home ini juga
menderita kepikunan/dimentia. Satu perawat bias
menangani 8 sampai 12 lansia per shiftnya ( 8-12 jam).
Bagi lansia yang terkena dementia/kepikunan, ada
Nursing Home khusus bagi orang pikun. Ini biayanya termahal dari semua pilihan
yang ada. Bayangkan seperti ward/pavilion khusus di rumah sakit dengan
penanganan intensif. Perawat menangani 3-5 orang lansia per shiftnya (8-12
jam). Biasanya lansia juga sudah dalam masa kritis, dan menanti ajal, sehingga
merekapun dikunjungi oleh tim medis khusus untuk Hospice/perawatan
menjelang ajal.
Bagi lansia yang sudah divonis ‘mati’ dan tak dapat
disembuhkan secara medis oleh dokter, mereka berhak mendapatkan pelayanan Hospice
karena ini adalah bagian dari sistem medis dan kesehtan di Amerika (Program
Medicare/Medicaid). Jangka waktu pelayanan ini adalah selama setengah tahun,
mereka akan mendapatkan kunjungan rutin baik dari asisten perawat, perawat,
terapis, sampai dokter. Lansia dapat tetap tinggal di rumah mereka, atau di
nursing home selama mendapatkan perawatan ini. Biayanya? Selama saat muda
mereka bekerja, dan uang Social Security mereka mencapai lama tahun yang
disyaratkan (minimal 8 tahun bekerja utnuk satu pekerjaan), maka mereka berhak
mendapatkan uang Social Security. Sedangkan fasilitas Medicare/Medicaid
ini tergantung dari diagnosa dokter. Social worker dari rumah sakit yang
akan mengurus pasien mendapatkan Medicare/Medicaid.
Saat sendiri
Saya tetap tak dapat mengubah prinsip saya bahwa
kewajiban sayalah untuk merawat orang tua saya saat mereka tua. Ayah saya
meninggal di usia 64 tahun, belum masuk kategori manula menurut teori yang ada.
Sementara Ibu saya masih 4 tahun lagi sampai memasuki usia lansia.
Dengan perubahan pola kehidupan di Indonesia, termasuk
di Jakarta, tak mudah lagi menemukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaan
rumah seperti saat saya kecil dulu. Jangankan berfikir untuk membayar orang
untuk merawat ibu, kini sangatlah sulit mencari pekerja asisten rumah tangga,
atau baby sitter untuk keluarga adik. Akhirnya ibu saya banyak turun membantu
dari menjaga cucu, memasak, hingga urusan merawat keluarga. Terbalik jadinya.
Saya teringat seorang lansia di sini yang punya dua
putri yang tinggalnya ribuan mil dari dirinya. Ke dua putrinya bergantian
mengunjungi sang ibu sekali sebulannya dan menjaga ibunya selama 3 sampai 5
hari. Sang ibu tinggal sendiri dan hanya didampingi oleh penjaga dari
perusahaan yang dibayar oleh ke dua putrinya. Pertama melihat nenek ini, saya
langsung teringat kepada ibu saya di Jakarta. Langsung saya berdoa, semoga saya
dapat merawat langsung ibu saya di hari tuanya nanti. Saya juga berdoa, semoga
saat saya lansia nanti tak menemui kondisi seperti nenek ini.
Kedua putri nenek tersebut kaya raya, namun mereka
bilang, mereka tak sanggup tinggal dengan ibu mereka sendiri karena tak tahan
dengan perangai ibunda. Sang ibu yang mendekati usia 90 tahun sangat keukeuh
dengan segala aturannya dan akan marah besar bila tak dituruti. Meskipun sudah
sangat 'pelupa', namun mereka semua tak mau ibunya disebut pikun. Mereka
memilih mengeluarkan puluhan ribu dollar sebulannya dengan tetap tinggal
berjauhan. Saya sangat sedih melihatnya.
Andaikan saya tua nanti, ingin saya tinggal berdekatan
dengan anak-anak saya. Tak harus tinggal satu rumah, namun dekat dengan anak
cucu. Pastinya ibu saya juga mengharapkan hal yang sama. Alhamdulillah, adik
saya dan keluarganya berbesar hati bersedia tinggal dengan ibu. Tinggal dengan
orang tua pasti penuh suka duka, pasti banyak privasi yang terlanggar, pasti
diwarnai juga dengan konflik. Namun, sangat jauh lebih baik dari pada
keseharian sang nenek kaya yang anak-anaknya saja 'emoh' tinggal bersamanya.
Meskipun setiap datang membawa hadiah dan bunga serta berbagai macam hal yang
dianggap dapat membahagiakan sang ibu, tak ada yang lebih membahagiakannya
lebih dari ketulusan kasih seorang anak yang dengan hormat dan santun merawat
orang tua dengan tulus, menjaga rahasianya, menutupi aibnya, hingga berpisah
dari dunia ini.
Jadi lansia mesti dirawat anak
atau dirawat negara? Sayangnya di Indonesia belum ada sistem kesehatan terpadu
yang menjamin kesejahteraan penduduknya dari sebelum lahir sampai meninggalnya.
Begitu sakit, habis terkuraslah semua tabungan dan harta benda yang dimiliki
untuk membayar biaya medis. Seharusnyalah tidak sampai begitu. Saya tak hanya
menantikan sistem kesehatan universal yang ideal di Amerika, tetapi juga
di Indonesia.
Semoga di Jakarta kehidupan
nafsi-nafsi tak mengubah para anak menjadi 'emoh' merawat orang tua
masing-masing.
Hani
Louisville 2014