Showing posts with label land. Show all posts
Showing posts with label land. Show all posts

Sunday, January 5, 2014

#24 Merawat Lansia=Kewajiban Anak?

 


Dua tahun belakangan ini saya banyak bertemu dan mendampingi pasien segala umur. Namun, pasien lansia adalah mayoritas yang saya temui di kota kecil kami. Pertama kali mendapatkan teori tentang definisi lansia membuat saya tersenyum simpul sendiri. Ignatavicius membagi lansia dalam empat kategori:

1. Lansia muda: usia 65-74 tahun

2. Lansia menengah: usia 75-84 tahun

3. Lansia tua: usia 85-99 tahun

4. Lansia elit: usia 100 tahun ke atas. 

Mengapa saya tersenyum? Karena saya bisa berkata pada Ibunda bahwa beliau belum 'tua"! Ya, ibu saya yang KTPnya setahun lebih tua dari usia aslinya (karena jadul, sekolah atau lurah enak saja memberikan tanggal lahir pada anak  :)) berusia 61 tahun.  

Tinggal Bersama Orang Tua 

Sebelum menikah, saya selalu tinggal bersama orang tua, kecuali saat saya studi atau training di luar negeri. Setelah menikah, saya keluar dari rumah orang tua, dan tinggallah kedua orang tua saya dan adik yang tinggal bersama orang tua sampai kini.

Saat saya masih single, saya selalu berharap dapat tinggal bersebelahan dengan orang tua saya. Sayapun telah merencanakan agar saya, orang tua dan adik saya dapat tinggal bersebelahan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, jauh hari saya dan ayahanda membeli dua kapling tanah yang bersebelahan di daerah Sawangan, Bogor, tak jauh dari perumah ARCO Sawangan. Lokasinya sangat tak strategis 20 tahun yang lalu, namun dengan luas tanah 1000 meter persegi perkaplingnya kami fikir dapat dibangun tiga rumah mungil bagi kami dua bersaudara dan rumah masa tua ayah ibunda.

Ternyata saat rencana tersebut belum terwujud, ayahanda sakit dan meninggal sebelum adik menikah. Saya sendiri tinggal jauh dari mereka berdua. Sejak ayah meninggal, ibunda sangat jauh berubah. Beliau sangat kehilangan ayah dari kesehariannya. Ibu seakan kehilangan motivasi hidupnya. Akhirnya pengurusan sertifikasi tanah kepunyaan ayah juga tertunda-tunda. 

Kepala desa di daerah kapling yang kami beli rupanya juga meninggal tak lama setelah ayahanda meninggal. Tanpa sepengetahuan kami, anak-anak beliau yang bersengketa membuat surat tanah palsu dan menjual kepada orang lain. Sang pembeli yang kaya, langsung membuat sertifikat tanah atas namanya. Jadilah kami yang terkejut, saat mengajukan pembuatan sertifikat tanah, dijawab dengan pernyataan bahwa tanah tersebut sudah ada sertifikasinya atas nama orang lain! Hal ini tak akan terjadi di Amerika. Masalah pertanahan sangat teratur dan terbuka, dapat dimonitor dari manapun dan tak dapat dipalsukan semena-mena.

Orang tua saya, sangat jarang terikat dengan materi. Setiap Ayahanda pindah, beliau menyerahkan begitu saja tanah, rumah atau milik pribadi kepada yang memerlukan, dan tak pernah mengingatnya atau sampai memintanya kembali. Hanya ketika kami sepakat untuk membangun rumah berdekatan, beliau tergerak untuk membeli kapling di sana.  Tanah  dan rumah lainnya beliau beli untuk membantu teman yang memerlukan biaya. Sebelumnya, saya dan ayahanda pernah juga membeli tanah dekat lokasi yang sama, karena ajakan teman pengajar di UI, namun akhirnya berbuntut sama, karena yang mengelola menjual kembali tanah kami ke orang lain. Ayahanda tak mengusutnya lebih lanjut, karena beliau mengenal ybs. Allah Maha Adil katanya sambil tersenyum, "Belum rezeki kita."

Masya Allah sabarnya ayahanda dalam menangani banyak hal dalam kehidupannya, sehingga banyak orang yang berdatangan untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan persaudaraan sesama muslim. Kepala desa pemilik tanah asal juga salah satu tamu reguler kami dulu. Beliau sangat santun dan ramah, dan menepati janji. Namun, belasan anak dari berbagai istri yang ditinggalkannya ketika meninggal tak semuanya begitu. 

Ibunda memutuskan melepas tangan dari haknya, selain saat itu masih dalam keadaan berduka, kondisi fisiknya juga drop. Apalagi pengacara yang bersedia membantu menggugat perkara meminta biaya yang tak kalah aduhainya. Jadilah ibu memutuskan menyerah dan kehilangan peninggalan almarhum Ayahanda. Alhamdulillah, beliau masih meninggalkan properti lain dan  biaya hidup yang cukup bagi Ibunda, sehingga Ibunda tak kekurangan. Saya hanya tertegun mendengarnya. Apalagi, ibu baru memberitahu saya setelah peristiwa berlalu. Andaikan saya ada di sisi ibu, minimal saya bisa berlari ke sana-sini mengurus pengembalian hak keluarga. Pelajaran bersabar yang luar biasa bagi ibu. 

Sejak peristiwa itu saya bertekad untuk dapat tinggal dan merawat Ibunda. Suatu hal yang ironis, karena sampai detik ini saya masih tinggal ribuan mil jauhnya dari beliau. Begitu egoisnya keinginan saya untuk memastikan beliau dalam keadaan baik, sampai-sampai saya meminta adik untuk terus tinggal bersama Ibunda.

Di Amerika 

Saat saya datang ke Amerika, saya tinggal pertama kali di Maryland, di daerah kantong kota yang padat dengan imigran. Saya terheran-heran melihat banyaknya gereja di mana-mana, dan setiap hari Minggunya dipenuhi oleh para lansia. Setelah beberapa waktu barulah saya menyadari, bahwa meskipun apa yang saya lihat di film-film Hollywood tak selamanya refleksi dari kehidupan sehari-hari orang Amerika, namun benar, mayoritas penduduk mereka keluar dari rumah orang tua setelah usia 18 tahun atau setelah selesai SMA. 

Saya saat itu tinggal di apartemen, dan banyak dari penghuni apartemen adalah lansia. Rupanya setelah pensiun mereka fikir tinggal di rumah besar hanya suami istri lansia membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk merawatnya. Jadilah mereka memilih menjual rumah mereka, tinggal di apartemen atau condo (apartemen yang merupakan milik sendiri). Saya sedih melihat para lansia tertatih-tatih berjalan dari atau ke apartemen mereka. Banyak yang masih menyupir kendaraan mereka sendiri. Saat ke supermarket, mereka selalu membawa kereta benjaan sendiri yang bisa dilipat. Saat itu saya merasa, kok anak-anak mereka tega, ya? 

Setelah banyak berbincang dengan para lansia yang saya temui saat klinikal maupun saat bekerja, mereka mayoritas malah bangga dengan 'kesendirian' mereka. Tak jarang mereka memandang hubungan orang tua anak ala Asia terlalu memasuki daerah privasi masing-masing. Bahkan ada yang terang-terangan memberi selamat kepada saya yang memilih tinggal jauh dari orang tua. "Kau sekarang seperti orang Amerika umunya!" Mereka tak tahu apa sebenarnya yang ada di hati saya. 

Dua tahun ini saya banyak melihat pasien lansia dengan segala komplikasi yang dideritanya. Ada juga yang sudah pikun dan tak mengenali keluarga mereka sendiri. Ada yang bahkan sampai tak tahu siapa dirinya lagi, tak dapat berjalan sendiri, tak dapat melihat, tak dapat mendengar, dan tak dapat makan selain makanan mekanikal (puree). 

Setelah terjun langsung di lapangan, barulah saya tahu bahwa kebanyakan para lansia di Amerika tinggal di rumah mereka sendiri, baik itu rumah biasa atau apartemen/condo. Mereka baru ke rumah sakit bila sakit. Mereka berobat jalan ke dokter praktek, dan yang sudah tak bisa menyetir sendiri bisa mendapatkan fasilitas antar jemput ke dokter, supermarket, gereja atau ke tempat lainnya. Fasilitas ini diberikan oleh County atau dapat juga mereka dapatkan dari perusahaan swasta.  

Bila mereka tak dapat lagi beraktifitas normal dalam kesehariannya, mereka dapat pindah dari rumah atau apartemen/condo ke Assisted Living. Assisted living ini berbeda dengan rumah jompo. Perusahaan yang mengelola tak hanya menyediakan perumahan, makanan, dan rekreasi, namun juga menyediakan sarana kebersihan/housekeeping, sampai sarana medis. Mahal? Tergantung tingkat sarana dan servis yang digunakan. Yang termurah dari kisaran 3500 dollar perbulan sampai 8000 dollar perbulannya. Lansia mendapatkan apartemen/kamar seperti studio, ada juga yang 1LDK (satu kamar tidur, living room, dining room, kitchen) atau 2LDK. Mereka masih dapat beraktifitas sebagaimana di rumah sendiri, namun mereka makan bersama di dining hall yang ada di setiap lantainya. Pegawai memastikan para lansia tersebut bangun tepat waktu, makan tepat waktu, meminum obat yang harus mereka konsumsi, mengikuti aktifitas yang disediakan institusi, hingga tidur tepat waktu pula. 

Bila lansia tersebut mempunyai kondisi kesehatan yang kronis dan perlu pemantauan dan perawatan 24 jam seharinya, sementara tak ada keluarga yang sanggup mennagani karena berbagai hal, biasanya lansi ini dikirimkan ke panti jompo/Nursing Home. Di sini mereka ditempatkan di kamar-kamar persis seperti kamar inap rawat di rumah sakit. Pegawai di Nursing Home sebagian besar adalah perawat berlisensi. Selain mereka ada bagian kebersihan, bagian laundry, bagian makanan, bagian administrasi dan Pastoral. Biaya untuk nursing home jauh lebih mahal dari biaya di Assisted Living, karena ini seperti tinggal di rumah sakit secara permanen.  

Bedanya, di sini para pasien harus makan di dining hall saat sarapan, makan siang dan makan malam. Mereka memepunyai beragam pilihan aktifitas juga. Namun kebanyakan penghuni Nursing Home ini juga menderita kepikunan/dimentia. Satu perawat bias menangani 8 sampai 12 lansia per shiftnya ( 8-12 jam). 

Bagi lansia yang terkena dementia/kepikunan, ada Nursing Home khusus bagi orang pikun. Ini biayanya termahal dari semua pilihan yang ada. Bayangkan seperti ward/pavilion khusus di rumah sakit dengan penanganan intensif. Perawat menangani 3-5 orang lansia per shiftnya (8-12 jam). Biasanya lansia juga sudah dalam masa kritis, dan menanti ajal, sehingga merekapun dikunjungi oleh tim medis khusus untuk Hospice/perawatan menjelang ajal. 

Bagi lansia yang sudah divonis ‘mati’ dan tak dapat disembuhkan secara medis oleh dokter, mereka berhak mendapatkan pelayanan Hospice karena ini adalah bagian dari sistem medis dan kesehtan di Amerika (Program Medicare/Medicaid). Jangka waktu pelayanan ini adalah selama setengah tahun, mereka akan mendapatkan kunjungan rutin baik dari asisten perawat, perawat, terapis, sampai dokter. Lansia dapat tetap tinggal di rumah mereka, atau di nursing home selama mendapatkan perawatan ini. Biayanya? Selama saat muda mereka bekerja, dan uang Social Security mereka mencapai lama tahun yang disyaratkan (minimal 8 tahun bekerja utnuk satu pekerjaan), maka mereka berhak mendapatkan uang Social Security. Sedangkan fasilitas Medicare/Medicaid ini tergantung  dari diagnosa dokter. Social worker dari rumah sakit yang akan mengurus pasien mendapatkan Medicare/Medicaid.

Saat sendiri

Saya tetap tak dapat mengubah prinsip saya bahwa kewajiban sayalah untuk merawat orang tua saya saat mereka tua.  Ayah saya meninggal di usia 64 tahun, belum masuk kategori manula menurut teori yang ada. Sementara Ibu saya masih 4 tahun lagi sampai memasuki usia lansia.

Dengan perubahan pola kehidupan di Indonesia, termasuk di Jakarta, tak mudah lagi menemukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaan rumah seperti saat saya kecil dulu. Jangankan berfikir untuk membayar orang untuk merawat ibu, kini sangatlah sulit mencari pekerja asisten rumah tangga, atau baby sitter untuk keluarga adik. Akhirnya ibu saya banyak turun membantu dari menjaga cucu, memasak, hingga urusan merawat keluarga. Terbalik jadinya. 

Saya teringat seorang lansia di sini yang punya dua putri yang tinggalnya ribuan mil dari dirinya. Ke dua putrinya bergantian mengunjungi sang ibu sekali sebulannya dan menjaga ibunya selama 3 sampai 5 hari. Sang ibu tinggal sendiri dan hanya didampingi oleh penjaga dari perusahaan yang dibayar oleh ke dua putrinya. Pertama melihat nenek ini, saya langsung teringat kepada ibu saya di Jakarta. Langsung saya berdoa, semoga saya dapat merawat langsung ibu saya di hari tuanya nanti. Saya juga berdoa, semoga saat saya lansia nanti tak menemui kondisi seperti nenek ini.
 
Kedua putri nenek tersebut kaya raya, namun mereka bilang, mereka tak sanggup tinggal dengan ibu mereka sendiri karena tak tahan dengan perangai ibunda. Sang ibu yang mendekati usia 90 tahun sangat keukeuh dengan segala aturannya dan akan marah besar bila tak dituruti. Meskipun sudah sangat 'pelupa', namun mereka semua tak mau ibunya disebut pikun. Mereka memilih mengeluarkan puluhan ribu dollar sebulannya dengan tetap tinggal berjauhan. Saya sangat sedih melihatnya.

Andaikan saya tua nanti, ingin saya tinggal berdekatan dengan anak-anak saya. Tak harus tinggal satu rumah, namun dekat dengan anak cucu. Pastinya ibu saya juga mengharapkan hal yang sama. Alhamdulillah, adik saya dan keluarganya berbesar hati bersedia tinggal dengan ibu. Tinggal dengan orang tua pasti penuh suka duka, pasti banyak privasi yang terlanggar, pasti diwarnai juga dengan konflik. Namun, sangat jauh lebih baik dari pada  keseharian sang nenek kaya yang anak-anaknya saja 'emoh' tinggal bersamanya. Meskipun setiap datang membawa hadiah dan bunga serta berbagai macam hal yang dianggap dapat membahagiakan sang ibu, tak ada yang lebih membahagiakannya lebih dari ketulusan kasih seorang anak yang dengan hormat dan santun merawat orang tua dengan tulus, menjaga rahasianya, menutupi aibnya, hingga berpisah dari dunia ini.

Jadi lansia mesti dirawat anak atau dirawat negara? Sayangnya di Indonesia belum ada sistem kesehatan terpadu yang menjamin kesejahteraan penduduknya dari sebelum lahir sampai meninggalnya. Begitu sakit, habis terkuraslah semua tabungan dan harta benda yang dimiliki untuk membayar biaya medis. Seharusnyalah tidak sampai begitu. Saya tak hanya menantikan sistem kesehatan universal yang ideal  di Amerika, tetapi juga di Indonesia.

Semoga di Jakarta kehidupan nafsi-nafsi tak mengubah para anak menjadi 'emoh' merawat orang tua masing-masing. 

Hani
Louisville 2014

Thursday, October 28, 2010

#21 Berhasil di Sekolah VS Berhasil Dalam Hidup

 
 
 

Sekolah sangat mahal di Indonesia. Ini adalah suatu realita yang kontradiktif dengan segala yang kita harapkan dan impikan selama ini. Susah payah kedua orang tua kita membesarkan dan mendidik kita, agar kita-kita mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan kehidupan beliau-beliau.
Ternyata semakin tinggi taraf pendidikan dan taraf kehidupan semakin naik pula biaya yang harus disediakan untuk dapat mengenyam segala fasilitas dan kenyamanan yang tersedia. 
Sudah bukan berita baru lagi bila dikabarkan sekolah favorit A mensyaratkan dua digit juta rupiah bila kita ingin memasukkan anak ke sana. Sementara menjamur puluhan, ratusan, ribuan sekolah lain yang tidak segan-segan mematok harga menjulang langit untuk memberi 1 tempat bagi buah hati kita.
Bila mereka yang jelas-jelas tak mampu berkompetisi hanya bisa mengurut dada dan mensyukuri apapun yang dapat mereka raih. Banyak pula di antara mereka yang tidak dapat mempunyai keinginan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah favorit/mahal. Sementara, sekolah negeri 'tak favorit'pun sekarang semakin banyak mematok uang sumbangan. Kemana lagi para orang tua ini mesti berpaling? 
"Ya Mbak....anak tante kan nggak pinter-pinter amat, sudah UMPTN gagal, masuk ke PT swasta mahal.....eh disuruh kursus nggak mau...maluu katanya...". "Masuk program Diploma...gengsi...akhirnya ya...cuma ubak-ubek ke sana kemari sama temennya...tuh."
Saya teringat kata-kata orang tua teman SD saya, dulu. Teman saya, akhirnya masih bergantung kepada orang tuanya hingga kini. Satu-satunya kebanggaannya, 'menyetir mobil', hal yang sangat 'keren' masa-masa SMA, akhirnya yang menjadikannya sumber mata pencariannya. Itupun seringkali mogok, karena menjadi supir pribadi 'orang kaya' tidak bisa dijadikan penghasilan tetap dengan mentalitas dirinya yang masih merasa sebagai'orang kaya' karena orang tuanya yang kaya. 
Orang tua teman saya adalah produk yang melihat keberhasilan seseorang dari bebet, bibit bobot. Beliau pun mencari menantu yang minimal masih mempunyai gelar ningrat, yang pekerjaannya minimal insinyur atau dokter, yang orangnya cantik ganteng. Jadilah, teman saya ini selalu menolak tawaran pekerjaan yang menurutnya 'tidak bobot, bibit, bebet'. 
Sementara ada temannya sesama lulusan SMA dulu yang sama-sama ditawari pekerjaan untuk menjadi detailer obat, dan mengambil tawaran menjadi detailer perusahaan Farmasi, sekarang sudah berkeluarga mapan, dapat menyelesaikan Sarjana Ekonominya di sebuah Universitas Negeri Extension, sudah beralih posisi dari detailer menjadi posisi eksekutif di bagian marketing perusahaan yang sama. Padahal dua-duanya berangkat dari lulusan SMA dengan nilai yang biasa-biasa saja. 
Satu teman saya masih menikmati kebebasannya, tanpa pekerjaan, masih melajang, dan masih bergantung sepenuhnya kepada orang tua. Sementara temannya yang sama-sama ditawari pekerjaan yang 'dianggap'nya rendah, mengambil tawaran tersebut dan penuh ketekunan dan dedikasi sehingga sekarang mulai menikmati buah kerja kerasnya. Manakah yang lebih berhasil di dalam hidupnya?
Seringkali kita mendengar keluh kesah orang tua bahwa anak-anak mereka tidak cemerlang di dalam studinya. Seringkali juga kita dengar pomeo bahwa bila tidak berhasil dalam studi berarti sudah kehilangan satu anak tangga menuju keberhasilan hidup. 
Apa benar bila kita berhasil di dalam studi akan banyak mempengaruhi keberhasilan kita di dalam kehidupan? Ini adalah suatu tema yang abadi dari perdebatan banyak para ahli. Apa sebenarnya parameter keberhasilan dan kesuksesan di dalam hidup? 
Secara reliji, seringkali di dalam doa-doa yang muncul adalah permohonan dan harapan agar diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, lebih detail lagi dengan perinciian, umur panjang yang penuh berkah dan manfaat bagi semua, penuh kesehatan, dimudahkan dan dilancarkan dalam segala hal, diberikan kehidupan penuh kedamaian dan kemudahan, rezeki yang mengalir berlimpah tak putus, diberikan ilmu yang penuh manfaat, dibebaskan dari kesempitan, ketakutan, kemiskinan, kelaparan dan bencana, dan lain seterusnya. 
Tidak ada di dalam doa-doa permohonan untuk dijadikan orang bertitel dan menjadi orang jenius. Kenyataannya memang keberhasilan dalam studi tidak menjamin bahwa ybs akan otomatis berhasil di dalam kehidupannya. Hanya saja, memang, keberhasilan di dalam studi bisa menjadi satu faktor yang membuat seseorang menjadi berhasil di dalam kehidupan, meskipun hal ini tidaklah mutlak. Tidak sedikit orang yang tidak menuntaskan jenjang studi formalnya yang berhasil menjadi pengusaha besar. Sebut saja Bill Gates, atau pencipta Apple, atau banyak lagi sederetan nama baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Kalau kita melihat sekeliling pastinya akan banyak kita temui orang-orang yang sukses tanpa sederetan gelar-gelar pendidikan tinggi. 
Namun untuk di Indonesia, kelihatannya mayoritas orang masih melihat titel ataupun gelar-gelar yang disandang oleh seseorang dalam menentukan keberhasilan seseorang. Sehingga tak jarang ada orang yang setelah mampu secara ekonomi berusaha meraih gelar-gelar tersebut dengan segala cara, hingga membeli gelar.
 Di satu sisi, ini merupakan satu faktor yang menggembirakan untuk para praktisi akademisi. Ladang yang subur untuk meraup emas-berlian adalah BISNIS PENDIDIKAN. Berarti ini masa depan yang gemilang dan menjanjikan bagi mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan secara profesional. Di sisi lain, menimbulkan kompetisi baik sehat maupun tidak sehat bagi bangsa Indonesia di dalam meraih gelar-gelar pendidikan tinggi.
Saya sendiri mengalami saat-saat melihat perjuangan banyak orang untuk mengubah taraf kehidupan dan penghidupan mereka melalui pendidikan. Tak segan-segan banyak orang mengeluarkan uang berjuta-juta demi mendapatkan seberkas sertifikat/ijazah. Namun sayangnya, jarang ada di antara mereka yang murni belajar 'hanya' sekedar untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Walaupu banyak yang mendengungkan pentingnya EQ yang balans dengan IQ, selama ini yang saya temui adalah teman-teman atau orang-orang yang saya kenal yang berhasil di dalam studinya adalah mereka pula yang berhasil di dalam kehidupan. Hal ini memang kadang menimbulkan kecemburuan, dan iri hati. Benarkah mereka yang berhasil dalam studi sekaligus mereka mempunyai balans EQ dan IQnya? Sementara kita meyakini bahwa Allah SWT Sangat Maha Adil terhadap semua ciptaanNya. Apa ini berarti ada yang diciptakan untuk menjadi sukses dan ada yang diciptakan untuk sulit menjadi sukses?
Apakah ini diskrimanasi? Saya lebih cenderung mengatakan bahwa seperti seleksi alam, manusia hidup juga sangat kompetitif. Hidup adalah perjuangan, juga bukan sekedar slogan. Sehingga di manapun manusia hidup dan berada, dia yang diberikan fitrah dan kebebasan oleh Allah dalam memilih sendiri 'way of lifenya', bebas memilih 'faith dan beliefnya', bebas memilih 'medan tempur kehidupannya sendiri'.
Kita tak bisa hanya berteriak-teriak memprotes kesenjangan kesejahteraan dan kehidupan serta berbagai kenyamanan lain yang tak tergapai oleh mayoritas bangsa Indonesia. Sementara secara mentalitas, impian semua orang adalah sama yaitu menikmati semua kenyamanan tersebut tanpa kecuali. Selama mentalitas /idealisme kenyamanan kehidupan yang diimpikan oleh bangsa Indonesia masih satu versi, berarti seluruh bangsa Indonesia menceburkan diri ke dalam suatu "medan tempur besar materialisme dan borjuisme nasional".
Teman-teman saya dari bangsa lain kadang menyindir saya, katanya orang di Indonesia beragama, religius, kenapa ya sampai jadi negara terkorup dan masuk negara termiskin? Kalau religius, bukankah itu sangat kontradiktif dengan korup dan kemiskinan?
Mereka lebih menyindir lagi masalah pelanggaran HAM, dan masalah pelestarian sumber-sumber hayati negara. Apalagi mengetahui hasil report dan survey lembaga dunia/ media internasional mengenai gaya hidup para penguasa dan keluarga mereka.
Saya sangat susah untuk berkata-kata dan menjawabnya. Bagaimana bangsa Indonesia memilih pemimpin dan para pejabatnya?
Saya jadi teringat seorang teman, yang sampai diejek banyak orang karena ia menjawab, bahwa ia sebagai pribadi baru mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, dan "baru belajar"untuk menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Jawabannya yang sangat simple dan low-profile ini pada awalnya kedengaran kurang PD. Namun dibalik jawaban yang super simple ini, terkandung suatu percaya diri yang kuat. Lha, wong dia bisa bilang dapat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri berarti dia memililiki 'confidence' dapat take-control of his own-life.
Kebanyakan challenge dari mereka yang sukses di dalam studi adalah 'over-confident'. Apalagi bila sekolah yang dilalui adalah sekolah favorit di LN yang ternama dengan bidang yang super-sulit. Kebalikannya, mereka yang kurang berhasil di dalam studi seringkali dihinggapi hal sebaliknya. Tak PD dan terlalu PD ini sebenarnya bisa menghinggapi siapapun tanpa kecuali. Hanya saja memang selalu ada faktor-faktor pencetus dan pendukung timbulnya hal tersebut.
Banyak di antara teman yang setelah meraih gelar tertinggi di bidang akademisi menjadi 'terlahir' sebagai orang yang baru yang sudah mengubah 'medan tempur kehidupannya' dan beranjak ke stage yang lebih tinggi. Meskipun masih banyak pula yang tidak berubah gaya hidup serta personalitynya. Masih tetap bersahaja dan low-profile, dan bergaya hidup sederhana, tidak hanya mau bergaul dengan mereka yang dianggap selevel baik gaya hidup, pendidikan, maupun pergaulan.
Saya jadi teringat komentar seorang teman, yang setengah mengeluh mengatakan bahwa dirinya tidak dianggap di dalam pergaulan teman-temannya hanya karena dia dan suaminya tidak mempunyai gelar pendidikan tinggi dan level penghasilan mereka tidak sebanding dengan teman-temannya yang lain.
Baginya tidak jadi masalah bila tidak diajak dalam aktifitas lingkaran pergaulan teman-temannya yang sudah menanjak lebih baik, namun rasanya aneh dan menyakitkan bagi mereka untuk tiba-tiba saja menjadi kehilangan banyak teman lama karena kesenjangan pendidikan dan ekonomi keluarga.
Sementara ini saya masih belum berubah dalam berfikir bahwa pendidikan adalah satu jembatan emas yang mengantarkan manusia ke dalam kehidupan dan pendewasaan diri. Sehingga selayaknya, semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan akan semakin bijak dan pandai menempatkan dirinya di dalam pergaulan masyarakat. Itu adalah harapan dan idealism.
Masalahnya kini adalah, pendidikan seperti apa yang hendak diberikan kepada anak-anak kita, karena hal tersebut adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk membekali anak-anak kita dengan pendidikan yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka kelak.
Banyak di antara orang tua yang sekarang sering mengadaptasi cara pengasuhan dan pendidikan ala negara-negara Barat. Banyak hal yang sangat baik dalam menanamkan rasa percaya diri dan motivasi anak, namun kita perlu menengarai bahwa tidak semua yang masuk dari Barat bisa begitu saja kita terapkan di rumah. Meskipun teori pengasuhan dan pendidikan mereka melalui serangkaian percobaan dan pengujian, ada banyak hal yang berbeda dengan kultur budaya dan juga faktor faith-belief yang sering berbeda.
Salah satu diantaranya yang tidak saya dukung untuk saat ini adalah faham yang membebaskan orang tua dari kewajiban menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan tinggi seperti yang banyak terjadi di negara-negara Barat. Selepas SMA, anak-anak harus membiayai biaya pendidikan tinggi mereka sendiri, sementara orang tua mereka membeli rumah, properti atau mobil baru. Dengan situasi dan kondisi di Indonesia, secara realita sangatlah sulit bagi saya untuk melepas anak-anak mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikan tinggi mereka.
Sekarang, dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang kian jauh dari peta dan ranking kompetisi pendidikan dunia (silakan dicek sendiri ranking universitas-universitas Indonesia di peta pendidikan dunia) apa yang dapat kita harapkan dari pendidikan tinggi di Indonesia di masa mendatang bagi anak-anak kita?
Sementara kita masih bergelut dengan biaya pendidikan yang membumbung tinggi, universitas- universitas ternama membagikan ilmunya secara gratis. Siapa yang tidak tahu web-site Massachusett Institute of Technology: http:///ocw.mit.edu/index.html/ yang menawarkan program dari undergraduate sampai program doctoral secara on-line dan free. Bayangkan saja bila bangsa Indonesia bisa semudah itu mendapatkan pendidikan dan ilmu. Apalagi sekarang ada 5 universitas top di Jepang yang ikut bergabung di dalamnya.
Benarkah pendidikan on-line free benar-benar gratis? Tentu saja tidak. Setiap yang ikut tetap harus berdedikasi dalam belajarnya, belum lagi meluangkan untuk membaca dan membeli buku, kertas, belum biaya untuk on-line dan printing. Tidak ada pendidikan yang benar-benar gratis.
Masalahnya,sampai saat ini tidak ada satu perusahaan/kantor pun yang mau menerima karyawannya yang lulus semua program hingga doctoral program dengan nilai cum laude sekalipun, BILA tanpa sertifikat atau ijazah. Bila program on-line free tidak memberikan ijazah dan tidak mengizinkan pesertanya untuk menikmati fasilitas normal di dalam kampus, apakah ini berarti pembuktian akan mahalnya nilai sebuah ijazah /sertifikat?
(HI) Louisville, 2005

#20 Berburu Nama Indah Dan Baik Untuk Anak Tercinta

Nama adalah doa dan harapan orang tua yang setulusnya bagi anak kecintaannya. Setidaknya begitulah definisi mengenai "nama" yang saya yakini dan saya ikuti pula. Maaf ya Pak Shakespeare, " Apalah arti sebuah nama" mu tidak saya ikuti.

Seringkali saya termangu-mangu bila mendengar nama seseorang begitu indahnya di telinga saya. Lebih takjub lagi bila mengetahui arti sebuah nama, dan Subhanallah.... artinyapun begitu indahnya. Bless You Lord... 
Kadang ada nama-nama yang membuat saya menyusutkan air mata, karena keindahannya, karena artinya yang bagus, karena kesejukan dan keteduhan di dalam namanya yang memuji kebesaran Ilahi, namun ada juga nama-nama yang membuat saya syahdu dan iba karena saya bingung dengan namanya....

Saya teringat teman saya SD Watjih, yang selalu jadi bulan-bulanan anak-anak karena namanya yang mirip bunyi bersin. Padahal di luar dari namanya, semua yang ada padanya normal-normal saja.

Serba salah memang menjadi orang tua di saat-saat hendak memberikan nama kepada anak-anak tercintanya. Selain ingin memberikan nama yang bagus, indah dan bermakna baik, juga tidak ingin nama anak menjadi bahan tertawaan orang-orang di sekitarnya.

Siapa salah bila tertawa saat guru memanggil nama anak yang diberi nama: Kursi Jati oleh orangtuanya? Atau, nama Merdekakan Irianjaya? Selama saya bersekolah, kebetulan banyak yang orang tuanya menjadi pegawai negeri atau militer, sehingga nama-nama teman pun banyak yang unik. Ada yang pakai embel-embel Pahlawan, Satria, Wira, hingga nama pasukan tempur, nama pesawat tempur, nama peperangan, hingga nama tempat sewaktu orang tua ditempatkan.

Begitu bersekolah dengan latar belakang orang tua murid yang relijius, nama-nama relijius bermunculan. Suatu waktu, saya ada di kelas dengan separo murid laki-laki berawalan nama Ahmad dan Muhammad. Sementara nama murid perempuannya banyak yang berawalan Siti dan berakhiran -ah, atau bernama dari bahasa Arab.

Sewaktu di LN, banyak teman Indonesia yang memberikan nama pertama berupa nama khas anak-anak yang berada di negara tersebut. Sehingga tak jarang, teman-teman sewaktu di Jepang memberi nama anak-anak mereka dengan nama Jepang, Ryu, Hikari, Tomoji, Eiko, Tomoko, Yuki, Yukiko, Eriko, Erika dan nama lain sebagai kenang-kenangan untuk anak yang lahir di sana.

Sementara selalu ada perubahan dan pergeseran antara satu angkatan dengan angkatan sebelum dan sesudahnya. Bila masa orang tua kita, nama-nama cenderung sederhana dan artinya mudah dimengerti pendengarnya. Sementara, nama-nama angkatan kita semakin 'njlimet' karena sering merupakan modifikasi dari beberapa nama yang dijadikan satu.

Jangan tanya bila nama anak merupakan hasil perpendekan kata, seperti nama anak seorang penyanyi rock Indonesia kawakan Aldino, yang merupakan kependekan dari alhamdulillah dia nongol. Atau nama teman saya Nacea yang lahir tepat saat diluncurkannya pesawat pertama ke bulan, yang merupakan kependekan dari nama Neil Amstrong, Collins, Edwin Aldrin.

Yang menarik, sewaktu saya perhatikan, nama-nama angkatan orang tua saya adalah dua atau tiga nama yang dijadikan satu dan nama terakhir biasanya adalah nama orang tua(nama ayah). Sementara banyak pula yang nama mereka yang asli adalah nama pertama sedangkan dua nama di belakang mereka adalah nama orang tua(nama ayah).

Sedangkan nama teman-teman angkatan saya biasanya dua atau tiga nama pula. Namun bedanya dua-tiga nama ini hampir kesemuanya adalah nama sendiri. Yang membawa nama orang tua hanya mereka yang memakai marga misalnya Binsar Silalahi. Sebegitupun, ada beberapa nama teman yang tidak tanggung-tanggung sampai empat atau lima nama dijejer sekaligus. Siapa sangka KRSW Aji adalah kependekan dari Kelana Rahayu Segara Wastuning Aji. Nama laki-laki atau nama perempuan?

Seringkali saya berfikir, bagaimana sebenarnya para orang tua menentukan nama-nama tertentu kepada anak-anak mereka. Kadang banyak yang dapat memberikan nama-nama eksotis dan indah, sehingga belum ketemu orangnya saja sudah'kesengsem' dan jatuh cinta kepada namanya
.
Bicara soal nama eksotis, Dulu saya sering membayangkan memberi nama anak nama Latin,atau nama Sanskrit. Eh, sesudah siap dengan berbagai kemungkinan nama indah menurut versi sendiri....apa yang terjadi?

Punya suami dan keluarga mertua yang kukuh dengan tradisi pemberian nama yang berbau nama Arab, ternyata membuat semua usulan nama apapun sia-sia tidak terpakai.

Selama masa kehamilan dan pencarian nama, segala nama bayi dari ensiklopedia nama hingga semua web-site nama ditelusuri. Setiap hari, sepulang kerja biasanya suami saya hanya bertanya, bagaimana perkembangan pencarian namanya? Ada nama baru yang diperoleh? Herannya, saya dengan penuh semangat, seperti melapor kepada si Boss, setiap hari selalu punya usulan nama baru untuk si kecil yang masih di dalam perut. Ah, siapa tahu suami tercinta menjadi pionir dalam keluarganya memberi nama yang tidak 100% dari bahasa Arab?

Tidak berhenti hanya di situ, setiap ke toko buku yang dilirik buku nama anak, hingga ketemu dengan grup ibu-ibu yang ada di sekitar rumah, yang sama-sama hamil dan menantikan kelahiran bayi, atau sama-sama bertemu di lokal Library, yang dibicarakan bersama kalau tidak sharing keluhan selama kehamilan, persiapan melahirkan, kelengkapan bayi, hingga segala pernik-pernik seputar bayi hingga nama bayi yang akan lahir.

Suamipun hanya menganguk-angguk. Tulis saja di buku, katanya. Hingga saat menjelang kelahiran bayi, saya sudah mempunyai 3 notesbook 150 halaman yang penuh dengan nama usulan bayi beserta arti dan perpaduan namanya.

Sampai saat melahirkan, tidak ada satu usulan namapun yang saya ajukan yang disetujui suami dan tidak ada satu namapun yang diajukan suami yang saya setujui. Nah lho.

Semua usulan nama suami di telinga saya kedengaran begitu "old-fashion" dan kaku. Bagi saya sederhana saja, semua nama yang diajukannya adalah nama teman-teman ayah saya. Lha....masak saya mau ngasih nama anak saya dengan ingatan saya akan Oom A atau Oom B yang nama-namanya "abadi sepanjang masa" karena setiap saat, setiap periode muncul namanya. Sepanjang bukan nama Nabi/Rasul, bagi saya nama-nama yang terlalu "old-fashion" bisa membuat anak ditertawakan teman-temannya.

Saya ingat sewaktu SMA, ada teman yang sampai kita lupa nama aslinya, karena kita panggil Pak De. Gara-gara namanya yang sama seperti nama tokoh sejarah jaman Majapahit, hingga celetukan seorang anak melekat terus kepadanya.

Punya nama sangat relijius pun serba salah bila anak yang bersangkutan bermasalah. Ada teman yang namanya'beriman' sekali ternyata alkoholik dan pecandu obat. Belum lagi nama yang terlalu berbeda dengan sekitar juga sering menjadi perhatian. Ada orang tua yang pernah ditempatkan di LN, dan memberikan nama anaknya Wihelmina Juliana Theodora. Ternyata setelah muncul orangnya sangat Melayu dan rendah hati, berbeda dengan namanya yang memberikan kesan megah meriah dan gegap gempita.

Sementara nama-nama usulan saya di telinga suami terlalu 'Sanskrit', 'Barat' atau bukan nama muslim dari bahasa Arab katanya. Waduh...lha padahal kita berdua pasif bahasa Arabnya dan nama masing-masing merupakan nama perpaduan hasil utak-atik orang tua masing-masing pula.

Jadilah begitu lahir, bayi kami belum juga bernama. Pegawai Akta Lahir dari City Hall tempat kami tinggal sudah memberikan formulir Akta Lahir begitu saya masuk ke kamar bersalin. Beberapa kali menelpon dan datang, belum juga kami isi form namanya. Hingga akhirnya di hari ke dua setelah melahirkan (berhubung saya melahirkan normal, di sini hanya dua hari di RS setelah melahirkan) petugasnya datang dan menunggu di depan kami yang masih asyik beradu pendapat nama mana yang hendak diberikan kepada anak kami. Akhirnya di detik-detik terakhir, keluar nama anak kami sekarang. Tiga suku kata, first name, middle name, last name. Tidak seindah dan seeksotis nama yang selalu saya inginkan, tidak segagah dan sebagus nama trendy sekarang. Yang terpenting nama ini adalah nama persetujuan bersama yang disetujui saya dan suami sebagai nama yang bagus, baik dan indah bagi anak kami berdua. Tidak ada satu kata dan suku kata yang berbau Sanskrit atau Barat, kemenangan untuk suami saya, namun namanya mengharapkan yang terbaik dari dirinya dan bukan nama usulan dari suami saya adalah kemenangan saya. Fifty-Fifty, seri, kemenangan bersama. Jadinya orang tua saya dan keluarga suami saya yang melongo, karena nama ini 'tidak biasa' ada di kamus perbendaharaan masing-masing keluarga.

Kemana 3 buku notes usulan nama saya dulu? Wallahu alam....sekarang. Buku itu menghilang bersama sekardus besar buku-buku suami yang lenyap sewaktu kami pindah ke tempat lain.

Tips untuk orang tua yang sedang mencari nama untuk anak:
1. Setujui bersama dulu nama dan maknanya yang hendak dicari dari latar belakang bahasa atau budaya mana.
2. Pilih nama berdasarkan kriteria yang telah disetujui bersama. Jangan seperti saya dan suami yang memilih nama dulu baru di adu di arena. Kecuali kalau memang menikmati saat-saat adu argumen soal nama ini.
3. Untuk yang menyukai nama-nama relijius, bisa dipilih dari nama-nama Nabi/Rasul atau keluarganya, juga nama Sahabat, hingga orang suci dan nama-nama di dalam Kitab Suci menurut reliji masing-masing. Cek pula sejarah dari nama-nama yang bersangkutan, dan ikuti tata cara penamaan anak menurut reliji masing-masing.
4.Saat ini banyak tersedia buku-buku nama bayi di berbagai toko buku. Dari nama relijius, nama Indonesia, Barat, Jawa hingga Ensiklopedia Nama Anak.
5. Tersedia pula banyak web-site yang menyediakan web-site nama anak dari yang gratis hingga yang membayar.
6. Ada satu acara dari keluarga Banjar (mungkin banyak yang masih melaksanakan), di mana dipanggil dan diundang seluruh keluarga, saudara dan tetangga untuk syukuran kelahiran bayi, sekaligus memanggil tetua/pemuka agama dan adat yang disegani. Semua yang hadir berhak mengajukan sebuah nama, lalu dituliskan di selembar kertas dan digulung. Pemuka agama dan adat ini(atau orang yang dituakan di sini) yang mengambil gulungan-gulungan nama tersebut dan bila paduan nama yang diambil disetujui baik oleh oarang tua, pemuka adat dan kakek-nenek serta seluruh yang hadir, jadilah nama anak tersebut nama gotong royong. Ini juga salah satu cara menentukan nama anak.
7. Orang tua bisa mencari ilham/ide dengan cara meditasi dan tirakat, bila muslim bisa melalui shalat hajat, shalat istikharah, shalat tahajjud dan puasa sunnah. Pencarian ilham/ide/nama anak selain secara fisik juga perlu penenangan diri secara mental dan spiritual. Kadang dengan musik, lagu atau membaca kitab suci dapat memberikan inspirasi dan ilham.
8. Last but not least, cek pula bunyi nama yang telah dipilih di dalam bahasa lain, agar jangan menjadikan anak kita nanti bahan tertawaan di tempat lain. Siapa menyangka orang Jepang Susumu Takada ditempatkan bekerja di Jakarta. Orang tuanya apa pernah berfikir bahwa nama tersebut membuat orang Jakarta geli-geli sendiri? Seperti nama Sri, dalam bahasa Jepang dibahasakan SURI dan dalam bahasa mereka berarti 2: mencuri dan atau pencuri. Ini kan serba salah.
9. Selain indah bunyi dan bagus arti, hendaknya nama anak mudah dibunyikan dan kependekan namanya pun tidak menjadi bahan tertawaan. Ada banyak sekolah dan perusahaan yang membuat klasifikasi nama menurut kependekan nama. kadang ada kependekan nama yang membuat serba salah yang membaca karena menjadi nama yang seronok, misalnya MAD (Muhammad Akbar Dirgantara) FAT (Fatimah Aisha Tanjung).
10. Pikirkanlah pula nama panggilan untuk si kecil yang 'applicable' sampai kapanpun. Jangan memberikan celah kepada orang lain untuk memberikan nama panggilan yang tidak disukai anak.

Website nama Anak:
Catatan : Sebagian web-site tersebut adalah web-site yang menjual produk bayi dengan berbagai bentuk, sebagian benar-benar free , sebagian yang lain mengenakan fee untuk service pencarian nama anak.

#19 Apakah Kita Terlalu Cinta Anak?


 

Saya tak pernah terfikir bahwa orang tua bisa terlalu mencintai anaknya, hingga satu waktu ibu saya bercerita bahwa seseorang kenalannya sampai bercerai gara-gara hal itu. Bukan karena perselingkuhan, bukan karena kekurangan di pihak suami atau istri, namun karena Ibu mertua yang berlebihan dalam mencintai anak semata wayangnya.
 
Bisakah kita membayangkan bahwa kita mempunyai suami yang ideal, hanya saja sang Ibu setiap berkunjung ke rumah kita (yang tentu saja rutin), memaksa tidur diantara kita dan suami tercinta!Belakangan malah sang Ibu mertua memilih tinggal bersama anak semata wayangnya dan tidurpun bertiga, anak, menantu dan dirinya. Mana tahanlah ya.....

Sampai satu waktu mata saya tertambat membaca sebuah judul buku," Parents Who Love Too Much", tulisan dari Jane Nelsen dan Cheryl Erwin. Jane yang beranak tujuh dan bercucu delapan belas, serta Cheryl yang merupakan therapis untuk perkawinan dan keluarga ini memaparkan mengenai hal ini, bahaya serta kiat-kiat untuk mencegah dan menyembuhkannya.
 
Menurut mereka, perasaan cinta yang dalam terhadap anak, merupakan suatu hal yang normal dan wajar. Apalagi kita terlahir sebagai manusia yang mempunyai perasaan cinta dan kasih sayang. Hanya saja dalam mengekspresikan cinta dan rasa sayang kita kepada anak ada beberapa manifestasi yang dilakukan oleh orang tua. Tindakan-tindakan yang dianggap bersumber dari rasa cinta dan kasih sayang kepada anak inilah yang dapat mudah tergelincir sehingga menimbulkan masalah di dalam membesarkan dan membentuk kepribadian anak kita.
 
1.Over-protektif: Orang tua yang OP ini gagal melihat kemampuan dan kompetensi anak. Mereka sering melarang anak melakukan hal-hal yang dianggap membahyakan anak,meskipun sebenarnya tidak perlu dilakukan karena anak sudah dapat melakukan hal itu secara aman. Akibatnya anak bisa merasa nervous dan kehilangan percaya diri. Bila anak mulai menunjukkan penentangan dan kenakalan, cobalah kita tinjau lagi apakah karena terlalu banyaknya larangan yang kita berikan kepada mereka?
 
2. Penyelamat: Orang tua cenderung selalu mengambil alih tugas dan tanggung jawab di saat-saat terakhir. Anak hampir terlambat, orang tua yang tergopoh-gopoh. Anak lupa PR, orang tua sampai mengerjakan. Bila selalu campur tangan untukmenyelesaikan hal-hal yang mudah sekalipun, anak akan kehilangan rasa tanggung jawabnya dalam menyelesaikan suatu hal. Biarkan anak untuk belajar dari kesalahan dan kegagalan selama itu memang dalam batas kewajaran.
 
3.Membiarkan: banyak orang tua sekarang yang takut dikatakan kolot dan kaku, sehingga tak ingin mengekang kebebasan anak bahkan cenderung membiarkan anak berbuat sesuka hatinya. Ini akan dapat menimbulkan masalah kedisiplinan pada anak, dan membuat anak semau gue. Ingatlah, bahwa banyak orang yang tidak suka bergaul dengan anak manja.
 
4.Terlalu Menguasai: Ini kebalikan dari nomor 3. Orang tua yang terlalu banyak aturan dan larangan, akan menimbulkan perasaan pada si anak bahwa orang tua tidak mencintai dan menyayangi anak.
 
5.Mengalah. Orang tua yang mengalah pada anak ketika anak ngambek hanya akan kehilangan pamor sebagai orang tua. Anak akan semakin sulit diatur dan menganggap remeh orang tua.
 
6. Membuat terlalu banyak keputusan bagi anak: Orang tua yang seperti ini akan menghambat ruang gerak anak dan membuat mereka seperti boneka mainan orang tua yang harus mengikuti semua kemauan orang tua dan tidak akan berkembang kemampuannya untuk hidup mandiri.
 
7. Sok Memanjakan: Orang tua seperti ini akan selalu memanjakan anak-anaknya dengan segala kemewahan dan barang-barang yang sebenarnya tidak perlu. Menunjukkan kecintaan dengan barang akan membuat anak jadi menilai apa-apa dengan benda material.
 
8. Keinginan yang tak realistis: Orang tua seperti ini memberikan beban yang berat kepada anak. Mereka ingin anak mereka masuk sekolah favorit, ingin anak mereka jadi top ranking, jadi anak populer, jadi anak yang serba wah, kadangkala untuk mencapai impian orang tua yang tak terwujud di masa muda mereka. Kadang kala motivasi dari orang tua dapat benar-benar membuat anak berusaha untuk menjadi seperti yang diinginkan orang tua, namun kadang banyak juga yang malah menjadi nakal dan berhenti sekolah sebagai pembangkangan atas pressure dari orang tua.
 
9. Sibuk sendiri: Orang tua seperti ini tak pernah melibatkan anak di dalam kehidupan sehari-hari. Anak tak punya tanggung jawab di dalam rumah, tak pernah tahu kesulitan orang tua, bahkan sampai hal-hal terkecil, yang penting belajar. Anak akhirnya tidak merasa sebagai bagian dari keluarga.
 
10. Terlalu banyak Memuji: Semua tindakan anak diberikan pujian, sehingga anak tidak bisa membedakan yang mana sebenarnya achievement yang telah dilakukan, yang mana merupakan hal yang tidak layak untuk dilakukan.
 
11. Berkelahi untuk Anak: Orang tua seperti ini membuat anak tidak berani menghadapi sendiri masalahnya dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
 
12. Menjadikan anak sebagai Raja di rumah: Orang tua seperti ini kehilangan kekuasaan dan kontrol atas anak. Semua permintaan anak 'terpaksa' dituruti, membuat anak mudah mengambek dan cengeng, atau menjadi pemarah.
 
13. Bekerja Lembur untuk uang: Orang tua yang menunjukkan cinta dengan kebendaan, memilih untuk bekerja lebih lama daripada menggunakan waktunya bersama keluarga.
 
14. Serba Tahu Masa Depan Anak: Orang tua banyak yang kurang berkomunikasi dengan anak mereka, karena mereka pikir mereka tahu akan jadi apa dan bagaimana anak-anak mereka kelak di kemudian hari.
 
15. Berkelahi Berebutan Anak: Bagi pasangan yang berpisah atau bercerai kadang mereka ingin menghilangkan sama sekali hak salah satu orang tua yang lain dalam mengasuh anak.
 
16. Memberi Shelter bagi anak Dewasa: Orang tua seperti ini membiarkan anak yang sudah dewasa, tak bekerja dan hidup dari orang tua.
 
Menurut Jane dan Sheryll, bila ada salah satu di antara ciri-ciri di atas kita lakukan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak kita, berarti kita termasuk orang tua yang Terlalu Mencintai Anak (TMA), dan hal tersebut sama sekali tidak berguna bagi anak-anak kita di masa depan.
 
Mengapa demikian? Karena perasaan terlalu cinta ini bisa mengubah pikiran normal anak terhadap pengertian mengenai common-sense, menciptakan anak yang penuh kelemahan dan kekurangan, anak yang kurang menyadari kemampuan dirinya, atau anak yang berfikiran terlalu ekstrim.
 
Hal-hal lain yang berbahaya dari manifestasi terlalu mencintai anak adalah, orang tua dapat tergelincir dalam mengagungkan benda/ materialisme, menjadikan anak sebagai milik pribadi, dan lupa bahwa mengikutsertakan anak di dalam kehidupan orang tua jauh lebih baik daripada membatasi kehidupan anak sesuai keinginan orang tua.
 
Tentu saja kita bisa mencegah agar tidak menjadi orang tua yang terlalu mencintai dalam konotasi negatif, dengan selalu mencari keseimbangan dan kewajaran dalam bertindak.
 
Saya sendiri banyak melihat bahwa orang tua kadang 'terlupa' atau tak sampai terfikirkan bahwa tindakan mereka sudah berlebihan. Seperti saat saya melihat banyak ibu-ibu yang sampai ikut tegang menunggu anak mereka ujian UMPTN di luar ruangan. Aduh...lha kan mereka bakal jadi mahasiswa....bukan masuk TK lho Bu......Tapi sungguh, saya yang seharusnya terharu sampai bingung...kok ada yang Ibunya nunggu di luar waktu anaknya Ujian Sarjana? Apa ini trend baru ya?
Membaca point-point Jane dan Cheryl, mau tak mau muncul personal-personal yang saya kenal dalam keseharian saya. Entah tetangga saya, teman saya, oom-tante saya, hingga orang-orang yang tidak saya kenal. Hingga sayapun ikut berkaca diri.
 
Giliran kini saya yang menjadi orang tua....hmmmm.... ternyata pesan-pesan orang tua dulu ala Timur tidak berbeda jauh dengan parenting ala Barat. Hanya saja selain kesemua itu, petuah orang tua ala Timur juga sarat dengan simbol dan penekanan kepada hormat pada orang tua, ketaatan, sopan-santun, budi pekerti, dan tak lupa penerapan budaya malu. Sayang bila kita kehilangan banyak sisi Ketimuran kita yang sebenarnya penuh pendidikan manusiawi untuk pembekalan anak menuju kedewasaan.
 
Mudah-mudahan mengingatkan kita semua, agar dapat terhindar dari eksploitasi perasaan cinta pada anak. Semoga.
 
Louisville, 2005
Hani Iskadarwati
 
Jane Nelsen & Cheryl Erwin, "Parents WhoLove Too Much: How Good Parents Can Learn to love more wisely and develop children of character ", Prima Publishing, California, 2000