Showing posts with label name. Show all posts
Showing posts with label name. Show all posts

Wednesday, February 5, 2014

#26 Queen; My songs and theirs, too.




Masa Kecil, Lagu dan Musik
Waktu saya kecil, tak seperti orang tua teman-teman saya yang hobi nyanyi dan musik, orang tua saya tak terpengaruh dengan trend musik yang sedang in saat itu. Ayah saya senang mendengarkan keroncong atau lagu Melayu, tapi sehari-harinya beliau lebih sering memutar tape lantunan ayat suci Al Qur'an. Ibu saya hampir tak pernah mendengarkan lagu atau musik, atau menyanyi. Beliau ikut saja saat ayah mendengar lagu atau menonton acara musik di TV.

Sayapun besar dengan lagu hafalan sekolah. Semua lagu A.T. Mahmud atau lagu Bu Kasur masuk di dalamnya. Lagu yang paling hafal? Indonesia Raya dan semua lagu Nasional untuk upacara! Ada teman yang penasaran, kok bisa-bisanya saya hafal semua lagu wajib untuk upacara. Mereka saja yang tak tahu, kalau lagu-lagu itu bisa saya hafal dengan mudah karena serumah membantu saya. Geli rasanya, setiap ada lagu baru, dari ayah, ibu, tante sampai semua yang ada di rumah membantu saya menghafalnya, seperti sama wajibnya menghafal Al Qur'an. Saya akan menyanyi di kamar, di kamar mandi, di atas pohon, pagi siang malam. Pastinya tetangga sampai hafal dengan suara saya deh, ihiks.

Hasilnya ada memang, selalu masuk tim Paduan Suara sekolah meskipun tak pernah ikut Bina Vokalia. Hampir jadi penyanyi, Alhamdulillah ndak, ketika ada yang menawarkan ke ortu untuk membina saya. Untung saya saat itu masih imut dan di bawah umur jadi NO, jawab orang tua. Kalau nyanyi lagu Nasional dan untuk upacara atau sekolah wajib, tapi nyanyi untuk ditonton, NO WAY lah. Maklum, kami sekeluarga besar dengan pemikiran yang simple saja, sedapat mungkin menjauhi yang tak dicontohkan oleh Rasulullah.

Saat Remaja
Jadilah saat di SD, tak satupun penyanyi yang jadi idola saya, meskipun begitu saya ikut ibu saya mendengarkan lagu-lagu Rafika Duri, Andi Meriem Matalatta atau Bimbo. Saya senyum-senyum saja saat pesta atau kumpul-kumpul dengan teman. Teman saya hampir semuanya hafal lagu penyanyi idola mereka. Mereka saja yang tak tahu, saya tak hafal satu lagupun! Paling banter saya kenal nama dan bagian chorusnya saja.

Sejak SMP, barulah saya mendengarkan lagu dari radio. Saat semua teman jadi fans berat Prambos, saya memilih dengar ElShinta, eh gak mau ikut arus lah ya. Begitu mereka pindah trend, saya teteup aja gak pindah saluran, bukan karena idola, karena ribet, paling pindah ke stasun lain yang acara past by midnightnya gak ada iklannya. Tapiiii, saya tetap tak hafal satu lagupun! Saya tak pernah membeli kaset tape lagu, karena saya tak menganggapnya perlu. Tapi teman-teman saya tak tahu, karena saya bisa mengikuti pembicaraan mereka. Saya memang tak punya kaset tape atau VHS penyanyi yang sedang trend, tapi saya selalu membaca majalah Seventeen dan Rolling Stones. "Gile lu bacaannya," saat ketahuan teman membeli majalah impor di Ratu Plaza. Saya senyum saja. Harga satu majalah bisa dipakai untuk membeli selusin tape, juga bisa mengkaver ketertinggalan saya dari semua yang berbau trendy. Impaslah.

Saat SMA, saya pindah sekolah ke pinggir kota. Mayoritas pelajarnya dari dua SMP, SMP 68 atau SMP 85. Mereka sangat kompak dan rata-rata aktif di Pramuka atau PMR. Semuanya fans berat Beatles. Sementara, saya dari SMP dengan beda cita rasa musik. Saya lebih suka Bon Jovi, Duran Duran, Phil Collins dan tentu saja Queen.

Lagi-lagi saya tak hafal satupun lagu-lagunya! Saya modal radio saja mendengarkan lagu-lagu tersebut, tak seperti teman-teman saya yang sampai mempunyai buku lagu dengan semua lirik dan notasi untuk main gitarnya. Mereka begitu berdedikasinya sampai tahu segala seluk beluk penyanyi dan latar belakang lagunya. Semua sampai kalah deh fans K-Boys sekarang! Hehehe...

Teman-teman saya masih menjadi fans berat dan setia dari penyanyi pujaan saat itu! Termasuk adik saya. Setiap ada konser atau acara digelar di Jakarta, mereka pasti muncul paling depan, atau bahkan jadi promotor acaranya!

Saya sekarang, Lagu, Musik
Sekarang saya jarang menyanyi. Suami dan anak-anak saya sangat peka telinganya. Mereka tak suka kalau saya ikut menyanyi saat ada lagu melantun. Ndak menghargai yang menyanyi kata mereka. Kalau mau menyanyi menyanyilah sendiri. Lha, sampai sekarang tak satu lagupun yang saya hafal! Paling banter hanya chorus satu lagu! Seringkali hilang semuanya dari memori.

Ingat saat tinggal di Jepang, seringkali kena tembak giliran nyanyi di Karaoke. Lagi-lagi saya ndak pernah punya CD lagu. Duh gimana nih, sementara saya gak mau buang uang buat beli CD yang gak bakal saya dengerin. Demi menjaga jangan sampai malu di depan umum, akhirnya deh sekali-sekali ikutan teman praktek karaoke! Lucu kalau ingat saat itu. Dengan $10 perjam bisa nyanyi sepuasnya. Ada tapinya, saya ndak tahu ternyata kalau lagu yang baru cuma muncul di tempat karaoke yang mahalan yang $30 sejamnya. Jadi setiap ada acara karaokean, saya bisanya lagu-lagu lama, model lagunya Teresa Teng atau Misora Hibari. Lagu nenek-nenek! Huaaaaa! Setelah hampir selesai masa studi baru deh bisa nyanyi lagu-lagu yang agak baruan.

Selama tinggal di USA, saya ndak pernah beli CD, karena sudah zaman download lagu sekarang. Kalau mau dengar satu lagu tinggal beli dari Amazon atau aneka store seperti iTunes. Lagi-lagi, saya masih tak hafal satu lagupun! Duh, gimana ya?

Tapi ada satu kejadian yang membuat saya terharu. Saya pernah mengunjungi seorang nenek yang usianya hampir 90 tahun. Saat beliau muda, dia suka menyanyi terutama lagu-lagu keagamaan. Sang nenek adalah seorang Yahudi reformis yang fanatik. Entah apa yang membuatnya memutar CD lagu-lagu keagamaan. Namun lagu-lagu itu seperti lantunan orang mengaji, dan seperti lagu gereja juga, sehingga tanpa sadar saya bisa mengikutinya. Sang nenek memeluk saya erat  sambil berlinangan air mata! "Kau genius! Kau seharusnya menjadi penyanyi Opera atau Cantor!" "Berpuluh tahun saya coba mengajarkan pada anak-anak saya, tak ada satupun yang bisa menyanyi seperti yang saya ajarkan, tapi kau belum pernah mendengarnya, bahkan tak bisa Yiddish atau Hebrew, tapi kau bisa langsung mengikutinya!"

Sejujurnya, saya tak tahu  dan tak hafal lagu-lagunya. Saya hanya bernyanyi seperti saat di karaoke, survival karena tak hafal dan tak tahu lagunya, jadi hanya improvasi semata, lha kebetulan lagu 3 CD kok ya bisa pas cengkoknya.

Tadinya, hanya satu yang lumayan bisa dishare antara saya dan anak-anak, lagu-lagu Queen! Akhirnya saya coba kenalkan pada mereka lagu-lagu lama yang saya pernah dengar. Di luar dugaan, banyak lagu yang mereka suka, lalu mereka browse sendiri. Thanks to Wiki dan Youtube. Sama seperti saya, mereka tak punya CD atau iPod, tapi mereka improvisasi dengan knowledge mereka sendiri dengan riset dari berbagai sumber. Saya kenalkan mereka juga dengan sejarah musik dan berbagai aliran musik di berbagai tempat dan masa. Sekali-sekali saya dan anak-anak bernyanyi bersama, dari O Mio Babino Caro, sampai I got a move like Jagger.

Saya tak pernah minder karena tak tahu lagu-lagu trendy. Juga tak pernah minder, karena tak punya kaset, CD, DVD atau berbagai alat musik lainnya. Saya menghargai lagu dan musik sebagai karya seni dan itu yang saya ingin teruskan kepada anak-anak saya, agar mereka respek dan menghargai lagu dan musik sebagai karya seni. Walau pada akhirnya, karya seni yang terindah adalah Al Qur'an.

Semoga anak-anak sayapun dapat mencapai ke tingkatan mendedikasikan diri kepada karya seni yang tertinggi dan terindah di dunia ini. Insya Allah. Aamiin Ya Robbal 'Alamiin.


Louisville, Februari 2014

Hani

Thursday, October 28, 2010

#21 Berhasil di Sekolah VS Berhasil Dalam Hidup

 
 
 

Sekolah sangat mahal di Indonesia. Ini adalah suatu realita yang kontradiktif dengan segala yang kita harapkan dan impikan selama ini. Susah payah kedua orang tua kita membesarkan dan mendidik kita, agar kita-kita mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan kehidupan beliau-beliau.
Ternyata semakin tinggi taraf pendidikan dan taraf kehidupan semakin naik pula biaya yang harus disediakan untuk dapat mengenyam segala fasilitas dan kenyamanan yang tersedia. 
Sudah bukan berita baru lagi bila dikabarkan sekolah favorit A mensyaratkan dua digit juta rupiah bila kita ingin memasukkan anak ke sana. Sementara menjamur puluhan, ratusan, ribuan sekolah lain yang tidak segan-segan mematok harga menjulang langit untuk memberi 1 tempat bagi buah hati kita.
Bila mereka yang jelas-jelas tak mampu berkompetisi hanya bisa mengurut dada dan mensyukuri apapun yang dapat mereka raih. Banyak pula di antara mereka yang tidak dapat mempunyai keinginan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah favorit/mahal. Sementara, sekolah negeri 'tak favorit'pun sekarang semakin banyak mematok uang sumbangan. Kemana lagi para orang tua ini mesti berpaling? 
"Ya Mbak....anak tante kan nggak pinter-pinter amat, sudah UMPTN gagal, masuk ke PT swasta mahal.....eh disuruh kursus nggak mau...maluu katanya...". "Masuk program Diploma...gengsi...akhirnya ya...cuma ubak-ubek ke sana kemari sama temennya...tuh."
Saya teringat kata-kata orang tua teman SD saya, dulu. Teman saya, akhirnya masih bergantung kepada orang tuanya hingga kini. Satu-satunya kebanggaannya, 'menyetir mobil', hal yang sangat 'keren' masa-masa SMA, akhirnya yang menjadikannya sumber mata pencariannya. Itupun seringkali mogok, karena menjadi supir pribadi 'orang kaya' tidak bisa dijadikan penghasilan tetap dengan mentalitas dirinya yang masih merasa sebagai'orang kaya' karena orang tuanya yang kaya. 
Orang tua teman saya adalah produk yang melihat keberhasilan seseorang dari bebet, bibit bobot. Beliau pun mencari menantu yang minimal masih mempunyai gelar ningrat, yang pekerjaannya minimal insinyur atau dokter, yang orangnya cantik ganteng. Jadilah, teman saya ini selalu menolak tawaran pekerjaan yang menurutnya 'tidak bobot, bibit, bebet'. 
Sementara ada temannya sesama lulusan SMA dulu yang sama-sama ditawari pekerjaan untuk menjadi detailer obat, dan mengambil tawaran menjadi detailer perusahaan Farmasi, sekarang sudah berkeluarga mapan, dapat menyelesaikan Sarjana Ekonominya di sebuah Universitas Negeri Extension, sudah beralih posisi dari detailer menjadi posisi eksekutif di bagian marketing perusahaan yang sama. Padahal dua-duanya berangkat dari lulusan SMA dengan nilai yang biasa-biasa saja. 
Satu teman saya masih menikmati kebebasannya, tanpa pekerjaan, masih melajang, dan masih bergantung sepenuhnya kepada orang tua. Sementara temannya yang sama-sama ditawari pekerjaan yang 'dianggap'nya rendah, mengambil tawaran tersebut dan penuh ketekunan dan dedikasi sehingga sekarang mulai menikmati buah kerja kerasnya. Manakah yang lebih berhasil di dalam hidupnya?
Seringkali kita mendengar keluh kesah orang tua bahwa anak-anak mereka tidak cemerlang di dalam studinya. Seringkali juga kita dengar pomeo bahwa bila tidak berhasil dalam studi berarti sudah kehilangan satu anak tangga menuju keberhasilan hidup. 
Apa benar bila kita berhasil di dalam studi akan banyak mempengaruhi keberhasilan kita di dalam kehidupan? Ini adalah suatu tema yang abadi dari perdebatan banyak para ahli. Apa sebenarnya parameter keberhasilan dan kesuksesan di dalam hidup? 
Secara reliji, seringkali di dalam doa-doa yang muncul adalah permohonan dan harapan agar diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, lebih detail lagi dengan perinciian, umur panjang yang penuh berkah dan manfaat bagi semua, penuh kesehatan, dimudahkan dan dilancarkan dalam segala hal, diberikan kehidupan penuh kedamaian dan kemudahan, rezeki yang mengalir berlimpah tak putus, diberikan ilmu yang penuh manfaat, dibebaskan dari kesempitan, ketakutan, kemiskinan, kelaparan dan bencana, dan lain seterusnya. 
Tidak ada di dalam doa-doa permohonan untuk dijadikan orang bertitel dan menjadi orang jenius. Kenyataannya memang keberhasilan dalam studi tidak menjamin bahwa ybs akan otomatis berhasil di dalam kehidupannya. Hanya saja, memang, keberhasilan di dalam studi bisa menjadi satu faktor yang membuat seseorang menjadi berhasil di dalam kehidupan, meskipun hal ini tidaklah mutlak. Tidak sedikit orang yang tidak menuntaskan jenjang studi formalnya yang berhasil menjadi pengusaha besar. Sebut saja Bill Gates, atau pencipta Apple, atau banyak lagi sederetan nama baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Kalau kita melihat sekeliling pastinya akan banyak kita temui orang-orang yang sukses tanpa sederetan gelar-gelar pendidikan tinggi. 
Namun untuk di Indonesia, kelihatannya mayoritas orang masih melihat titel ataupun gelar-gelar yang disandang oleh seseorang dalam menentukan keberhasilan seseorang. Sehingga tak jarang ada orang yang setelah mampu secara ekonomi berusaha meraih gelar-gelar tersebut dengan segala cara, hingga membeli gelar.
 Di satu sisi, ini merupakan satu faktor yang menggembirakan untuk para praktisi akademisi. Ladang yang subur untuk meraup emas-berlian adalah BISNIS PENDIDIKAN. Berarti ini masa depan yang gemilang dan menjanjikan bagi mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan secara profesional. Di sisi lain, menimbulkan kompetisi baik sehat maupun tidak sehat bagi bangsa Indonesia di dalam meraih gelar-gelar pendidikan tinggi.
Saya sendiri mengalami saat-saat melihat perjuangan banyak orang untuk mengubah taraf kehidupan dan penghidupan mereka melalui pendidikan. Tak segan-segan banyak orang mengeluarkan uang berjuta-juta demi mendapatkan seberkas sertifikat/ijazah. Namun sayangnya, jarang ada di antara mereka yang murni belajar 'hanya' sekedar untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Walaupu banyak yang mendengungkan pentingnya EQ yang balans dengan IQ, selama ini yang saya temui adalah teman-teman atau orang-orang yang saya kenal yang berhasil di dalam studinya adalah mereka pula yang berhasil di dalam kehidupan. Hal ini memang kadang menimbulkan kecemburuan, dan iri hati. Benarkah mereka yang berhasil dalam studi sekaligus mereka mempunyai balans EQ dan IQnya? Sementara kita meyakini bahwa Allah SWT Sangat Maha Adil terhadap semua ciptaanNya. Apa ini berarti ada yang diciptakan untuk menjadi sukses dan ada yang diciptakan untuk sulit menjadi sukses?
Apakah ini diskrimanasi? Saya lebih cenderung mengatakan bahwa seperti seleksi alam, manusia hidup juga sangat kompetitif. Hidup adalah perjuangan, juga bukan sekedar slogan. Sehingga di manapun manusia hidup dan berada, dia yang diberikan fitrah dan kebebasan oleh Allah dalam memilih sendiri 'way of lifenya', bebas memilih 'faith dan beliefnya', bebas memilih 'medan tempur kehidupannya sendiri'.
Kita tak bisa hanya berteriak-teriak memprotes kesenjangan kesejahteraan dan kehidupan serta berbagai kenyamanan lain yang tak tergapai oleh mayoritas bangsa Indonesia. Sementara secara mentalitas, impian semua orang adalah sama yaitu menikmati semua kenyamanan tersebut tanpa kecuali. Selama mentalitas /idealisme kenyamanan kehidupan yang diimpikan oleh bangsa Indonesia masih satu versi, berarti seluruh bangsa Indonesia menceburkan diri ke dalam suatu "medan tempur besar materialisme dan borjuisme nasional".
Teman-teman saya dari bangsa lain kadang menyindir saya, katanya orang di Indonesia beragama, religius, kenapa ya sampai jadi negara terkorup dan masuk negara termiskin? Kalau religius, bukankah itu sangat kontradiktif dengan korup dan kemiskinan?
Mereka lebih menyindir lagi masalah pelanggaran HAM, dan masalah pelestarian sumber-sumber hayati negara. Apalagi mengetahui hasil report dan survey lembaga dunia/ media internasional mengenai gaya hidup para penguasa dan keluarga mereka.
Saya sangat susah untuk berkata-kata dan menjawabnya. Bagaimana bangsa Indonesia memilih pemimpin dan para pejabatnya?
Saya jadi teringat seorang teman, yang sampai diejek banyak orang karena ia menjawab, bahwa ia sebagai pribadi baru mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, dan "baru belajar"untuk menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
Jawabannya yang sangat simple dan low-profile ini pada awalnya kedengaran kurang PD. Namun dibalik jawaban yang super simple ini, terkandung suatu percaya diri yang kuat. Lha, wong dia bisa bilang dapat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri berarti dia memililiki 'confidence' dapat take-control of his own-life.
Kebanyakan challenge dari mereka yang sukses di dalam studi adalah 'over-confident'. Apalagi bila sekolah yang dilalui adalah sekolah favorit di LN yang ternama dengan bidang yang super-sulit. Kebalikannya, mereka yang kurang berhasil di dalam studi seringkali dihinggapi hal sebaliknya. Tak PD dan terlalu PD ini sebenarnya bisa menghinggapi siapapun tanpa kecuali. Hanya saja memang selalu ada faktor-faktor pencetus dan pendukung timbulnya hal tersebut.
Banyak di antara teman yang setelah meraih gelar tertinggi di bidang akademisi menjadi 'terlahir' sebagai orang yang baru yang sudah mengubah 'medan tempur kehidupannya' dan beranjak ke stage yang lebih tinggi. Meskipun masih banyak pula yang tidak berubah gaya hidup serta personalitynya. Masih tetap bersahaja dan low-profile, dan bergaya hidup sederhana, tidak hanya mau bergaul dengan mereka yang dianggap selevel baik gaya hidup, pendidikan, maupun pergaulan.
Saya jadi teringat komentar seorang teman, yang setengah mengeluh mengatakan bahwa dirinya tidak dianggap di dalam pergaulan teman-temannya hanya karena dia dan suaminya tidak mempunyai gelar pendidikan tinggi dan level penghasilan mereka tidak sebanding dengan teman-temannya yang lain.
Baginya tidak jadi masalah bila tidak diajak dalam aktifitas lingkaran pergaulan teman-temannya yang sudah menanjak lebih baik, namun rasanya aneh dan menyakitkan bagi mereka untuk tiba-tiba saja menjadi kehilangan banyak teman lama karena kesenjangan pendidikan dan ekonomi keluarga.
Sementara ini saya masih belum berubah dalam berfikir bahwa pendidikan adalah satu jembatan emas yang mengantarkan manusia ke dalam kehidupan dan pendewasaan diri. Sehingga selayaknya, semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan akan semakin bijak dan pandai menempatkan dirinya di dalam pergaulan masyarakat. Itu adalah harapan dan idealism.
Masalahnya kini adalah, pendidikan seperti apa yang hendak diberikan kepada anak-anak kita, karena hal tersebut adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk membekali anak-anak kita dengan pendidikan yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka kelak.
Banyak di antara orang tua yang sekarang sering mengadaptasi cara pengasuhan dan pendidikan ala negara-negara Barat. Banyak hal yang sangat baik dalam menanamkan rasa percaya diri dan motivasi anak, namun kita perlu menengarai bahwa tidak semua yang masuk dari Barat bisa begitu saja kita terapkan di rumah. Meskipun teori pengasuhan dan pendidikan mereka melalui serangkaian percobaan dan pengujian, ada banyak hal yang berbeda dengan kultur budaya dan juga faktor faith-belief yang sering berbeda.
Salah satu diantaranya yang tidak saya dukung untuk saat ini adalah faham yang membebaskan orang tua dari kewajiban menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan tinggi seperti yang banyak terjadi di negara-negara Barat. Selepas SMA, anak-anak harus membiayai biaya pendidikan tinggi mereka sendiri, sementara orang tua mereka membeli rumah, properti atau mobil baru. Dengan situasi dan kondisi di Indonesia, secara realita sangatlah sulit bagi saya untuk melepas anak-anak mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikan tinggi mereka.
Sekarang, dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang kian jauh dari peta dan ranking kompetisi pendidikan dunia (silakan dicek sendiri ranking universitas-universitas Indonesia di peta pendidikan dunia) apa yang dapat kita harapkan dari pendidikan tinggi di Indonesia di masa mendatang bagi anak-anak kita?
Sementara kita masih bergelut dengan biaya pendidikan yang membumbung tinggi, universitas- universitas ternama membagikan ilmunya secara gratis. Siapa yang tidak tahu web-site Massachusett Institute of Technology: http:///ocw.mit.edu/index.html/ yang menawarkan program dari undergraduate sampai program doctoral secara on-line dan free. Bayangkan saja bila bangsa Indonesia bisa semudah itu mendapatkan pendidikan dan ilmu. Apalagi sekarang ada 5 universitas top di Jepang yang ikut bergabung di dalamnya.
Benarkah pendidikan on-line free benar-benar gratis? Tentu saja tidak. Setiap yang ikut tetap harus berdedikasi dalam belajarnya, belum lagi meluangkan untuk membaca dan membeli buku, kertas, belum biaya untuk on-line dan printing. Tidak ada pendidikan yang benar-benar gratis.
Masalahnya,sampai saat ini tidak ada satu perusahaan/kantor pun yang mau menerima karyawannya yang lulus semua program hingga doctoral program dengan nilai cum laude sekalipun, BILA tanpa sertifikat atau ijazah. Bila program on-line free tidak memberikan ijazah dan tidak mengizinkan pesertanya untuk menikmati fasilitas normal di dalam kampus, apakah ini berarti pembuktian akan mahalnya nilai sebuah ijazah /sertifikat?
(HI) Louisville, 2005

#20 Berburu Nama Indah Dan Baik Untuk Anak Tercinta

Nama adalah doa dan harapan orang tua yang setulusnya bagi anak kecintaannya. Setidaknya begitulah definisi mengenai "nama" yang saya yakini dan saya ikuti pula. Maaf ya Pak Shakespeare, " Apalah arti sebuah nama" mu tidak saya ikuti.

Seringkali saya termangu-mangu bila mendengar nama seseorang begitu indahnya di telinga saya. Lebih takjub lagi bila mengetahui arti sebuah nama, dan Subhanallah.... artinyapun begitu indahnya. Bless You Lord... 
Kadang ada nama-nama yang membuat saya menyusutkan air mata, karena keindahannya, karena artinya yang bagus, karena kesejukan dan keteduhan di dalam namanya yang memuji kebesaran Ilahi, namun ada juga nama-nama yang membuat saya syahdu dan iba karena saya bingung dengan namanya....

Saya teringat teman saya SD Watjih, yang selalu jadi bulan-bulanan anak-anak karena namanya yang mirip bunyi bersin. Padahal di luar dari namanya, semua yang ada padanya normal-normal saja.

Serba salah memang menjadi orang tua di saat-saat hendak memberikan nama kepada anak-anak tercintanya. Selain ingin memberikan nama yang bagus, indah dan bermakna baik, juga tidak ingin nama anak menjadi bahan tertawaan orang-orang di sekitarnya.

Siapa salah bila tertawa saat guru memanggil nama anak yang diberi nama: Kursi Jati oleh orangtuanya? Atau, nama Merdekakan Irianjaya? Selama saya bersekolah, kebetulan banyak yang orang tuanya menjadi pegawai negeri atau militer, sehingga nama-nama teman pun banyak yang unik. Ada yang pakai embel-embel Pahlawan, Satria, Wira, hingga nama pasukan tempur, nama pesawat tempur, nama peperangan, hingga nama tempat sewaktu orang tua ditempatkan.

Begitu bersekolah dengan latar belakang orang tua murid yang relijius, nama-nama relijius bermunculan. Suatu waktu, saya ada di kelas dengan separo murid laki-laki berawalan nama Ahmad dan Muhammad. Sementara nama murid perempuannya banyak yang berawalan Siti dan berakhiran -ah, atau bernama dari bahasa Arab.

Sewaktu di LN, banyak teman Indonesia yang memberikan nama pertama berupa nama khas anak-anak yang berada di negara tersebut. Sehingga tak jarang, teman-teman sewaktu di Jepang memberi nama anak-anak mereka dengan nama Jepang, Ryu, Hikari, Tomoji, Eiko, Tomoko, Yuki, Yukiko, Eriko, Erika dan nama lain sebagai kenang-kenangan untuk anak yang lahir di sana.

Sementara selalu ada perubahan dan pergeseran antara satu angkatan dengan angkatan sebelum dan sesudahnya. Bila masa orang tua kita, nama-nama cenderung sederhana dan artinya mudah dimengerti pendengarnya. Sementara, nama-nama angkatan kita semakin 'njlimet' karena sering merupakan modifikasi dari beberapa nama yang dijadikan satu.

Jangan tanya bila nama anak merupakan hasil perpendekan kata, seperti nama anak seorang penyanyi rock Indonesia kawakan Aldino, yang merupakan kependekan dari alhamdulillah dia nongol. Atau nama teman saya Nacea yang lahir tepat saat diluncurkannya pesawat pertama ke bulan, yang merupakan kependekan dari nama Neil Amstrong, Collins, Edwin Aldrin.

Yang menarik, sewaktu saya perhatikan, nama-nama angkatan orang tua saya adalah dua atau tiga nama yang dijadikan satu dan nama terakhir biasanya adalah nama orang tua(nama ayah). Sementara banyak pula yang nama mereka yang asli adalah nama pertama sedangkan dua nama di belakang mereka adalah nama orang tua(nama ayah).

Sedangkan nama teman-teman angkatan saya biasanya dua atau tiga nama pula. Namun bedanya dua-tiga nama ini hampir kesemuanya adalah nama sendiri. Yang membawa nama orang tua hanya mereka yang memakai marga misalnya Binsar Silalahi. Sebegitupun, ada beberapa nama teman yang tidak tanggung-tanggung sampai empat atau lima nama dijejer sekaligus. Siapa sangka KRSW Aji adalah kependekan dari Kelana Rahayu Segara Wastuning Aji. Nama laki-laki atau nama perempuan?

Seringkali saya berfikir, bagaimana sebenarnya para orang tua menentukan nama-nama tertentu kepada anak-anak mereka. Kadang banyak yang dapat memberikan nama-nama eksotis dan indah, sehingga belum ketemu orangnya saja sudah'kesengsem' dan jatuh cinta kepada namanya
.
Bicara soal nama eksotis, Dulu saya sering membayangkan memberi nama anak nama Latin,atau nama Sanskrit. Eh, sesudah siap dengan berbagai kemungkinan nama indah menurut versi sendiri....apa yang terjadi?

Punya suami dan keluarga mertua yang kukuh dengan tradisi pemberian nama yang berbau nama Arab, ternyata membuat semua usulan nama apapun sia-sia tidak terpakai.

Selama masa kehamilan dan pencarian nama, segala nama bayi dari ensiklopedia nama hingga semua web-site nama ditelusuri. Setiap hari, sepulang kerja biasanya suami saya hanya bertanya, bagaimana perkembangan pencarian namanya? Ada nama baru yang diperoleh? Herannya, saya dengan penuh semangat, seperti melapor kepada si Boss, setiap hari selalu punya usulan nama baru untuk si kecil yang masih di dalam perut. Ah, siapa tahu suami tercinta menjadi pionir dalam keluarganya memberi nama yang tidak 100% dari bahasa Arab?

Tidak berhenti hanya di situ, setiap ke toko buku yang dilirik buku nama anak, hingga ketemu dengan grup ibu-ibu yang ada di sekitar rumah, yang sama-sama hamil dan menantikan kelahiran bayi, atau sama-sama bertemu di lokal Library, yang dibicarakan bersama kalau tidak sharing keluhan selama kehamilan, persiapan melahirkan, kelengkapan bayi, hingga segala pernik-pernik seputar bayi hingga nama bayi yang akan lahir.

Suamipun hanya menganguk-angguk. Tulis saja di buku, katanya. Hingga saat menjelang kelahiran bayi, saya sudah mempunyai 3 notesbook 150 halaman yang penuh dengan nama usulan bayi beserta arti dan perpaduan namanya.

Sampai saat melahirkan, tidak ada satu usulan namapun yang saya ajukan yang disetujui suami dan tidak ada satu namapun yang diajukan suami yang saya setujui. Nah lho.

Semua usulan nama suami di telinga saya kedengaran begitu "old-fashion" dan kaku. Bagi saya sederhana saja, semua nama yang diajukannya adalah nama teman-teman ayah saya. Lha....masak saya mau ngasih nama anak saya dengan ingatan saya akan Oom A atau Oom B yang nama-namanya "abadi sepanjang masa" karena setiap saat, setiap periode muncul namanya. Sepanjang bukan nama Nabi/Rasul, bagi saya nama-nama yang terlalu "old-fashion" bisa membuat anak ditertawakan teman-temannya.

Saya ingat sewaktu SMA, ada teman yang sampai kita lupa nama aslinya, karena kita panggil Pak De. Gara-gara namanya yang sama seperti nama tokoh sejarah jaman Majapahit, hingga celetukan seorang anak melekat terus kepadanya.

Punya nama sangat relijius pun serba salah bila anak yang bersangkutan bermasalah. Ada teman yang namanya'beriman' sekali ternyata alkoholik dan pecandu obat. Belum lagi nama yang terlalu berbeda dengan sekitar juga sering menjadi perhatian. Ada orang tua yang pernah ditempatkan di LN, dan memberikan nama anaknya Wihelmina Juliana Theodora. Ternyata setelah muncul orangnya sangat Melayu dan rendah hati, berbeda dengan namanya yang memberikan kesan megah meriah dan gegap gempita.

Sementara nama-nama usulan saya di telinga suami terlalu 'Sanskrit', 'Barat' atau bukan nama muslim dari bahasa Arab katanya. Waduh...lha padahal kita berdua pasif bahasa Arabnya dan nama masing-masing merupakan nama perpaduan hasil utak-atik orang tua masing-masing pula.

Jadilah begitu lahir, bayi kami belum juga bernama. Pegawai Akta Lahir dari City Hall tempat kami tinggal sudah memberikan formulir Akta Lahir begitu saya masuk ke kamar bersalin. Beberapa kali menelpon dan datang, belum juga kami isi form namanya. Hingga akhirnya di hari ke dua setelah melahirkan (berhubung saya melahirkan normal, di sini hanya dua hari di RS setelah melahirkan) petugasnya datang dan menunggu di depan kami yang masih asyik beradu pendapat nama mana yang hendak diberikan kepada anak kami. Akhirnya di detik-detik terakhir, keluar nama anak kami sekarang. Tiga suku kata, first name, middle name, last name. Tidak seindah dan seeksotis nama yang selalu saya inginkan, tidak segagah dan sebagus nama trendy sekarang. Yang terpenting nama ini adalah nama persetujuan bersama yang disetujui saya dan suami sebagai nama yang bagus, baik dan indah bagi anak kami berdua. Tidak ada satu kata dan suku kata yang berbau Sanskrit atau Barat, kemenangan untuk suami saya, namun namanya mengharapkan yang terbaik dari dirinya dan bukan nama usulan dari suami saya adalah kemenangan saya. Fifty-Fifty, seri, kemenangan bersama. Jadinya orang tua saya dan keluarga suami saya yang melongo, karena nama ini 'tidak biasa' ada di kamus perbendaharaan masing-masing keluarga.

Kemana 3 buku notes usulan nama saya dulu? Wallahu alam....sekarang. Buku itu menghilang bersama sekardus besar buku-buku suami yang lenyap sewaktu kami pindah ke tempat lain.

Tips untuk orang tua yang sedang mencari nama untuk anak:
1. Setujui bersama dulu nama dan maknanya yang hendak dicari dari latar belakang bahasa atau budaya mana.
2. Pilih nama berdasarkan kriteria yang telah disetujui bersama. Jangan seperti saya dan suami yang memilih nama dulu baru di adu di arena. Kecuali kalau memang menikmati saat-saat adu argumen soal nama ini.
3. Untuk yang menyukai nama-nama relijius, bisa dipilih dari nama-nama Nabi/Rasul atau keluarganya, juga nama Sahabat, hingga orang suci dan nama-nama di dalam Kitab Suci menurut reliji masing-masing. Cek pula sejarah dari nama-nama yang bersangkutan, dan ikuti tata cara penamaan anak menurut reliji masing-masing.
4.Saat ini banyak tersedia buku-buku nama bayi di berbagai toko buku. Dari nama relijius, nama Indonesia, Barat, Jawa hingga Ensiklopedia Nama Anak.
5. Tersedia pula banyak web-site yang menyediakan web-site nama anak dari yang gratis hingga yang membayar.
6. Ada satu acara dari keluarga Banjar (mungkin banyak yang masih melaksanakan), di mana dipanggil dan diundang seluruh keluarga, saudara dan tetangga untuk syukuran kelahiran bayi, sekaligus memanggil tetua/pemuka agama dan adat yang disegani. Semua yang hadir berhak mengajukan sebuah nama, lalu dituliskan di selembar kertas dan digulung. Pemuka agama dan adat ini(atau orang yang dituakan di sini) yang mengambil gulungan-gulungan nama tersebut dan bila paduan nama yang diambil disetujui baik oleh oarang tua, pemuka adat dan kakek-nenek serta seluruh yang hadir, jadilah nama anak tersebut nama gotong royong. Ini juga salah satu cara menentukan nama anak.
7. Orang tua bisa mencari ilham/ide dengan cara meditasi dan tirakat, bila muslim bisa melalui shalat hajat, shalat istikharah, shalat tahajjud dan puasa sunnah. Pencarian ilham/ide/nama anak selain secara fisik juga perlu penenangan diri secara mental dan spiritual. Kadang dengan musik, lagu atau membaca kitab suci dapat memberikan inspirasi dan ilham.
8. Last but not least, cek pula bunyi nama yang telah dipilih di dalam bahasa lain, agar jangan menjadikan anak kita nanti bahan tertawaan di tempat lain. Siapa menyangka orang Jepang Susumu Takada ditempatkan bekerja di Jakarta. Orang tuanya apa pernah berfikir bahwa nama tersebut membuat orang Jakarta geli-geli sendiri? Seperti nama Sri, dalam bahasa Jepang dibahasakan SURI dan dalam bahasa mereka berarti 2: mencuri dan atau pencuri. Ini kan serba salah.
9. Selain indah bunyi dan bagus arti, hendaknya nama anak mudah dibunyikan dan kependekan namanya pun tidak menjadi bahan tertawaan. Ada banyak sekolah dan perusahaan yang membuat klasifikasi nama menurut kependekan nama. kadang ada kependekan nama yang membuat serba salah yang membaca karena menjadi nama yang seronok, misalnya MAD (Muhammad Akbar Dirgantara) FAT (Fatimah Aisha Tanjung).
10. Pikirkanlah pula nama panggilan untuk si kecil yang 'applicable' sampai kapanpun. Jangan memberikan celah kepada orang lain untuk memberikan nama panggilan yang tidak disukai anak.

Website nama Anak:
Catatan : Sebagian web-site tersebut adalah web-site yang menjual produk bayi dengan berbagai bentuk, sebagian benar-benar free , sebagian yang lain mengenakan fee untuk service pencarian nama anak.