Showing posts with label friends. Show all posts
Showing posts with label friends. Show all posts

Sunday, February 5, 2017

#32 Spring spring!


Baru saja lewat ground hog day, serasa sudah tak sabar menanti musim semi tiba. Tahun 2016 dan 2017 serasa lewat begitu cepat. Entah ini tanda-tanda ketuaan diri atau tanda-tanda menjelang akhir dunia. Cuaca pun berubah-ubah  tak menentu. Musim dingin paling aneh yang pernah saya rasakan selama hidup. Satu hari suhu mencapai 60 derajat Fahrenheit dan keesokan harinya turun drastis ke 19 derajat Fahrenheit. Hari berikutnya hujan seharian di kisaran 30an derajat Fahrenheit.

Bulan Februari yang biasanya penuh dengan salju kini kering kerontang, kadang sangat dingin kadang terang benderang dan panas seharian. Entah bagaimana jadinya nanti musim panas tahun ini?! Mudah-mudahan tak terjadi kekeringan besar-besaran di berbagai tempat nanti.

Musim semi di Amerika Serikat terasa berbeda dengan musim semi di Jepang. Tak ada hanami, tak ada piknik masal di bawah pohon Sakura/ Japanese Cherry yang bermekaran sambil makan dan minum, berkaraoke, bahkan mabuk sake atau bir. Orang Jepang menikmati hanami hampir merata di seluruh Jepang. Sementara di Amerika Serikat, suasana musim semi berbeda antara satu State dengan lainnya. Adakah bunga kebangsaan musim semi? Hmmm...rasanya tak ada, karena bunga yang bermekaranpun tergantung zonenya. Ada 26 zone cocok tanam di Amerika Serikat. Tiap zone mempunyai jenis bunga yang bisa tumbuh dan mekar di daerah tersebut.

Amerika Serikat daratannya sangat luas meskipun tak seluas Rusia atau Canada. Daratan Amerika Serikat lebih luas wilayahnya dari China. Indonesia menduduki urutan ke 15 di bawah Saudi Arabia, karena mayoritas wilayahnya adalah laut dan lautan.

Kembali ke musim semi. Bila Jepang memiliki hanami sebagai event utama di musim semi, di Amerika Serikat juga ada tempat-tempat tertentu yang merayakan kedatangan musim semi dengan Spring Festival Events. Di Washington D.C. dirayakan Japanese Cherry Blossom Festival sejak tahun 1934. Selain Washington D.C., Macon, Georgia juga punya festival serupa. Selain bunga Sakura, orang Amerika Serikat mempunyai festival bunga tulip, bunga, mawar dan bunga Lilac.

Tapi tetap saja suasana festival sangat berbeda dengan suasana hanami. Meskipun sama piknik, orang di Amerika Serikat suka piknik dengan makanan potluck atau buffet atau barbecue. Sementara di Jepang, untuk hanami orang membuat atau membeli bento spesial hanami. Bagi yang ingin mencoba membuat sendiri bisa dilihat di link hanami bento. Tinggal disusun secara cantik dalam kotak-kotak bento dan disajikan sambil piknik memandangi bunga yang bermekaran. Bisa sambil menyanyi atau karaoke di taman. Jauh dari taman? Pikniklah di halaman sendiri!

Aaaah...matahari bersinar terang di luar. Saya keluar dulu, ya! Mau mencari kehangatan sang surya!

Louisville, 5 Februari 2017.

Hani 💓

Thursday, February 5, 2015

#31 Emotional Eater;Seasonal Writer


#31 Emotional Eater;Seasonal Writer


Tak terasa setengah tahun telah berlalu dari posting terakhirku di tahun 2014. Lagi-lagi, New Year Revolution yang tak terucapkan dan tak terpenuhi! Menulis setidaknya satu blog sebulannya. Aish!
Ini kata K-Drama, lho.

Bebenah rumah setelah sekian lama, baru sadar kalau punya blog yang lama banget gak di update. Gubraks! Tahun ini bukan main deh! Alhamdulillah Ya Allah, sampai-sampai waktu berlalupun sangat tak terasa.

Jadilah tak ada New Year Resolution. Tak ada list yang dilanggar karena tak pernah direalisasikan.
Tinggal satu pertanyaan yang tersisa. Quo Vadis, Hani?

2014 vs 2015

Tahun lalu banyak nano-nano jadi satu. Alhamdulillah transisi status dari student menjadi pekerja berjalan mulus. Banyak tantangan silih berganti, banyak kemudahan pula yang didapat dariNya. Alhamdulillah, satu persatu kesulitan hilang dan terselesaikan dengan sempurna. Alhamdulillah pula banyak bantuan tak terduga, dan uluran tangan yang sangat berharga.

Memasuki tahun 2015, penuh dengan harapan dan doa. Tersadar sekali betapa tak berdayanya diri ini. Sehari yang 24 jam ini, sangat tak cukup untuk semua kesibukan sehari-hari. Jalan baru mulai ditapaki. Tak dapat mundur atau berbalik arah lagi. Sekarang bagaimana mengolah waktu yang 24 jam itu menjadi bermanfaat seefisien mungkin.

Tahun 2015 insya Allah tahunnya bintang buat kami sekeluarga. Lho, kok bisa bilang begitu? Setelah melewati tiga tahun penuh perjuangan di segala segi, alhamdulillah, kami sekeluarga insya Allah bisa melalui hari-hari ke depan dengan rasa syukur yang lebih kepadaNya dari pada hari-hari yang lalu.

Ada kemajuan di segala arah bagi kami sekeluarga, dari pekerjaan, kesehatan, pendidikan hingga hubungan dengan keluarga dan teman. Terbukti sekali bahwa di setiap kesulitan Allah berikan kemudahan. Banyak hal yang tak mungkin dijadikanNya nyata. "Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan?"

Emotional Eater

Merefleksi diri serumah, ternyata kita serumah masuk golongan emotional eater. Begitu senang, kita semua langsung setuju makan di luar, atau belanja grocery makanan saat itu juga. Begitu sedih dan susah, kita menghibur diri juga dengan makan. Semakin stress, semakin banyak makanan yang dikonsumsi.

F besar sepertinya punya cita rasa yang cukup tinggi. Hobinya makan sushi, gourmet fusion dan Mediterranian. F kecil, cocok jadi kritikus foodie. Aduh, jangan tanya pickynya! Kalau dia jadi juri food contest atau jadi food kritik, bisa habis dibantai tuh para kontestannya. Hasilnya, jaraaaang sekali masakan ibunya dipuji F kecil, ihiks. Yang dipuji masakan Mediterranian. Aaaah, alamak mamanya harus belajar masak neh!

Setelah melanglang berbagai restoran bersama, kesimpulan terakhir:
1. Pass semua restoran buffet; rendah kualitas baik bahan, rasa, kebersihan, kesehatan.
2. Pass junk food chain restoran; alasan idem di atas.
    (Yang masih masih kadang dilanggar, alasannya beli kopi atau salad)
3. Pass resto masakan Cina, Korea, Jepang, Asia, kecuali 1-2 yang lulus uji lidah keluarga.
    (Semua setuju, masakan mamanya masih lebih enak, murah dan dijamin halal, hooray!)
4. Pass semua Pizza Corner, kecuali 1-2 occassion.
    (Jadi ingat zaman bikin pizza sendiri, ehm. Mana waktunya?)
5. Sepakat, beli bahan yang organik sebisa mungkin, segar dan halal.
6. Masakan mama TOP deh! (Mamanya happy deh!)

Hasilnya? Papa turun 5 kg, F besar bertahan di kisaran normal, F kecil naik 5 kg, mamanya  tetap bundar! Rahasia papa adalah tak makan nasi, dan nasi diganti dengan flat bread. F besar makan separoh porsi biasa dengan variasi yang lebih berbeda. F kecil naik timbangan karena selalu minum susu dan keju. Mamanya? Jadi lapar setiap nonton K-drama. Apalagi setiap scene makan sekeluarga! Duh itu banchan lengkap muncul semua. Cita-cita pengen punya dapur minimal dua, dapur basah, kering dan dapur terpisah dari rumah buat nyale, nyate, mepes, ngerendang, nahu, nempe, ngecap, ngasinin, manisin etc! Pengen punya halaman belakang yang luas, cukup buat kebun sayur mayur sendiri, buat tempat guci kimchi, tunjang kanjang, sama gazebo buat  ngeringin radish, cabe etc.

Seasonal Writer

Yang ini sudah terbukti tuh. Nulisnya sesuka hati. Ini nih yang perlu dibenahi. Harusnya teratur ya, seperti shalat. Ehm. Jadi langkah pertama nih mesti benerin shalatnya. Kalau shalat bener, insya Allah yang lain-lainnya ikut teratur juga. (Ini sih, nalar saya saja, xixixi).

Hayuk ah, sudah berlabel dua di tahun 2015, jadi ada target yang harus dibenahi diri.
1. Makan seperlunya saja, biar sedang senang susah etc, cukup secubit serasa deh. Kalau lapaar bangetz gimana? Sedia jeruk Mandarin sama Nature Valley Protein Bar yang penuh nuts, almond sama dark chocolate. Haiyyya! Anak-anak happy sama microwave popcorn organik.
2. Tidur yang pulas dan cukup. Terutama buat anak-anak, supaya segar di pagi hari berikutnya.
3. Banyak-banyak berdoa dan beribadah, serta bebersih dan berbenah.
4. Sering-seringlah bersedekah. Senyum ikhlas juga sudah masuk sedekah :) Semoga diberi kelancaran rezeki dan dapat bersedekah lebih tahun ini dan ke depan.
5. Selalu bersyukur padaNya dan selalu memohon ampunanNya.
6. Membersihkan hati, fikiran, raga dan lingkungan.
7. Always in love! Love will always surround you. Smile.

Semoga besok semakin baik dari hari ini!

Hani




Wednesday, May 21, 2014

#30 Demam Wisudawan

 
 
 
Tak terasa sudah memasuki pertengahan akhir bulan Mei 2014. Setelah sekian lama berpacu dengan waktu, akhirnya selesai juga studiku tanggal 13 Mei lalu. Ada yang hilang dari sisi hati. Spontanitas kegembiraan yang jauh berbeda dengan wisuda-wisuda yang lalu.
 
Tak seperti saat wisuda pertamaku di kampus UI Depok, saat aku maju menyampaikan pidato wakil wisudawan di antara sekitar tiga ribuan wisudawan dari tingkat Diploma sampai Doktoral. Betapa kikuknya diriku berjalan menyangga sanggul sebesar dan seberat cobek diantara lilitan kain wiron yang kekencangan. Kepala dan dadaku hanya penuh dengan doa, "Ya Allah jangan sampai sanggul ini lepas menggelundung saat aku berada di atas panggung, atau jangan sampai kain wironku merosot terinjak langkahku yang tertatih tatih."
 
Hooray! Merdeka rasanya setelah acara selesai! Tak ada yang  membahagiakan diriku lebih dari melihat orang tua yang membiayaiku sekolah tersenyum setulusnya. Satu beban mereka telah usai.
 
Wisuda yang ke dua, aku berada jauh dari keluarga. Demam panggungku lebih terasa daripada wisuda pertamaku. Wisudawan yang ada adalah utusan dari sekitar lima puluhan negara. Aku serasa robot, maju ke panggung dengan tanpa ekspressi. Dentum-dentum detak jantungku memenuhi rongga telinga. Serasa seluruh mata tertuju pada diriku. Para Duta Besar masing-masing negara juga hadir di sana. Aku sibuk mensimulasikan diriku berjalan ke panggung, menerima Diploma lalu bersalaman dengan para pembesar yang ada di atas panggung sambal berjalan kembali ke tempat semula. Senyum dan tawaku begitu diplomatis di sana. "Fotonya bagus, kok!" kata semua.
 
Duh, mereka tak tahu demam panggungku begitu membahana, sampai-sampai sedetik serasa seabad!
 
Wisuda ke-tiga, masih jauh dari keluarga, aku absen. Karena bersamaan dengan ujian masuk Program di Universitas lain. Tak ada foto, tak ada jabat tangan, tak ada Diploma yang diserah terimakan. Tak ada cerita. Titik.
 
Wisuda ke empat sangat mengharu biru. Semuanya seperti mimpi. Dari masuk ke Program sampai lulus, penuh dengan keberuntungan. Bisa-bisa aku ganti gelar jadi Master of Luck! Aku memakai set kebaya sendiri. Rambutku panjang sampai sepantat, jadi cukup kugulung menjadi konde cepol. Kain wironku buatan ibuku tercinta, sudah custom-made sehingga sangat nyaman dipakai dengan kebaya dan selendang merah mudanya. Fotoku dan Professor pembimbingku penuh dengan senyum sumringah.
 
13 Mei yang lalu adalah wisudaku ke lima. Tak ada kebaya atau sanggul. Aku memakai ghamis made in Indonesia kiriman ibuku tercinta, mungkin lebih tepatnya Kaftan Indonesia warna abu-abu dengan bordiran deretan mawar pink memanjang vertikal sepanjang tengah badan. Ibuku selalu berfikir kalau aku cocok dengan warna abu-abu dan pink. Pertama kalinya aku hadir di wisuda tanpa demam panggung! Ada sekitar tiga ribuan wisudawan, namun hanya seperlima dari mereka yang hadir. Aku datang bersama ke dua anak laki-lakiku. Mereka tak terlihat di antara ratusan keluarga yang hadir. Seperti yang kuduga, akhirnya tak ada foto diriku di dalam kamera! Kedua anakku sibuk selfie sendiri berbagai gaya! Xixixixi. Apa boleh buat. Siapa suruh anak umur 11 dan 7 tahun mengambil foto wisuda, sementara mereka jauh tertelan ratusan manusia yang tinggi-tinggi dan besar-besar.
 
"Mama, sampai berapa wisuda lagi akan Mama hadiri?" hari ini ke dua anakku dengan polos bertanya bersamaan, saat kubawa mereka ke calon tempat wisudaku ke enam. "Hmmmm,  mungkin tujuh, delapan atau sembilan? Who knows?!" kucoba mengelak. "Hey, kalian jangan seperti mama ya! Kalau kuliah, cukup satu atau dua universitas saja. Pastikan kalian dapat job offer sebelum lulus, dan kalian bangun karirmu dari sana. Kalau bisa dapatkan sekolah yang memberikan full-scholarship, jadi kalian dapat menabung biaya kuliah untuk masa depanmu."
 
Believe me or not, aku ini sangat suka sekolah sepertinya. Karena begitu kelas usai, aku merasa sangat kehilangan! Mungkin aku akan terus sekolah sampai nanti!
 
Louisville, 21 May 2014, Dini hari

Monday, February 10, 2014

#27 Déjà vu; Rasa itu Tetap Ada; Melancholy Edition

 
Hari ini matahari bersinar sangat garang.  Sebegitupun masih tak mampu melenyapkan timbunan es dan salju di atas atap, dedaunan dan rumput-rumput halaman. Serasa summer datang di tengah-tengah kebekuan musim dingin. Tahun ini badai salju dan es melanda berkali-kali. Meskipun kami tinggal di perbatasan antara daerah Northeast dengan daerah Mid-West, namun winter kali ini serasa seperti saat kami tinggal di Massachusetts.
 
Déjà vu
  • Déjà vu, from French, literally "already seen", is the phenomenon of having the strong sensation that an event or experience currently being experienced has been experienced in the past, whether it has actually happened or not. (Wikipedia)

  • Entah mengapa, sejak pagi hari saya diterpa perasaan ini. Rasa yang sama yang saya alami saat kecil, saat menatap matahari terbit atau matahari terbenam. Saat mendengar azan Subuh yang mengalun di keheningan pagi, azan Maghrib yang terdengar saat berkendaraan melewati masjid, saat memandang keluar jendela pesawat memandang awan-awan, saat melihat bintang-bintang yang berkedipan di langit kelam.
  •  
  • Rasa itu yang membuat saya sepi, sendiri, membuat saya bertanya-tanya tentang diri. "Siapa saya, untuk apa saya dilahirkan dan kemana saya akan kembali." Rasa itu biasanya muncul sebelum terjadi suatu perubahan dalam hidup saya. Entah perubahan besar atau kecil.
  •  
  • Terakhir saya merasakannya pada waktu saya berada di Boston, dan itu sudah bertahun lalu. Rasa itu sangat kuat  hari ini, dan mengangkat kembali banyak memori lama yang terpendam. Banyak kesedihan dan kepedihan yang lalu, banyak kehilangan, kegagalan dan kematian. Saat saya kecil, setahun sekali kami menghabiskan saat liburan sekolah di rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri saya di kaki gunung Sumbing dan Sindhara. Begitu terpencil desanya, begitu indah namun penuh kesunyian dan kepiluan. Saat itu, sekeliling rumah Mbah di kaki bukit yang penuh dengan pohon kopi dan cengkeh. Aroma bunga kopi berbaur dengan harumnya mawar putih. Pagi-pagi yang dipenuhi kabut tebal saat satu persatu penduduk datang untuk menunaikan sholat Subuh di masjid di pojokan rumah Mbah. Setiap memandang gunung-gunung yang menjulang serasa sangat kecil diri ini. Serasa begitu fana dan sendiri.
  •  
  • Entah mengapa saya banyak menghabiskan waktu naik bis umum, entah itu angkot, kopaja, metro-mini, sampai patas AC. Saya angkat tangan dengan kemacetan Jakarta. Bahkan sampai saya bekerja, saya lebih memilih naik taksi daripada menyetir mobil sendiri. Mungkin karena saya suka melihat pemandangan dari balik jendela. Apalagi saat turun hujan. Saat sendiri, di antara gelapnya malam, karena saya biasanya pulang ke rumah di atas jam sebelas malam, saya seperti melihat bintang yang sama yang saya lihat saat saya kecil. Waktu terasa tiada. Begitu mudahnya bagiNya mengubah segala sesuatu, hidup, mati, peradaban, perubahan, yang bahkan sangat tak mungkin sekalipun bagi manusia bukanlah hal yang mustahil. Sering berlinangan air mata saya, saat teringat hal-hal yang fana. Saat teringat jatuh bangunnya seseorang. Begitu mudahnya seseorang kan terlupakan. Sementara waktu terus bergulir dan kehidupan terus berjalan sampai nanti datangnya hari terakhir.
  •  
  • Hujan entah itu hujan biasa atau hujan salju, dingin, sunyi dan kepiluan, rasanya sama seperti air mata yang mengalir saat mengalami kegetiran dalam kehidupan. Saat saya kecil, saya tak mengerti mengapa begitu sedihnya saya bila tinggal lebih dari tiga hari di tempat Mbah Kakung dan Mbah Putri saya. Desa yang sangat terpencil dan sunyi. Bahkan hingga kini desa itu belum tersentuh oleh modernisasi. Sayangnya penduduknya sudah berubah jauh tak lagi polos dan lugu  seperti dulu.
  •  
  • Kini saya merasa begitu kecil dan sendiri. Hanya ada diri ini dan diriNya. Bagai melihat sebuah film, kenangan dan memori lama datang satu persatu. Seperti pusaran waktu yang menyerap diri ini. Saya melihat kaleidoskop waktu. Saya saat kecil di atas kereta malam dari Gambir menuju Yogyakarta. Berjejalan manusia segala rupa memenuhi gerbong-gerbong kereta kelas ekonomi. Saya duduk di antara mereka. Di setiap perhentian, menyeruak masuk para pedagang asongan menjajakan dagangan, dari telur asin, pecel, minuman, rokok, hingga segala rupa. Saat kereta mendekati stasiun Purwokerto, ibu mulai membuka rantangan, membagi nasi, telur pindang, ayam goreng, empal, serta kering tempe bekal semua. Nikmat sekali rasanya. Ah, masa-masa yang telah berlalu, tak akan pernah kembali. Saat masih ada orang tua yang melindungi dan mengayomi. Hidup kita memang sangat fana.
  •  
  • Kini, saat bepergian sangat mudah mencari makanan, tak perlu lagi jauh-jauh membawa bekal makanan. Namun lucunya, suami dan anak-anak lebih suka bila saya membawa bekal makanan, atau sekedar membawa rice cooker, dan aneka pernak-pernik yang dapat dijadikan masakan sedap sekejap. Sayalah seorang ibu bagi anak-anak saya. Mungkin, jauh di lubuk hati mereka, mereka rasakan juga kesedihan dan kepiluan  seperti yang saya rasakan saat kecil? Kami jauh dari sanak keluarga, jauh sekali. Saat melahirkan ke dua anak saya, hanya ditemani suami saja. Seminggu setelah suami kembali kerja, kembalilah harus menangani sendiri semua pekerjaan rumah bersama si kecil. Mungkinkah seperti ini perasaan ibu saya, yang berpisah jauh dengan kakek dan nenek saya di usia sebelas tahun? Ibu saya menikah saat berusia  enam belas tahun (umur ktp, sebenarnya masih berusia lima belas tahun), untungnya sudah menyelesaikan sekolah menengah atas, jadi tak ada yang percaya kalau ibu saya masih di bawah umur.
  •  
    Tak disangka, saya kini terpisah jauh dari ibunda. Rasa rindu, dan pilu menyatu. Rekor lama berpisah sudah terpecahkan. Bila ibu saya bertemu kedua orang tuanya setelah sepuluh tahun, saya sudah memecahkan rekor itu. Ah, siapa sangka, waktu bergulir begitu cepat.
     
    Saya merasa diriNya begitu dekat, sangat dekat. CintaNya begitu indah, begitu dalam. Bertahun-tahun berlalu, begitu banyak kelalaian diri ini, namun begitupun hanya cinta dan cinta yang diberikanNya selalu. Berlinangan air mata saat teringat sekian lama waktu yang tersia. Banyak yang dapat dilakukan, namun banyak waktu yang terbuang.
     
    Wahai Sang Maha Pengasih
    Engkau lah Pencinta Terbesar di atas langit dan bumi
    Sesejuk pagi Kau mendinginkan hati-hati yang membenci
    Kau basahi lidah-dan hati kami dengan pujian akan kecintaanMu
     
    Duhai Sang Maha Penyayang dan Pengampun
    Tiadalah arti hidup kami yang hina dina ini Ya Rabb tanpa kasihMu
    Sementara kan terbentang dan tersiapkan Padang Makhsyar tuk hari terakhir nanti
    Saat wajah-wajah kami nanti kan termunculkan sesuai dengan amalan kami
     
    Di saat-saat seperti ini, tak ada yang dapat saya lakukan, kecuali berserah diri secara total kepadaNya. Bila manusia berlomba mendetoks diri dari racun raga, inilah saat mendetoks diri dari racun segala. Kehidupan akan terus bergulir, namun kita tak akan pernah tahu kemana dan bagaimana kehidupan akan berlanjut. Bagi seseorang yang paling berkesan mungkin saat dirinya mencapai berbagai keberhasilan, tetapi bukan bagi saya. Momen kehidupan yang paling berkesan adalah saat kehilangan, saat kejatuhan, saat kepedihan, saat terlenakan, saat diri ini hancur dan tak berdaya. Karena pada saat itulah, saat saya merasa berada dalam pelukanNya. Berkali-kali tak terhitung, hidup saya diselamatkanNya. Sekali lagi, berkali-kali lagi, saya diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
     
    Tak ada cinta yang sepedih  dan sepilu ini, seperti cintaMu Ya Rabb...
     
    Louisville
     
    Februari 2014
     
    Hani
     

    Wednesday, February 5, 2014

    #26 Queen; My songs and theirs, too.




    Masa Kecil, Lagu dan Musik
    Waktu saya kecil, tak seperti orang tua teman-teman saya yang hobi nyanyi dan musik, orang tua saya tak terpengaruh dengan trend musik yang sedang in saat itu. Ayah saya senang mendengarkan keroncong atau lagu Melayu, tapi sehari-harinya beliau lebih sering memutar tape lantunan ayat suci Al Qur'an. Ibu saya hampir tak pernah mendengarkan lagu atau musik, atau menyanyi. Beliau ikut saja saat ayah mendengar lagu atau menonton acara musik di TV.

    Sayapun besar dengan lagu hafalan sekolah. Semua lagu A.T. Mahmud atau lagu Bu Kasur masuk di dalamnya. Lagu yang paling hafal? Indonesia Raya dan semua lagu Nasional untuk upacara! Ada teman yang penasaran, kok bisa-bisanya saya hafal semua lagu wajib untuk upacara. Mereka saja yang tak tahu, kalau lagu-lagu itu bisa saya hafal dengan mudah karena serumah membantu saya. Geli rasanya, setiap ada lagu baru, dari ayah, ibu, tante sampai semua yang ada di rumah membantu saya menghafalnya, seperti sama wajibnya menghafal Al Qur'an. Saya akan menyanyi di kamar, di kamar mandi, di atas pohon, pagi siang malam. Pastinya tetangga sampai hafal dengan suara saya deh, ihiks.

    Hasilnya ada memang, selalu masuk tim Paduan Suara sekolah meskipun tak pernah ikut Bina Vokalia. Hampir jadi penyanyi, Alhamdulillah ndak, ketika ada yang menawarkan ke ortu untuk membina saya. Untung saya saat itu masih imut dan di bawah umur jadi NO, jawab orang tua. Kalau nyanyi lagu Nasional dan untuk upacara atau sekolah wajib, tapi nyanyi untuk ditonton, NO WAY lah. Maklum, kami sekeluarga besar dengan pemikiran yang simple saja, sedapat mungkin menjauhi yang tak dicontohkan oleh Rasulullah.

    Saat Remaja
    Jadilah saat di SD, tak satupun penyanyi yang jadi idola saya, meskipun begitu saya ikut ibu saya mendengarkan lagu-lagu Rafika Duri, Andi Meriem Matalatta atau Bimbo. Saya senyum-senyum saja saat pesta atau kumpul-kumpul dengan teman. Teman saya hampir semuanya hafal lagu penyanyi idola mereka. Mereka saja yang tak tahu, saya tak hafal satu lagupun! Paling banter saya kenal nama dan bagian chorusnya saja.

    Sejak SMP, barulah saya mendengarkan lagu dari radio. Saat semua teman jadi fans berat Prambos, saya memilih dengar ElShinta, eh gak mau ikut arus lah ya. Begitu mereka pindah trend, saya teteup aja gak pindah saluran, bukan karena idola, karena ribet, paling pindah ke stasun lain yang acara past by midnightnya gak ada iklannya. Tapiiii, saya tetap tak hafal satu lagupun! Saya tak pernah membeli kaset tape lagu, karena saya tak menganggapnya perlu. Tapi teman-teman saya tak tahu, karena saya bisa mengikuti pembicaraan mereka. Saya memang tak punya kaset tape atau VHS penyanyi yang sedang trend, tapi saya selalu membaca majalah Seventeen dan Rolling Stones. "Gile lu bacaannya," saat ketahuan teman membeli majalah impor di Ratu Plaza. Saya senyum saja. Harga satu majalah bisa dipakai untuk membeli selusin tape, juga bisa mengkaver ketertinggalan saya dari semua yang berbau trendy. Impaslah.

    Saat SMA, saya pindah sekolah ke pinggir kota. Mayoritas pelajarnya dari dua SMP, SMP 68 atau SMP 85. Mereka sangat kompak dan rata-rata aktif di Pramuka atau PMR. Semuanya fans berat Beatles. Sementara, saya dari SMP dengan beda cita rasa musik. Saya lebih suka Bon Jovi, Duran Duran, Phil Collins dan tentu saja Queen.

    Lagi-lagi saya tak hafal satupun lagu-lagunya! Saya modal radio saja mendengarkan lagu-lagu tersebut, tak seperti teman-teman saya yang sampai mempunyai buku lagu dengan semua lirik dan notasi untuk main gitarnya. Mereka begitu berdedikasinya sampai tahu segala seluk beluk penyanyi dan latar belakang lagunya. Semua sampai kalah deh fans K-Boys sekarang! Hehehe...

    Teman-teman saya masih menjadi fans berat dan setia dari penyanyi pujaan saat itu! Termasuk adik saya. Setiap ada konser atau acara digelar di Jakarta, mereka pasti muncul paling depan, atau bahkan jadi promotor acaranya!

    Saya sekarang, Lagu, Musik
    Sekarang saya jarang menyanyi. Suami dan anak-anak saya sangat peka telinganya. Mereka tak suka kalau saya ikut menyanyi saat ada lagu melantun. Ndak menghargai yang menyanyi kata mereka. Kalau mau menyanyi menyanyilah sendiri. Lha, sampai sekarang tak satu lagupun yang saya hafal! Paling banter hanya chorus satu lagu! Seringkali hilang semuanya dari memori.

    Ingat saat tinggal di Jepang, seringkali kena tembak giliran nyanyi di Karaoke. Lagi-lagi saya ndak pernah punya CD lagu. Duh gimana nih, sementara saya gak mau buang uang buat beli CD yang gak bakal saya dengerin. Demi menjaga jangan sampai malu di depan umum, akhirnya deh sekali-sekali ikutan teman praktek karaoke! Lucu kalau ingat saat itu. Dengan $10 perjam bisa nyanyi sepuasnya. Ada tapinya, saya ndak tahu ternyata kalau lagu yang baru cuma muncul di tempat karaoke yang mahalan yang $30 sejamnya. Jadi setiap ada acara karaokean, saya bisanya lagu-lagu lama, model lagunya Teresa Teng atau Misora Hibari. Lagu nenek-nenek! Huaaaaa! Setelah hampir selesai masa studi baru deh bisa nyanyi lagu-lagu yang agak baruan.

    Selama tinggal di USA, saya ndak pernah beli CD, karena sudah zaman download lagu sekarang. Kalau mau dengar satu lagu tinggal beli dari Amazon atau aneka store seperti iTunes. Lagi-lagi, saya masih tak hafal satu lagupun! Duh, gimana ya?

    Tapi ada satu kejadian yang membuat saya terharu. Saya pernah mengunjungi seorang nenek yang usianya hampir 90 tahun. Saat beliau muda, dia suka menyanyi terutama lagu-lagu keagamaan. Sang nenek adalah seorang Yahudi reformis yang fanatik. Entah apa yang membuatnya memutar CD lagu-lagu keagamaan. Namun lagu-lagu itu seperti lantunan orang mengaji, dan seperti lagu gereja juga, sehingga tanpa sadar saya bisa mengikutinya. Sang nenek memeluk saya erat  sambil berlinangan air mata! "Kau genius! Kau seharusnya menjadi penyanyi Opera atau Cantor!" "Berpuluh tahun saya coba mengajarkan pada anak-anak saya, tak ada satupun yang bisa menyanyi seperti yang saya ajarkan, tapi kau belum pernah mendengarnya, bahkan tak bisa Yiddish atau Hebrew, tapi kau bisa langsung mengikutinya!"

    Sejujurnya, saya tak tahu  dan tak hafal lagu-lagunya. Saya hanya bernyanyi seperti saat di karaoke, survival karena tak hafal dan tak tahu lagunya, jadi hanya improvasi semata, lha kebetulan lagu 3 CD kok ya bisa pas cengkoknya.

    Tadinya, hanya satu yang lumayan bisa dishare antara saya dan anak-anak, lagu-lagu Queen! Akhirnya saya coba kenalkan pada mereka lagu-lagu lama yang saya pernah dengar. Di luar dugaan, banyak lagu yang mereka suka, lalu mereka browse sendiri. Thanks to Wiki dan Youtube. Sama seperti saya, mereka tak punya CD atau iPod, tapi mereka improvisasi dengan knowledge mereka sendiri dengan riset dari berbagai sumber. Saya kenalkan mereka juga dengan sejarah musik dan berbagai aliran musik di berbagai tempat dan masa. Sekali-sekali saya dan anak-anak bernyanyi bersama, dari O Mio Babino Caro, sampai I got a move like Jagger.

    Saya tak pernah minder karena tak tahu lagu-lagu trendy. Juga tak pernah minder, karena tak punya kaset, CD, DVD atau berbagai alat musik lainnya. Saya menghargai lagu dan musik sebagai karya seni dan itu yang saya ingin teruskan kepada anak-anak saya, agar mereka respek dan menghargai lagu dan musik sebagai karya seni. Walau pada akhirnya, karya seni yang terindah adalah Al Qur'an.

    Semoga anak-anak sayapun dapat mencapai ke tingkatan mendedikasikan diri kepada karya seni yang tertinggi dan terindah di dunia ini. Insya Allah. Aamiin Ya Robbal 'Alamiin.


    Louisville, Februari 2014

    Hani

    Sunday, February 2, 2014

    #25 Expiration Date for Friendship?

     
    Demam Cari Alumni
     
    Beberapa hari yang lalu, masih dalam suasana demam tahun baru, saya mengontak teman lama sewaktu studi di Jepang. Saat saya mengontak mereka, sayapun teringat dengan teman-teman dari berbagai bangsa yang mengikuti training di Jepang. Duh senangnya, saat satu persatu menemukan teman-teman lama!
     
    Ternyata waktu dan jarak yang memisahkan saya dan teman-teman tak menghapus kenangan manis saat kami bersama. Ternyata kenangan baik saja yang muncul dari memori. Alhamdulillah. Senang mengetahui banyak teman yang sudah berhasil dalam karir dan kehidupan. Meskipun banyak yang belum terup-date  datanya terkini, namun di balik sanubari terdalam terucap pengharapan agar mereka sehat selalu dan menjalani kehidupan sebaik-baiknya.
     
    Saya; Sepi dalam keramaian
     
    Bagi perantau seperti saya, dunia saya sangat kecil. Sehari-hari saya hanya bertemu dengan anak dan suami. Sesekali bertemu teman kuliah, sesekali bertemu orang saat belanja di supermarket, atau menyapa satpam di gedung kampus dan perpustakaan. Memori perantau terpantek saat terakhir bertemu atau berkunjung ke sesuatu tempat. Sementara waktu terus berputar, dan kitapun bergerak, berubah.
     
    Saat saya masuk SMP, saya terputus komunikasi dengan teman TK dan SD. Melanjutkan ke SMA, komunikasi saya terputus dengan teman SMP, kecuali dengan teman SMA dari SMP yang sama. Saat melanjutkan kuliah, saya bertemu kembali dengan teman baik dari TK sampai SMA.
     
    Namun, entah kenapa, saat kuliah, saya seperti terputus komunikasi dengan hampir semua teman yang ada. Saya sibuk antara kuliah, bekerja dan giliran menjaga adik yang bolak-balik dirawat lama di RS, sampai meninggalnya. Begitu terfokusnya saya dengan urusan sendiri, sampai-sampai saya tak terlalu memikirkan tentang indahnya masa kuliah. Akhirnya kelas saya selesaikan di tahun ke tiga, dan sambil menulis skripsi, saya bekerja di tahun keempat perkuliahan.
     
    Saya; Pertapa
     
    Dari satu waktu, ke waktu yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, saya hidup seperti pertapa. Bagaimana tidak? Selalu ada saja hal yang membuat saya jauh dari keramaian. Saya jadi teringat opini mereka yang anti sosmed, intinya punya teman satu tapi real lebih berharga dari punya teman sejuta tapi sosmed semua.
     
    Waduh! Teman real saya sekarang tak lebih dari jumlah jari jemari saya. Itupun biar sekota tak mudah untuk berjumpa. Saya bukan tukang ngobrol yang suka telpon-telponan, atau chatting atau berbalas texting.
     
    Saya; Facebook
     
    Teman di fb saya berubah jumlah tergantung suasana hati. Saya pernah punya kontak 2000 orang hanya untuk bisa naik level di Mafia War. Xixixi, saat itu sedang tarik tambang dengan suami supaya mendapat lampu hijau untuk kuliah lagi. Setahun lebih saya main MW, FV, dan 2-3 games yang ada di fb. Saat 'nge-game' saya sampai riset semua tips and tricknya, sampai dalam waktu 3 bulan level saya sudah menuju angka ribuan, sampai-sampai diadd oleh para suhu gamer. Xixixi, mungkin ada beberapa yang masih jadi kontak saya sekarang.
     
    Tarik tambang menghasilkan lampu hijau suami untuk kuliah! Cihui! Alhamdulillah. No Ph.D.! kata suami. KELAMAAN! Xixixi. Tapi, ada tapinya. Stop semua fb games, dan hapus semua kontak gamer. Oh lalala! Demi demikian, akhirnya saya pangkas habis semua kontak gamer, kecuali yang memang teman sekolah. Saya ndak sempat minta maaf, atau ba bi bu, lha gamer kan konsennya saat nge'game' kan. Ribet nanti kalau sudah masuk wilayah personal.
     
    Lalu sempat juga demam event ini atau event itu, ikut group ini dan group itu. Hasilnya, saya mungkin satu-satunya yang ndak bisa meet-up atau kopi darat dengan semua. Kembali deh, saya tetap jadi pertapa. Serasa dunia saya malah semakin menciut.
     
    Melanda deh yang namanya pemangkasan alias bersih-bersihan kontak di fb. Bukan sekali dua kali saya bebersih juga, terutama akun yang non-aktif, atau yang postingannya miring-miring. Eh, ternyata saya juga termasuk yang 'dipangkas' xixixi! Gubraks! Gak sekali dua kali, sering kali!
     
    Kalau yang memangkas saya memang ndak pernah kenal, ndak ada ilfil deh di hati. Tapiiiiii, kalau tahu yang memangkas nih temen kuliah dulu, atau tetangga pojok jalan yang sekarang dah jadi kaya raya, ternama dan super popular, rasanya gimana gitu! Bikin hati jadi bertanya-tanya, kenapa ya? Kita salah apa ya sama dia? Ooh, memang salah besar kok, pernah pinjam barang belum terkembalikan. Nah lo, bagaimana nih? Meskikah berulang kali meminta maaf sampai ybs rela memaafkan?
     
    Sering kali saya baca, kontak saya bebersih kontak yang ndak pernah menyapa, ndak pernah komen, ndak pernah kirim PM atau inbox message, atau ndak pernah chatting atau telpon langsung dengannya. Saat terbaca status itu, saya 'nyengir kuda' deh. Semua kategori itu klop sekali dengan saya! Saya ngelike yang pas kelihatan aja, jarang komen, jarang PM atau kirim inbox message, hampir ndak pernah chatting apalagi telpon langsung!
     
    Saat teringat teman-teman di Jepang, saya jadi terfikir. Bagaimana ya reaksi mereka setelah sekian lama tak ada kontak sama sekali. Maklum, saya bersekolah di sana sebelum masa sosmed ada. Untuk internetan saja masih pakai dial-up. Begitu kembali ke tanah air, baru mulai boomed warnet dan internet café, tapi ya itulah, babar blas hilang semua kontak. Ternyata, Allah Maha Pengasih dan Penyayang! Surprise! Very nice surprise! Serasa kembali muda lagi dan bernostalgia.
     
    Saya; Sosial Media
     
    Setiap kali saya pindah ke suatu tempat, ada saja kejadian yang membuat saya terputus hubungan dengan teman di tempat sebelumnya. Bagi saya yang bertapa di tengah keramaian, sosmed menjadi jendela dunia. Banyak orang-orang yang saya kenal, dulu, yang masih bisa saya baca statusnya atau saya lihat fotonya. Banyak saudara yang sudah puluhan tahun tak jumpa, bisa saling menyapa di sana. Banyak pula yang masih terus saling melihati tanpa komen dan pesan, kadang masih me'like', namun saya dapat merasakan ketulusan pengharapan untuk kebaikan.
     
    Buat saya, teman sekolah di manapun berada adalah teman. Teman bermain saat kecil sampai kini adalah teman. Teman mengaji di manapaun berada adalah teman. Teman menuntut ilmu, bahkan sampai hanya untuk belajar sebuah hal yang kecil dan remeh adalah teman.
     
    Teman yang saya peroleh dari dunia maya adalah teman, meskipun kadangkala ada fluktuasinya. Agaknya, buat kontak fb, pertemanan saya terbatas sampai saya dipangkas dari lingkaran teman nyata. Padahal sejujurnya, bila lingkaran teman nyata itu diterapkan dengan rigid, kontak saya hanyalah sebatas jari jemari saja. Dan lebih sejujurnya, saya bahkan jarang komen, menyapa, me'like' atau mengirim PM dan inbox message pada teman sekota saya sekarang! Jadi saya ini contoh murni dari kontak yang tak real, xixixi!
     
    Saya; Friendship
     
    Ada orang yang berkata bahwa kita harus selektif dalam berteman. Banyak teman di kelas saya sekarang yang berprinsip, sekelas belum berarti berteman. Sementara saat saya tinggal di Jakarta, dan di Tokyo serta Chiba, teman sekelas adalah teman meskipun kita tak pernah dekat, meskipun kita tak pernah jumpa, meskipun mungkin kita tak pernah tahu kehidupan pribadinya. Meskipun, mungkin kita tak mau menjadi kontak fbnya !
     
    So, bagi saya susah mengatakan bahwa friendship ada expiration datenya. Sekali menjadi teman, akankah terus menjadi teman? Insya Allah, selama masih terus berada di jalan kebenaran dan kebaikan utnuk dunia akherat. Semoga!
     
    By the way, mohon saya dimaafkan untuk semua kekhilafan lahir batin, baik yang pernah saya pangkas dari fb atau yang pernah memangkas saya dari fb, dan semua yang mengenal saya baik hanya nama, hanya cerita sampai yang benar real teman yang pernah jumpa. Saya bisa berkata tak ada expiration date for friendship!
     
    Louisville
    Februari 2014

    Hani

    For: Ida Ayu Mustika Dewi, Savitri Handayani, Anna Herlina dan Ratna Sari, we met in Worcester, MA. Love, you all!