Showing posts with label lucky. Show all posts
Showing posts with label lucky. Show all posts

Thursday, February 5, 2015

#31 Emotional Eater;Seasonal Writer


#31 Emotional Eater;Seasonal Writer


Tak terasa setengah tahun telah berlalu dari posting terakhirku di tahun 2014. Lagi-lagi, New Year Revolution yang tak terucapkan dan tak terpenuhi! Menulis setidaknya satu blog sebulannya. Aish!
Ini kata K-Drama, lho.

Bebenah rumah setelah sekian lama, baru sadar kalau punya blog yang lama banget gak di update. Gubraks! Tahun ini bukan main deh! Alhamdulillah Ya Allah, sampai-sampai waktu berlalupun sangat tak terasa.

Jadilah tak ada New Year Resolution. Tak ada list yang dilanggar karena tak pernah direalisasikan.
Tinggal satu pertanyaan yang tersisa. Quo Vadis, Hani?

2014 vs 2015

Tahun lalu banyak nano-nano jadi satu. Alhamdulillah transisi status dari student menjadi pekerja berjalan mulus. Banyak tantangan silih berganti, banyak kemudahan pula yang didapat dariNya. Alhamdulillah, satu persatu kesulitan hilang dan terselesaikan dengan sempurna. Alhamdulillah pula banyak bantuan tak terduga, dan uluran tangan yang sangat berharga.

Memasuki tahun 2015, penuh dengan harapan dan doa. Tersadar sekali betapa tak berdayanya diri ini. Sehari yang 24 jam ini, sangat tak cukup untuk semua kesibukan sehari-hari. Jalan baru mulai ditapaki. Tak dapat mundur atau berbalik arah lagi. Sekarang bagaimana mengolah waktu yang 24 jam itu menjadi bermanfaat seefisien mungkin.

Tahun 2015 insya Allah tahunnya bintang buat kami sekeluarga. Lho, kok bisa bilang begitu? Setelah melewati tiga tahun penuh perjuangan di segala segi, alhamdulillah, kami sekeluarga insya Allah bisa melalui hari-hari ke depan dengan rasa syukur yang lebih kepadaNya dari pada hari-hari yang lalu.

Ada kemajuan di segala arah bagi kami sekeluarga, dari pekerjaan, kesehatan, pendidikan hingga hubungan dengan keluarga dan teman. Terbukti sekali bahwa di setiap kesulitan Allah berikan kemudahan. Banyak hal yang tak mungkin dijadikanNya nyata. "Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan?"

Emotional Eater

Merefleksi diri serumah, ternyata kita serumah masuk golongan emotional eater. Begitu senang, kita semua langsung setuju makan di luar, atau belanja grocery makanan saat itu juga. Begitu sedih dan susah, kita menghibur diri juga dengan makan. Semakin stress, semakin banyak makanan yang dikonsumsi.

F besar sepertinya punya cita rasa yang cukup tinggi. Hobinya makan sushi, gourmet fusion dan Mediterranian. F kecil, cocok jadi kritikus foodie. Aduh, jangan tanya pickynya! Kalau dia jadi juri food contest atau jadi food kritik, bisa habis dibantai tuh para kontestannya. Hasilnya, jaraaaang sekali masakan ibunya dipuji F kecil, ihiks. Yang dipuji masakan Mediterranian. Aaaah, alamak mamanya harus belajar masak neh!

Setelah melanglang berbagai restoran bersama, kesimpulan terakhir:
1. Pass semua restoran buffet; rendah kualitas baik bahan, rasa, kebersihan, kesehatan.
2. Pass junk food chain restoran; alasan idem di atas.
    (Yang masih masih kadang dilanggar, alasannya beli kopi atau salad)
3. Pass resto masakan Cina, Korea, Jepang, Asia, kecuali 1-2 yang lulus uji lidah keluarga.
    (Semua setuju, masakan mamanya masih lebih enak, murah dan dijamin halal, hooray!)
4. Pass semua Pizza Corner, kecuali 1-2 occassion.
    (Jadi ingat zaman bikin pizza sendiri, ehm. Mana waktunya?)
5. Sepakat, beli bahan yang organik sebisa mungkin, segar dan halal.
6. Masakan mama TOP deh! (Mamanya happy deh!)

Hasilnya? Papa turun 5 kg, F besar bertahan di kisaran normal, F kecil naik 5 kg, mamanya  tetap bundar! Rahasia papa adalah tak makan nasi, dan nasi diganti dengan flat bread. F besar makan separoh porsi biasa dengan variasi yang lebih berbeda. F kecil naik timbangan karena selalu minum susu dan keju. Mamanya? Jadi lapar setiap nonton K-drama. Apalagi setiap scene makan sekeluarga! Duh itu banchan lengkap muncul semua. Cita-cita pengen punya dapur minimal dua, dapur basah, kering dan dapur terpisah dari rumah buat nyale, nyate, mepes, ngerendang, nahu, nempe, ngecap, ngasinin, manisin etc! Pengen punya halaman belakang yang luas, cukup buat kebun sayur mayur sendiri, buat tempat guci kimchi, tunjang kanjang, sama gazebo buat  ngeringin radish, cabe etc.

Seasonal Writer

Yang ini sudah terbukti tuh. Nulisnya sesuka hati. Ini nih yang perlu dibenahi. Harusnya teratur ya, seperti shalat. Ehm. Jadi langkah pertama nih mesti benerin shalatnya. Kalau shalat bener, insya Allah yang lain-lainnya ikut teratur juga. (Ini sih, nalar saya saja, xixixi).

Hayuk ah, sudah berlabel dua di tahun 2015, jadi ada target yang harus dibenahi diri.
1. Makan seperlunya saja, biar sedang senang susah etc, cukup secubit serasa deh. Kalau lapaar bangetz gimana? Sedia jeruk Mandarin sama Nature Valley Protein Bar yang penuh nuts, almond sama dark chocolate. Haiyyya! Anak-anak happy sama microwave popcorn organik.
2. Tidur yang pulas dan cukup. Terutama buat anak-anak, supaya segar di pagi hari berikutnya.
3. Banyak-banyak berdoa dan beribadah, serta bebersih dan berbenah.
4. Sering-seringlah bersedekah. Senyum ikhlas juga sudah masuk sedekah :) Semoga diberi kelancaran rezeki dan dapat bersedekah lebih tahun ini dan ke depan.
5. Selalu bersyukur padaNya dan selalu memohon ampunanNya.
6. Membersihkan hati, fikiran, raga dan lingkungan.
7. Always in love! Love will always surround you. Smile.

Semoga besok semakin baik dari hari ini!

Hani




Wednesday, May 21, 2014

#30 Demam Wisudawan

 
 
 
Tak terasa sudah memasuki pertengahan akhir bulan Mei 2014. Setelah sekian lama berpacu dengan waktu, akhirnya selesai juga studiku tanggal 13 Mei lalu. Ada yang hilang dari sisi hati. Spontanitas kegembiraan yang jauh berbeda dengan wisuda-wisuda yang lalu.
 
Tak seperti saat wisuda pertamaku di kampus UI Depok, saat aku maju menyampaikan pidato wakil wisudawan di antara sekitar tiga ribuan wisudawan dari tingkat Diploma sampai Doktoral. Betapa kikuknya diriku berjalan menyangga sanggul sebesar dan seberat cobek diantara lilitan kain wiron yang kekencangan. Kepala dan dadaku hanya penuh dengan doa, "Ya Allah jangan sampai sanggul ini lepas menggelundung saat aku berada di atas panggung, atau jangan sampai kain wironku merosot terinjak langkahku yang tertatih tatih."
 
Hooray! Merdeka rasanya setelah acara selesai! Tak ada yang  membahagiakan diriku lebih dari melihat orang tua yang membiayaiku sekolah tersenyum setulusnya. Satu beban mereka telah usai.
 
Wisuda yang ke dua, aku berada jauh dari keluarga. Demam panggungku lebih terasa daripada wisuda pertamaku. Wisudawan yang ada adalah utusan dari sekitar lima puluhan negara. Aku serasa robot, maju ke panggung dengan tanpa ekspressi. Dentum-dentum detak jantungku memenuhi rongga telinga. Serasa seluruh mata tertuju pada diriku. Para Duta Besar masing-masing negara juga hadir di sana. Aku sibuk mensimulasikan diriku berjalan ke panggung, menerima Diploma lalu bersalaman dengan para pembesar yang ada di atas panggung sambal berjalan kembali ke tempat semula. Senyum dan tawaku begitu diplomatis di sana. "Fotonya bagus, kok!" kata semua.
 
Duh, mereka tak tahu demam panggungku begitu membahana, sampai-sampai sedetik serasa seabad!
 
Wisuda ke-tiga, masih jauh dari keluarga, aku absen. Karena bersamaan dengan ujian masuk Program di Universitas lain. Tak ada foto, tak ada jabat tangan, tak ada Diploma yang diserah terimakan. Tak ada cerita. Titik.
 
Wisuda ke empat sangat mengharu biru. Semuanya seperti mimpi. Dari masuk ke Program sampai lulus, penuh dengan keberuntungan. Bisa-bisa aku ganti gelar jadi Master of Luck! Aku memakai set kebaya sendiri. Rambutku panjang sampai sepantat, jadi cukup kugulung menjadi konde cepol. Kain wironku buatan ibuku tercinta, sudah custom-made sehingga sangat nyaman dipakai dengan kebaya dan selendang merah mudanya. Fotoku dan Professor pembimbingku penuh dengan senyum sumringah.
 
13 Mei yang lalu adalah wisudaku ke lima. Tak ada kebaya atau sanggul. Aku memakai ghamis made in Indonesia kiriman ibuku tercinta, mungkin lebih tepatnya Kaftan Indonesia warna abu-abu dengan bordiran deretan mawar pink memanjang vertikal sepanjang tengah badan. Ibuku selalu berfikir kalau aku cocok dengan warna abu-abu dan pink. Pertama kalinya aku hadir di wisuda tanpa demam panggung! Ada sekitar tiga ribuan wisudawan, namun hanya seperlima dari mereka yang hadir. Aku datang bersama ke dua anak laki-lakiku. Mereka tak terlihat di antara ratusan keluarga yang hadir. Seperti yang kuduga, akhirnya tak ada foto diriku di dalam kamera! Kedua anakku sibuk selfie sendiri berbagai gaya! Xixixixi. Apa boleh buat. Siapa suruh anak umur 11 dan 7 tahun mengambil foto wisuda, sementara mereka jauh tertelan ratusan manusia yang tinggi-tinggi dan besar-besar.
 
"Mama, sampai berapa wisuda lagi akan Mama hadiri?" hari ini ke dua anakku dengan polos bertanya bersamaan, saat kubawa mereka ke calon tempat wisudaku ke enam. "Hmmmm,  mungkin tujuh, delapan atau sembilan? Who knows?!" kucoba mengelak. "Hey, kalian jangan seperti mama ya! Kalau kuliah, cukup satu atau dua universitas saja. Pastikan kalian dapat job offer sebelum lulus, dan kalian bangun karirmu dari sana. Kalau bisa dapatkan sekolah yang memberikan full-scholarship, jadi kalian dapat menabung biaya kuliah untuk masa depanmu."
 
Believe me or not, aku ini sangat suka sekolah sepertinya. Karena begitu kelas usai, aku merasa sangat kehilangan! Mungkin aku akan terus sekolah sampai nanti!
 
Louisville, 21 May 2014, Dini hari