Showing posts with label de ja vu. Show all posts
Showing posts with label de ja vu. Show all posts

Wednesday, April 19, 2017

#33 April's Flower



        April yang biasanya penuh dengan bebungaan, tahun ini terasa sepi. Bunga-bungaan mekar terlalu awal di bulan Februari. Saat memasuki bulan April, hujan yang datang silih berganti meluruhkan bebungaan sebelum waktunya. Hanya dedaunan hijau yang melebat memenuhi pinggiran jalan.

         Tentu saja bebungaan selalu tersedia di toko bunga atau pojok florist di dalam supermarket. Dari mawar yang selalu tersedia setiap musim, tulip, lili, garbera, daisy, hingga sweet pea.

           Indah sekali bebungaan di musim semi. Namun, tahun ini alergi sangat mengganggu. Dari gatal-gatal, mata merah berair, hidung tersumbat, bersin dan batuk tak henti, sangat mengganggu sekali. Itulah seasonal alergy. Pertama kali kudengar istilah itu waktu aku tinggal di Jepang. Guru di kelasku bercerita, bagaimana susahnya dia setiap musim semi tiba karena dia menderita seasonal allergy/kafunsho.

         Kafunsho sendiri di Jepang adalah hay fever allergy, terutama terjadi karena tingginya pollenisasi bunga Pohon Japanese Cedar. Belakangan, istilah ini juga dipakai untuk alergi polen berbagai bunga lain.

            Saat itu, aku tak punya alergi apapun. Alergi baru kurasakan sejak tinggal di tepian sungai Ohio ini.  Topografi kotaku yang seperti cekungan dikelilingi oleh bukit dan pegunungan di sekitarnya, membuat semua endapan dan polutan alam terkumpul di daerahku. Satu-satunya cara untuk menyembuhkan permanen hanya dengan berhijrah dan tinggal di tempat yang bersih dari polusi. Bila tidak, maka bersabarlah dengan obat alergi yang ada, atau sibuk mempertinggi imunitas tubuh dari kerentanan polusi alam.

             Amerika Serikat adalah satu wilayah benua yang luas. Beda dengan Indonesia, Jepang atau Filipina yang merupakan negara kepulauan, apa yang terjadi di tetangga State akan langsung berdampak pada wilayah sekitarnya. Dari, cuaca, temperatur, kecepatan angin, hujan hingga kebakaran hutan, kekeringan dan banjir, tornado atau badai akan saling berpengaruh satu sama lain dalam skala yang sangat besar.

             Menyebarnya polenpun begitu. Bayangkan bila polen dari jutaan bebungaan pinus atau cedar, atau bunga dalam skala luas menyerang satu daerah. Sekuat apapun seseorang, akhirnya akan terkena seasonal allergy juga pada satu saat.

            Begitulah polen. Bila hanya satu butir polen, mungkin tak akan mampu menyerang kekebalan tubuh manusia. Tapi berjuta-juta polen, bahkan bisa meluluhlantakkan penduduk satu daerah.

Sunday, February 5, 2017

#32 Spring spring!


Baru saja lewat ground hog day, serasa sudah tak sabar menanti musim semi tiba. Tahun 2016 dan 2017 serasa lewat begitu cepat. Entah ini tanda-tanda ketuaan diri atau tanda-tanda menjelang akhir dunia. Cuaca pun berubah-ubah  tak menentu. Musim dingin paling aneh yang pernah saya rasakan selama hidup. Satu hari suhu mencapai 60 derajat Fahrenheit dan keesokan harinya turun drastis ke 19 derajat Fahrenheit. Hari berikutnya hujan seharian di kisaran 30an derajat Fahrenheit.

Bulan Februari yang biasanya penuh dengan salju kini kering kerontang, kadang sangat dingin kadang terang benderang dan panas seharian. Entah bagaimana jadinya nanti musim panas tahun ini?! Mudah-mudahan tak terjadi kekeringan besar-besaran di berbagai tempat nanti.

Musim semi di Amerika Serikat terasa berbeda dengan musim semi di Jepang. Tak ada hanami, tak ada piknik masal di bawah pohon Sakura/ Japanese Cherry yang bermekaran sambil makan dan minum, berkaraoke, bahkan mabuk sake atau bir. Orang Jepang menikmati hanami hampir merata di seluruh Jepang. Sementara di Amerika Serikat, suasana musim semi berbeda antara satu State dengan lainnya. Adakah bunga kebangsaan musim semi? Hmmm...rasanya tak ada, karena bunga yang bermekaranpun tergantung zonenya. Ada 26 zone cocok tanam di Amerika Serikat. Tiap zone mempunyai jenis bunga yang bisa tumbuh dan mekar di daerah tersebut.

Amerika Serikat daratannya sangat luas meskipun tak seluas Rusia atau Canada. Daratan Amerika Serikat lebih luas wilayahnya dari China. Indonesia menduduki urutan ke 15 di bawah Saudi Arabia, karena mayoritas wilayahnya adalah laut dan lautan.

Kembali ke musim semi. Bila Jepang memiliki hanami sebagai event utama di musim semi, di Amerika Serikat juga ada tempat-tempat tertentu yang merayakan kedatangan musim semi dengan Spring Festival Events. Di Washington D.C. dirayakan Japanese Cherry Blossom Festival sejak tahun 1934. Selain Washington D.C., Macon, Georgia juga punya festival serupa. Selain bunga Sakura, orang Amerika Serikat mempunyai festival bunga tulip, bunga, mawar dan bunga Lilac.

Tapi tetap saja suasana festival sangat berbeda dengan suasana hanami. Meskipun sama piknik, orang di Amerika Serikat suka piknik dengan makanan potluck atau buffet atau barbecue. Sementara di Jepang, untuk hanami orang membuat atau membeli bento spesial hanami. Bagi yang ingin mencoba membuat sendiri bisa dilihat di link hanami bento. Tinggal disusun secara cantik dalam kotak-kotak bento dan disajikan sambil piknik memandangi bunga yang bermekaran. Bisa sambil menyanyi atau karaoke di taman. Jauh dari taman? Pikniklah di halaman sendiri!

Aaaah...matahari bersinar terang di luar. Saya keluar dulu, ya! Mau mencari kehangatan sang surya!

Louisville, 5 Februari 2017.

Hani 💓

Wednesday, May 21, 2014

#30 Demam Wisudawan

 
 
 
Tak terasa sudah memasuki pertengahan akhir bulan Mei 2014. Setelah sekian lama berpacu dengan waktu, akhirnya selesai juga studiku tanggal 13 Mei lalu. Ada yang hilang dari sisi hati. Spontanitas kegembiraan yang jauh berbeda dengan wisuda-wisuda yang lalu.
 
Tak seperti saat wisuda pertamaku di kampus UI Depok, saat aku maju menyampaikan pidato wakil wisudawan di antara sekitar tiga ribuan wisudawan dari tingkat Diploma sampai Doktoral. Betapa kikuknya diriku berjalan menyangga sanggul sebesar dan seberat cobek diantara lilitan kain wiron yang kekencangan. Kepala dan dadaku hanya penuh dengan doa, "Ya Allah jangan sampai sanggul ini lepas menggelundung saat aku berada di atas panggung, atau jangan sampai kain wironku merosot terinjak langkahku yang tertatih tatih."
 
Hooray! Merdeka rasanya setelah acara selesai! Tak ada yang  membahagiakan diriku lebih dari melihat orang tua yang membiayaiku sekolah tersenyum setulusnya. Satu beban mereka telah usai.
 
Wisuda yang ke dua, aku berada jauh dari keluarga. Demam panggungku lebih terasa daripada wisuda pertamaku. Wisudawan yang ada adalah utusan dari sekitar lima puluhan negara. Aku serasa robot, maju ke panggung dengan tanpa ekspressi. Dentum-dentum detak jantungku memenuhi rongga telinga. Serasa seluruh mata tertuju pada diriku. Para Duta Besar masing-masing negara juga hadir di sana. Aku sibuk mensimulasikan diriku berjalan ke panggung, menerima Diploma lalu bersalaman dengan para pembesar yang ada di atas panggung sambal berjalan kembali ke tempat semula. Senyum dan tawaku begitu diplomatis di sana. "Fotonya bagus, kok!" kata semua.
 
Duh, mereka tak tahu demam panggungku begitu membahana, sampai-sampai sedetik serasa seabad!
 
Wisuda ke-tiga, masih jauh dari keluarga, aku absen. Karena bersamaan dengan ujian masuk Program di Universitas lain. Tak ada foto, tak ada jabat tangan, tak ada Diploma yang diserah terimakan. Tak ada cerita. Titik.
 
Wisuda ke empat sangat mengharu biru. Semuanya seperti mimpi. Dari masuk ke Program sampai lulus, penuh dengan keberuntungan. Bisa-bisa aku ganti gelar jadi Master of Luck! Aku memakai set kebaya sendiri. Rambutku panjang sampai sepantat, jadi cukup kugulung menjadi konde cepol. Kain wironku buatan ibuku tercinta, sudah custom-made sehingga sangat nyaman dipakai dengan kebaya dan selendang merah mudanya. Fotoku dan Professor pembimbingku penuh dengan senyum sumringah.
 
13 Mei yang lalu adalah wisudaku ke lima. Tak ada kebaya atau sanggul. Aku memakai ghamis made in Indonesia kiriman ibuku tercinta, mungkin lebih tepatnya Kaftan Indonesia warna abu-abu dengan bordiran deretan mawar pink memanjang vertikal sepanjang tengah badan. Ibuku selalu berfikir kalau aku cocok dengan warna abu-abu dan pink. Pertama kalinya aku hadir di wisuda tanpa demam panggung! Ada sekitar tiga ribuan wisudawan, namun hanya seperlima dari mereka yang hadir. Aku datang bersama ke dua anak laki-lakiku. Mereka tak terlihat di antara ratusan keluarga yang hadir. Seperti yang kuduga, akhirnya tak ada foto diriku di dalam kamera! Kedua anakku sibuk selfie sendiri berbagai gaya! Xixixixi. Apa boleh buat. Siapa suruh anak umur 11 dan 7 tahun mengambil foto wisuda, sementara mereka jauh tertelan ratusan manusia yang tinggi-tinggi dan besar-besar.
 
"Mama, sampai berapa wisuda lagi akan Mama hadiri?" hari ini ke dua anakku dengan polos bertanya bersamaan, saat kubawa mereka ke calon tempat wisudaku ke enam. "Hmmmm,  mungkin tujuh, delapan atau sembilan? Who knows?!" kucoba mengelak. "Hey, kalian jangan seperti mama ya! Kalau kuliah, cukup satu atau dua universitas saja. Pastikan kalian dapat job offer sebelum lulus, dan kalian bangun karirmu dari sana. Kalau bisa dapatkan sekolah yang memberikan full-scholarship, jadi kalian dapat menabung biaya kuliah untuk masa depanmu."
 
Believe me or not, aku ini sangat suka sekolah sepertinya. Karena begitu kelas usai, aku merasa sangat kehilangan! Mungkin aku akan terus sekolah sampai nanti!
 
Louisville, 21 May 2014, Dini hari

Monday, February 10, 2014

#27 Déjà vu; Rasa itu Tetap Ada; Melancholy Edition

 
Hari ini matahari bersinar sangat garang.  Sebegitupun masih tak mampu melenyapkan timbunan es dan salju di atas atap, dedaunan dan rumput-rumput halaman. Serasa summer datang di tengah-tengah kebekuan musim dingin. Tahun ini badai salju dan es melanda berkali-kali. Meskipun kami tinggal di perbatasan antara daerah Northeast dengan daerah Mid-West, namun winter kali ini serasa seperti saat kami tinggal di Massachusetts.
 
Déjà vu
  • Déjà vu, from French, literally "already seen", is the phenomenon of having the strong sensation that an event or experience currently being experienced has been experienced in the past, whether it has actually happened or not. (Wikipedia)

  • Entah mengapa, sejak pagi hari saya diterpa perasaan ini. Rasa yang sama yang saya alami saat kecil, saat menatap matahari terbit atau matahari terbenam. Saat mendengar azan Subuh yang mengalun di keheningan pagi, azan Maghrib yang terdengar saat berkendaraan melewati masjid, saat memandang keluar jendela pesawat memandang awan-awan, saat melihat bintang-bintang yang berkedipan di langit kelam.
  •  
  • Rasa itu yang membuat saya sepi, sendiri, membuat saya bertanya-tanya tentang diri. "Siapa saya, untuk apa saya dilahirkan dan kemana saya akan kembali." Rasa itu biasanya muncul sebelum terjadi suatu perubahan dalam hidup saya. Entah perubahan besar atau kecil.
  •  
  • Terakhir saya merasakannya pada waktu saya berada di Boston, dan itu sudah bertahun lalu. Rasa itu sangat kuat  hari ini, dan mengangkat kembali banyak memori lama yang terpendam. Banyak kesedihan dan kepedihan yang lalu, banyak kehilangan, kegagalan dan kematian. Saat saya kecil, setahun sekali kami menghabiskan saat liburan sekolah di rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri saya di kaki gunung Sumbing dan Sindhara. Begitu terpencil desanya, begitu indah namun penuh kesunyian dan kepiluan. Saat itu, sekeliling rumah Mbah di kaki bukit yang penuh dengan pohon kopi dan cengkeh. Aroma bunga kopi berbaur dengan harumnya mawar putih. Pagi-pagi yang dipenuhi kabut tebal saat satu persatu penduduk datang untuk menunaikan sholat Subuh di masjid di pojokan rumah Mbah. Setiap memandang gunung-gunung yang menjulang serasa sangat kecil diri ini. Serasa begitu fana dan sendiri.
  •  
  • Entah mengapa saya banyak menghabiskan waktu naik bis umum, entah itu angkot, kopaja, metro-mini, sampai patas AC. Saya angkat tangan dengan kemacetan Jakarta. Bahkan sampai saya bekerja, saya lebih memilih naik taksi daripada menyetir mobil sendiri. Mungkin karena saya suka melihat pemandangan dari balik jendela. Apalagi saat turun hujan. Saat sendiri, di antara gelapnya malam, karena saya biasanya pulang ke rumah di atas jam sebelas malam, saya seperti melihat bintang yang sama yang saya lihat saat saya kecil. Waktu terasa tiada. Begitu mudahnya bagiNya mengubah segala sesuatu, hidup, mati, peradaban, perubahan, yang bahkan sangat tak mungkin sekalipun bagi manusia bukanlah hal yang mustahil. Sering berlinangan air mata saya, saat teringat hal-hal yang fana. Saat teringat jatuh bangunnya seseorang. Begitu mudahnya seseorang kan terlupakan. Sementara waktu terus bergulir dan kehidupan terus berjalan sampai nanti datangnya hari terakhir.
  •  
  • Hujan entah itu hujan biasa atau hujan salju, dingin, sunyi dan kepiluan, rasanya sama seperti air mata yang mengalir saat mengalami kegetiran dalam kehidupan. Saat saya kecil, saya tak mengerti mengapa begitu sedihnya saya bila tinggal lebih dari tiga hari di tempat Mbah Kakung dan Mbah Putri saya. Desa yang sangat terpencil dan sunyi. Bahkan hingga kini desa itu belum tersentuh oleh modernisasi. Sayangnya penduduknya sudah berubah jauh tak lagi polos dan lugu  seperti dulu.
  •  
  • Kini saya merasa begitu kecil dan sendiri. Hanya ada diri ini dan diriNya. Bagai melihat sebuah film, kenangan dan memori lama datang satu persatu. Seperti pusaran waktu yang menyerap diri ini. Saya melihat kaleidoskop waktu. Saya saat kecil di atas kereta malam dari Gambir menuju Yogyakarta. Berjejalan manusia segala rupa memenuhi gerbong-gerbong kereta kelas ekonomi. Saya duduk di antara mereka. Di setiap perhentian, menyeruak masuk para pedagang asongan menjajakan dagangan, dari telur asin, pecel, minuman, rokok, hingga segala rupa. Saat kereta mendekati stasiun Purwokerto, ibu mulai membuka rantangan, membagi nasi, telur pindang, ayam goreng, empal, serta kering tempe bekal semua. Nikmat sekali rasanya. Ah, masa-masa yang telah berlalu, tak akan pernah kembali. Saat masih ada orang tua yang melindungi dan mengayomi. Hidup kita memang sangat fana.
  •  
  • Kini, saat bepergian sangat mudah mencari makanan, tak perlu lagi jauh-jauh membawa bekal makanan. Namun lucunya, suami dan anak-anak lebih suka bila saya membawa bekal makanan, atau sekedar membawa rice cooker, dan aneka pernak-pernik yang dapat dijadikan masakan sedap sekejap. Sayalah seorang ibu bagi anak-anak saya. Mungkin, jauh di lubuk hati mereka, mereka rasakan juga kesedihan dan kepiluan  seperti yang saya rasakan saat kecil? Kami jauh dari sanak keluarga, jauh sekali. Saat melahirkan ke dua anak saya, hanya ditemani suami saja. Seminggu setelah suami kembali kerja, kembalilah harus menangani sendiri semua pekerjaan rumah bersama si kecil. Mungkinkah seperti ini perasaan ibu saya, yang berpisah jauh dengan kakek dan nenek saya di usia sebelas tahun? Ibu saya menikah saat berusia  enam belas tahun (umur ktp, sebenarnya masih berusia lima belas tahun), untungnya sudah menyelesaikan sekolah menengah atas, jadi tak ada yang percaya kalau ibu saya masih di bawah umur.
  •  
    Tak disangka, saya kini terpisah jauh dari ibunda. Rasa rindu, dan pilu menyatu. Rekor lama berpisah sudah terpecahkan. Bila ibu saya bertemu kedua orang tuanya setelah sepuluh tahun, saya sudah memecahkan rekor itu. Ah, siapa sangka, waktu bergulir begitu cepat.
     
    Saya merasa diriNya begitu dekat, sangat dekat. CintaNya begitu indah, begitu dalam. Bertahun-tahun berlalu, begitu banyak kelalaian diri ini, namun begitupun hanya cinta dan cinta yang diberikanNya selalu. Berlinangan air mata saat teringat sekian lama waktu yang tersia. Banyak yang dapat dilakukan, namun banyak waktu yang terbuang.
     
    Wahai Sang Maha Pengasih
    Engkau lah Pencinta Terbesar di atas langit dan bumi
    Sesejuk pagi Kau mendinginkan hati-hati yang membenci
    Kau basahi lidah-dan hati kami dengan pujian akan kecintaanMu
     
    Duhai Sang Maha Penyayang dan Pengampun
    Tiadalah arti hidup kami yang hina dina ini Ya Rabb tanpa kasihMu
    Sementara kan terbentang dan tersiapkan Padang Makhsyar tuk hari terakhir nanti
    Saat wajah-wajah kami nanti kan termunculkan sesuai dengan amalan kami
     
    Di saat-saat seperti ini, tak ada yang dapat saya lakukan, kecuali berserah diri secara total kepadaNya. Bila manusia berlomba mendetoks diri dari racun raga, inilah saat mendetoks diri dari racun segala. Kehidupan akan terus bergulir, namun kita tak akan pernah tahu kemana dan bagaimana kehidupan akan berlanjut. Bagi seseorang yang paling berkesan mungkin saat dirinya mencapai berbagai keberhasilan, tetapi bukan bagi saya. Momen kehidupan yang paling berkesan adalah saat kehilangan, saat kejatuhan, saat kepedihan, saat terlenakan, saat diri ini hancur dan tak berdaya. Karena pada saat itulah, saat saya merasa berada dalam pelukanNya. Berkali-kali tak terhitung, hidup saya diselamatkanNya. Sekali lagi, berkali-kali lagi, saya diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
     
    Tak ada cinta yang sepedih  dan sepilu ini, seperti cintaMu Ya Rabb...
     
    Louisville
     
    Februari 2014
     
    Hani