Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Monday, February 10, 2014

#27 Déjà vu; Rasa itu Tetap Ada; Melancholy Edition

 
Hari ini matahari bersinar sangat garang.  Sebegitupun masih tak mampu melenyapkan timbunan es dan salju di atas atap, dedaunan dan rumput-rumput halaman. Serasa summer datang di tengah-tengah kebekuan musim dingin. Tahun ini badai salju dan es melanda berkali-kali. Meskipun kami tinggal di perbatasan antara daerah Northeast dengan daerah Mid-West, namun winter kali ini serasa seperti saat kami tinggal di Massachusetts.
 
Déjà vu
  • Déjà vu, from French, literally "already seen", is the phenomenon of having the strong sensation that an event or experience currently being experienced has been experienced in the past, whether it has actually happened or not. (Wikipedia)

  • Entah mengapa, sejak pagi hari saya diterpa perasaan ini. Rasa yang sama yang saya alami saat kecil, saat menatap matahari terbit atau matahari terbenam. Saat mendengar azan Subuh yang mengalun di keheningan pagi, azan Maghrib yang terdengar saat berkendaraan melewati masjid, saat memandang keluar jendela pesawat memandang awan-awan, saat melihat bintang-bintang yang berkedipan di langit kelam.
  •  
  • Rasa itu yang membuat saya sepi, sendiri, membuat saya bertanya-tanya tentang diri. "Siapa saya, untuk apa saya dilahirkan dan kemana saya akan kembali." Rasa itu biasanya muncul sebelum terjadi suatu perubahan dalam hidup saya. Entah perubahan besar atau kecil.
  •  
  • Terakhir saya merasakannya pada waktu saya berada di Boston, dan itu sudah bertahun lalu. Rasa itu sangat kuat  hari ini, dan mengangkat kembali banyak memori lama yang terpendam. Banyak kesedihan dan kepedihan yang lalu, banyak kehilangan, kegagalan dan kematian. Saat saya kecil, setahun sekali kami menghabiskan saat liburan sekolah di rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri saya di kaki gunung Sumbing dan Sindhara. Begitu terpencil desanya, begitu indah namun penuh kesunyian dan kepiluan. Saat itu, sekeliling rumah Mbah di kaki bukit yang penuh dengan pohon kopi dan cengkeh. Aroma bunga kopi berbaur dengan harumnya mawar putih. Pagi-pagi yang dipenuhi kabut tebal saat satu persatu penduduk datang untuk menunaikan sholat Subuh di masjid di pojokan rumah Mbah. Setiap memandang gunung-gunung yang menjulang serasa sangat kecil diri ini. Serasa begitu fana dan sendiri.
  •  
  • Entah mengapa saya banyak menghabiskan waktu naik bis umum, entah itu angkot, kopaja, metro-mini, sampai patas AC. Saya angkat tangan dengan kemacetan Jakarta. Bahkan sampai saya bekerja, saya lebih memilih naik taksi daripada menyetir mobil sendiri. Mungkin karena saya suka melihat pemandangan dari balik jendela. Apalagi saat turun hujan. Saat sendiri, di antara gelapnya malam, karena saya biasanya pulang ke rumah di atas jam sebelas malam, saya seperti melihat bintang yang sama yang saya lihat saat saya kecil. Waktu terasa tiada. Begitu mudahnya bagiNya mengubah segala sesuatu, hidup, mati, peradaban, perubahan, yang bahkan sangat tak mungkin sekalipun bagi manusia bukanlah hal yang mustahil. Sering berlinangan air mata saya, saat teringat hal-hal yang fana. Saat teringat jatuh bangunnya seseorang. Begitu mudahnya seseorang kan terlupakan. Sementara waktu terus bergulir dan kehidupan terus berjalan sampai nanti datangnya hari terakhir.
  •  
  • Hujan entah itu hujan biasa atau hujan salju, dingin, sunyi dan kepiluan, rasanya sama seperti air mata yang mengalir saat mengalami kegetiran dalam kehidupan. Saat saya kecil, saya tak mengerti mengapa begitu sedihnya saya bila tinggal lebih dari tiga hari di tempat Mbah Kakung dan Mbah Putri saya. Desa yang sangat terpencil dan sunyi. Bahkan hingga kini desa itu belum tersentuh oleh modernisasi. Sayangnya penduduknya sudah berubah jauh tak lagi polos dan lugu  seperti dulu.
  •  
  • Kini saya merasa begitu kecil dan sendiri. Hanya ada diri ini dan diriNya. Bagai melihat sebuah film, kenangan dan memori lama datang satu persatu. Seperti pusaran waktu yang menyerap diri ini. Saya melihat kaleidoskop waktu. Saya saat kecil di atas kereta malam dari Gambir menuju Yogyakarta. Berjejalan manusia segala rupa memenuhi gerbong-gerbong kereta kelas ekonomi. Saya duduk di antara mereka. Di setiap perhentian, menyeruak masuk para pedagang asongan menjajakan dagangan, dari telur asin, pecel, minuman, rokok, hingga segala rupa. Saat kereta mendekati stasiun Purwokerto, ibu mulai membuka rantangan, membagi nasi, telur pindang, ayam goreng, empal, serta kering tempe bekal semua. Nikmat sekali rasanya. Ah, masa-masa yang telah berlalu, tak akan pernah kembali. Saat masih ada orang tua yang melindungi dan mengayomi. Hidup kita memang sangat fana.
  •  
  • Kini, saat bepergian sangat mudah mencari makanan, tak perlu lagi jauh-jauh membawa bekal makanan. Namun lucunya, suami dan anak-anak lebih suka bila saya membawa bekal makanan, atau sekedar membawa rice cooker, dan aneka pernak-pernik yang dapat dijadikan masakan sedap sekejap. Sayalah seorang ibu bagi anak-anak saya. Mungkin, jauh di lubuk hati mereka, mereka rasakan juga kesedihan dan kepiluan  seperti yang saya rasakan saat kecil? Kami jauh dari sanak keluarga, jauh sekali. Saat melahirkan ke dua anak saya, hanya ditemani suami saja. Seminggu setelah suami kembali kerja, kembalilah harus menangani sendiri semua pekerjaan rumah bersama si kecil. Mungkinkah seperti ini perasaan ibu saya, yang berpisah jauh dengan kakek dan nenek saya di usia sebelas tahun? Ibu saya menikah saat berusia  enam belas tahun (umur ktp, sebenarnya masih berusia lima belas tahun), untungnya sudah menyelesaikan sekolah menengah atas, jadi tak ada yang percaya kalau ibu saya masih di bawah umur.
  •  
    Tak disangka, saya kini terpisah jauh dari ibunda. Rasa rindu, dan pilu menyatu. Rekor lama berpisah sudah terpecahkan. Bila ibu saya bertemu kedua orang tuanya setelah sepuluh tahun, saya sudah memecahkan rekor itu. Ah, siapa sangka, waktu bergulir begitu cepat.
     
    Saya merasa diriNya begitu dekat, sangat dekat. CintaNya begitu indah, begitu dalam. Bertahun-tahun berlalu, begitu banyak kelalaian diri ini, namun begitupun hanya cinta dan cinta yang diberikanNya selalu. Berlinangan air mata saat teringat sekian lama waktu yang tersia. Banyak yang dapat dilakukan, namun banyak waktu yang terbuang.
     
    Wahai Sang Maha Pengasih
    Engkau lah Pencinta Terbesar di atas langit dan bumi
    Sesejuk pagi Kau mendinginkan hati-hati yang membenci
    Kau basahi lidah-dan hati kami dengan pujian akan kecintaanMu
     
    Duhai Sang Maha Penyayang dan Pengampun
    Tiadalah arti hidup kami yang hina dina ini Ya Rabb tanpa kasihMu
    Sementara kan terbentang dan tersiapkan Padang Makhsyar tuk hari terakhir nanti
    Saat wajah-wajah kami nanti kan termunculkan sesuai dengan amalan kami
     
    Di saat-saat seperti ini, tak ada yang dapat saya lakukan, kecuali berserah diri secara total kepadaNya. Bila manusia berlomba mendetoks diri dari racun raga, inilah saat mendetoks diri dari racun segala. Kehidupan akan terus bergulir, namun kita tak akan pernah tahu kemana dan bagaimana kehidupan akan berlanjut. Bagi seseorang yang paling berkesan mungkin saat dirinya mencapai berbagai keberhasilan, tetapi bukan bagi saya. Momen kehidupan yang paling berkesan adalah saat kehilangan, saat kejatuhan, saat kepedihan, saat terlenakan, saat diri ini hancur dan tak berdaya. Karena pada saat itulah, saat saya merasa berada dalam pelukanNya. Berkali-kali tak terhitung, hidup saya diselamatkanNya. Sekali lagi, berkali-kali lagi, saya diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
     
    Tak ada cinta yang sepedih  dan sepilu ini, seperti cintaMu Ya Rabb...
     
    Louisville
     
    Februari 2014
     
    Hani
     

    Wednesday, February 5, 2014

    #26 Queen; My songs and theirs, too.




    Masa Kecil, Lagu dan Musik
    Waktu saya kecil, tak seperti orang tua teman-teman saya yang hobi nyanyi dan musik, orang tua saya tak terpengaruh dengan trend musik yang sedang in saat itu. Ayah saya senang mendengarkan keroncong atau lagu Melayu, tapi sehari-harinya beliau lebih sering memutar tape lantunan ayat suci Al Qur'an. Ibu saya hampir tak pernah mendengarkan lagu atau musik, atau menyanyi. Beliau ikut saja saat ayah mendengar lagu atau menonton acara musik di TV.

    Sayapun besar dengan lagu hafalan sekolah. Semua lagu A.T. Mahmud atau lagu Bu Kasur masuk di dalamnya. Lagu yang paling hafal? Indonesia Raya dan semua lagu Nasional untuk upacara! Ada teman yang penasaran, kok bisa-bisanya saya hafal semua lagu wajib untuk upacara. Mereka saja yang tak tahu, kalau lagu-lagu itu bisa saya hafal dengan mudah karena serumah membantu saya. Geli rasanya, setiap ada lagu baru, dari ayah, ibu, tante sampai semua yang ada di rumah membantu saya menghafalnya, seperti sama wajibnya menghafal Al Qur'an. Saya akan menyanyi di kamar, di kamar mandi, di atas pohon, pagi siang malam. Pastinya tetangga sampai hafal dengan suara saya deh, ihiks.

    Hasilnya ada memang, selalu masuk tim Paduan Suara sekolah meskipun tak pernah ikut Bina Vokalia. Hampir jadi penyanyi, Alhamdulillah ndak, ketika ada yang menawarkan ke ortu untuk membina saya. Untung saya saat itu masih imut dan di bawah umur jadi NO, jawab orang tua. Kalau nyanyi lagu Nasional dan untuk upacara atau sekolah wajib, tapi nyanyi untuk ditonton, NO WAY lah. Maklum, kami sekeluarga besar dengan pemikiran yang simple saja, sedapat mungkin menjauhi yang tak dicontohkan oleh Rasulullah.

    Saat Remaja
    Jadilah saat di SD, tak satupun penyanyi yang jadi idola saya, meskipun begitu saya ikut ibu saya mendengarkan lagu-lagu Rafika Duri, Andi Meriem Matalatta atau Bimbo. Saya senyum-senyum saja saat pesta atau kumpul-kumpul dengan teman. Teman saya hampir semuanya hafal lagu penyanyi idola mereka. Mereka saja yang tak tahu, saya tak hafal satu lagupun! Paling banter saya kenal nama dan bagian chorusnya saja.

    Sejak SMP, barulah saya mendengarkan lagu dari radio. Saat semua teman jadi fans berat Prambos, saya memilih dengar ElShinta, eh gak mau ikut arus lah ya. Begitu mereka pindah trend, saya teteup aja gak pindah saluran, bukan karena idola, karena ribet, paling pindah ke stasun lain yang acara past by midnightnya gak ada iklannya. Tapiiii, saya tetap tak hafal satu lagupun! Saya tak pernah membeli kaset tape lagu, karena saya tak menganggapnya perlu. Tapi teman-teman saya tak tahu, karena saya bisa mengikuti pembicaraan mereka. Saya memang tak punya kaset tape atau VHS penyanyi yang sedang trend, tapi saya selalu membaca majalah Seventeen dan Rolling Stones. "Gile lu bacaannya," saat ketahuan teman membeli majalah impor di Ratu Plaza. Saya senyum saja. Harga satu majalah bisa dipakai untuk membeli selusin tape, juga bisa mengkaver ketertinggalan saya dari semua yang berbau trendy. Impaslah.

    Saat SMA, saya pindah sekolah ke pinggir kota. Mayoritas pelajarnya dari dua SMP, SMP 68 atau SMP 85. Mereka sangat kompak dan rata-rata aktif di Pramuka atau PMR. Semuanya fans berat Beatles. Sementara, saya dari SMP dengan beda cita rasa musik. Saya lebih suka Bon Jovi, Duran Duran, Phil Collins dan tentu saja Queen.

    Lagi-lagi saya tak hafal satupun lagu-lagunya! Saya modal radio saja mendengarkan lagu-lagu tersebut, tak seperti teman-teman saya yang sampai mempunyai buku lagu dengan semua lirik dan notasi untuk main gitarnya. Mereka begitu berdedikasinya sampai tahu segala seluk beluk penyanyi dan latar belakang lagunya. Semua sampai kalah deh fans K-Boys sekarang! Hehehe...

    Teman-teman saya masih menjadi fans berat dan setia dari penyanyi pujaan saat itu! Termasuk adik saya. Setiap ada konser atau acara digelar di Jakarta, mereka pasti muncul paling depan, atau bahkan jadi promotor acaranya!

    Saya sekarang, Lagu, Musik
    Sekarang saya jarang menyanyi. Suami dan anak-anak saya sangat peka telinganya. Mereka tak suka kalau saya ikut menyanyi saat ada lagu melantun. Ndak menghargai yang menyanyi kata mereka. Kalau mau menyanyi menyanyilah sendiri. Lha, sampai sekarang tak satu lagupun yang saya hafal! Paling banter hanya chorus satu lagu! Seringkali hilang semuanya dari memori.

    Ingat saat tinggal di Jepang, seringkali kena tembak giliran nyanyi di Karaoke. Lagi-lagi saya ndak pernah punya CD lagu. Duh gimana nih, sementara saya gak mau buang uang buat beli CD yang gak bakal saya dengerin. Demi menjaga jangan sampai malu di depan umum, akhirnya deh sekali-sekali ikutan teman praktek karaoke! Lucu kalau ingat saat itu. Dengan $10 perjam bisa nyanyi sepuasnya. Ada tapinya, saya ndak tahu ternyata kalau lagu yang baru cuma muncul di tempat karaoke yang mahalan yang $30 sejamnya. Jadi setiap ada acara karaokean, saya bisanya lagu-lagu lama, model lagunya Teresa Teng atau Misora Hibari. Lagu nenek-nenek! Huaaaaa! Setelah hampir selesai masa studi baru deh bisa nyanyi lagu-lagu yang agak baruan.

    Selama tinggal di USA, saya ndak pernah beli CD, karena sudah zaman download lagu sekarang. Kalau mau dengar satu lagu tinggal beli dari Amazon atau aneka store seperti iTunes. Lagi-lagi, saya masih tak hafal satu lagupun! Duh, gimana ya?

    Tapi ada satu kejadian yang membuat saya terharu. Saya pernah mengunjungi seorang nenek yang usianya hampir 90 tahun. Saat beliau muda, dia suka menyanyi terutama lagu-lagu keagamaan. Sang nenek adalah seorang Yahudi reformis yang fanatik. Entah apa yang membuatnya memutar CD lagu-lagu keagamaan. Namun lagu-lagu itu seperti lantunan orang mengaji, dan seperti lagu gereja juga, sehingga tanpa sadar saya bisa mengikutinya. Sang nenek memeluk saya erat  sambil berlinangan air mata! "Kau genius! Kau seharusnya menjadi penyanyi Opera atau Cantor!" "Berpuluh tahun saya coba mengajarkan pada anak-anak saya, tak ada satupun yang bisa menyanyi seperti yang saya ajarkan, tapi kau belum pernah mendengarnya, bahkan tak bisa Yiddish atau Hebrew, tapi kau bisa langsung mengikutinya!"

    Sejujurnya, saya tak tahu  dan tak hafal lagu-lagunya. Saya hanya bernyanyi seperti saat di karaoke, survival karena tak hafal dan tak tahu lagunya, jadi hanya improvasi semata, lha kebetulan lagu 3 CD kok ya bisa pas cengkoknya.

    Tadinya, hanya satu yang lumayan bisa dishare antara saya dan anak-anak, lagu-lagu Queen! Akhirnya saya coba kenalkan pada mereka lagu-lagu lama yang saya pernah dengar. Di luar dugaan, banyak lagu yang mereka suka, lalu mereka browse sendiri. Thanks to Wiki dan Youtube. Sama seperti saya, mereka tak punya CD atau iPod, tapi mereka improvisasi dengan knowledge mereka sendiri dengan riset dari berbagai sumber. Saya kenalkan mereka juga dengan sejarah musik dan berbagai aliran musik di berbagai tempat dan masa. Sekali-sekali saya dan anak-anak bernyanyi bersama, dari O Mio Babino Caro, sampai I got a move like Jagger.

    Saya tak pernah minder karena tak tahu lagu-lagu trendy. Juga tak pernah minder, karena tak punya kaset, CD, DVD atau berbagai alat musik lainnya. Saya menghargai lagu dan musik sebagai karya seni dan itu yang saya ingin teruskan kepada anak-anak saya, agar mereka respek dan menghargai lagu dan musik sebagai karya seni. Walau pada akhirnya, karya seni yang terindah adalah Al Qur'an.

    Semoga anak-anak sayapun dapat mencapai ke tingkatan mendedikasikan diri kepada karya seni yang tertinggi dan terindah di dunia ini. Insya Allah. Aamiin Ya Robbal 'Alamiin.


    Louisville, Februari 2014

    Hani

    Sunday, February 2, 2014

    #25 Expiration Date for Friendship?

     
    Demam Cari Alumni
     
    Beberapa hari yang lalu, masih dalam suasana demam tahun baru, saya mengontak teman lama sewaktu studi di Jepang. Saat saya mengontak mereka, sayapun teringat dengan teman-teman dari berbagai bangsa yang mengikuti training di Jepang. Duh senangnya, saat satu persatu menemukan teman-teman lama!
     
    Ternyata waktu dan jarak yang memisahkan saya dan teman-teman tak menghapus kenangan manis saat kami bersama. Ternyata kenangan baik saja yang muncul dari memori. Alhamdulillah. Senang mengetahui banyak teman yang sudah berhasil dalam karir dan kehidupan. Meskipun banyak yang belum terup-date  datanya terkini, namun di balik sanubari terdalam terucap pengharapan agar mereka sehat selalu dan menjalani kehidupan sebaik-baiknya.
     
    Saya; Sepi dalam keramaian
     
    Bagi perantau seperti saya, dunia saya sangat kecil. Sehari-hari saya hanya bertemu dengan anak dan suami. Sesekali bertemu teman kuliah, sesekali bertemu orang saat belanja di supermarket, atau menyapa satpam di gedung kampus dan perpustakaan. Memori perantau terpantek saat terakhir bertemu atau berkunjung ke sesuatu tempat. Sementara waktu terus berputar, dan kitapun bergerak, berubah.
     
    Saat saya masuk SMP, saya terputus komunikasi dengan teman TK dan SD. Melanjutkan ke SMA, komunikasi saya terputus dengan teman SMP, kecuali dengan teman SMA dari SMP yang sama. Saat melanjutkan kuliah, saya bertemu kembali dengan teman baik dari TK sampai SMA.
     
    Namun, entah kenapa, saat kuliah, saya seperti terputus komunikasi dengan hampir semua teman yang ada. Saya sibuk antara kuliah, bekerja dan giliran menjaga adik yang bolak-balik dirawat lama di RS, sampai meninggalnya. Begitu terfokusnya saya dengan urusan sendiri, sampai-sampai saya tak terlalu memikirkan tentang indahnya masa kuliah. Akhirnya kelas saya selesaikan di tahun ke tiga, dan sambil menulis skripsi, saya bekerja di tahun keempat perkuliahan.
     
    Saya; Pertapa
     
    Dari satu waktu, ke waktu yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, saya hidup seperti pertapa. Bagaimana tidak? Selalu ada saja hal yang membuat saya jauh dari keramaian. Saya jadi teringat opini mereka yang anti sosmed, intinya punya teman satu tapi real lebih berharga dari punya teman sejuta tapi sosmed semua.
     
    Waduh! Teman real saya sekarang tak lebih dari jumlah jari jemari saya. Itupun biar sekota tak mudah untuk berjumpa. Saya bukan tukang ngobrol yang suka telpon-telponan, atau chatting atau berbalas texting.
     
    Saya; Facebook
     
    Teman di fb saya berubah jumlah tergantung suasana hati. Saya pernah punya kontak 2000 orang hanya untuk bisa naik level di Mafia War. Xixixi, saat itu sedang tarik tambang dengan suami supaya mendapat lampu hijau untuk kuliah lagi. Setahun lebih saya main MW, FV, dan 2-3 games yang ada di fb. Saat 'nge-game' saya sampai riset semua tips and tricknya, sampai dalam waktu 3 bulan level saya sudah menuju angka ribuan, sampai-sampai diadd oleh para suhu gamer. Xixixi, mungkin ada beberapa yang masih jadi kontak saya sekarang.
     
    Tarik tambang menghasilkan lampu hijau suami untuk kuliah! Cihui! Alhamdulillah. No Ph.D.! kata suami. KELAMAAN! Xixixi. Tapi, ada tapinya. Stop semua fb games, dan hapus semua kontak gamer. Oh lalala! Demi demikian, akhirnya saya pangkas habis semua kontak gamer, kecuali yang memang teman sekolah. Saya ndak sempat minta maaf, atau ba bi bu, lha gamer kan konsennya saat nge'game' kan. Ribet nanti kalau sudah masuk wilayah personal.
     
    Lalu sempat juga demam event ini atau event itu, ikut group ini dan group itu. Hasilnya, saya mungkin satu-satunya yang ndak bisa meet-up atau kopi darat dengan semua. Kembali deh, saya tetap jadi pertapa. Serasa dunia saya malah semakin menciut.
     
    Melanda deh yang namanya pemangkasan alias bersih-bersihan kontak di fb. Bukan sekali dua kali saya bebersih juga, terutama akun yang non-aktif, atau yang postingannya miring-miring. Eh, ternyata saya juga termasuk yang 'dipangkas' xixixi! Gubraks! Gak sekali dua kali, sering kali!
     
    Kalau yang memangkas saya memang ndak pernah kenal, ndak ada ilfil deh di hati. Tapiiiiii, kalau tahu yang memangkas nih temen kuliah dulu, atau tetangga pojok jalan yang sekarang dah jadi kaya raya, ternama dan super popular, rasanya gimana gitu! Bikin hati jadi bertanya-tanya, kenapa ya? Kita salah apa ya sama dia? Ooh, memang salah besar kok, pernah pinjam barang belum terkembalikan. Nah lo, bagaimana nih? Meskikah berulang kali meminta maaf sampai ybs rela memaafkan?
     
    Sering kali saya baca, kontak saya bebersih kontak yang ndak pernah menyapa, ndak pernah komen, ndak pernah kirim PM atau inbox message, atau ndak pernah chatting atau telpon langsung dengannya. Saat terbaca status itu, saya 'nyengir kuda' deh. Semua kategori itu klop sekali dengan saya! Saya ngelike yang pas kelihatan aja, jarang komen, jarang PM atau kirim inbox message, hampir ndak pernah chatting apalagi telpon langsung!
     
    Saat teringat teman-teman di Jepang, saya jadi terfikir. Bagaimana ya reaksi mereka setelah sekian lama tak ada kontak sama sekali. Maklum, saya bersekolah di sana sebelum masa sosmed ada. Untuk internetan saja masih pakai dial-up. Begitu kembali ke tanah air, baru mulai boomed warnet dan internet café, tapi ya itulah, babar blas hilang semua kontak. Ternyata, Allah Maha Pengasih dan Penyayang! Surprise! Very nice surprise! Serasa kembali muda lagi dan bernostalgia.
     
    Saya; Sosial Media
     
    Setiap kali saya pindah ke suatu tempat, ada saja kejadian yang membuat saya terputus hubungan dengan teman di tempat sebelumnya. Bagi saya yang bertapa di tengah keramaian, sosmed menjadi jendela dunia. Banyak orang-orang yang saya kenal, dulu, yang masih bisa saya baca statusnya atau saya lihat fotonya. Banyak saudara yang sudah puluhan tahun tak jumpa, bisa saling menyapa di sana. Banyak pula yang masih terus saling melihati tanpa komen dan pesan, kadang masih me'like', namun saya dapat merasakan ketulusan pengharapan untuk kebaikan.
     
    Buat saya, teman sekolah di manapun berada adalah teman. Teman bermain saat kecil sampai kini adalah teman. Teman mengaji di manapaun berada adalah teman. Teman menuntut ilmu, bahkan sampai hanya untuk belajar sebuah hal yang kecil dan remeh adalah teman.
     
    Teman yang saya peroleh dari dunia maya adalah teman, meskipun kadangkala ada fluktuasinya. Agaknya, buat kontak fb, pertemanan saya terbatas sampai saya dipangkas dari lingkaran teman nyata. Padahal sejujurnya, bila lingkaran teman nyata itu diterapkan dengan rigid, kontak saya hanyalah sebatas jari jemari saja. Dan lebih sejujurnya, saya bahkan jarang komen, menyapa, me'like' atau mengirim PM dan inbox message pada teman sekota saya sekarang! Jadi saya ini contoh murni dari kontak yang tak real, xixixi!
     
    Saya; Friendship
     
    Ada orang yang berkata bahwa kita harus selektif dalam berteman. Banyak teman di kelas saya sekarang yang berprinsip, sekelas belum berarti berteman. Sementara saat saya tinggal di Jakarta, dan di Tokyo serta Chiba, teman sekelas adalah teman meskipun kita tak pernah dekat, meskipun kita tak pernah jumpa, meskipun mungkin kita tak pernah tahu kehidupan pribadinya. Meskipun, mungkin kita tak mau menjadi kontak fbnya !
     
    So, bagi saya susah mengatakan bahwa friendship ada expiration datenya. Sekali menjadi teman, akankah terus menjadi teman? Insya Allah, selama masih terus berada di jalan kebenaran dan kebaikan utnuk dunia akherat. Semoga!
     
    By the way, mohon saya dimaafkan untuk semua kekhilafan lahir batin, baik yang pernah saya pangkas dari fb atau yang pernah memangkas saya dari fb, dan semua yang mengenal saya baik hanya nama, hanya cerita sampai yang benar real teman yang pernah jumpa. Saya bisa berkata tak ada expiration date for friendship!
     
    Louisville
    Februari 2014

    Hani

    For: Ida Ayu Mustika Dewi, Savitri Handayani, Anna Herlina dan Ratna Sari, we met in Worcester, MA. Love, you all!



    Sunday, January 5, 2014

    #24 Merawat Lansia=Kewajiban Anak?

     


    Dua tahun belakangan ini saya banyak bertemu dan mendampingi pasien segala umur. Namun, pasien lansia adalah mayoritas yang saya temui di kota kecil kami. Pertama kali mendapatkan teori tentang definisi lansia membuat saya tersenyum simpul sendiri. Ignatavicius membagi lansia dalam empat kategori:

    1. Lansia muda: usia 65-74 tahun

    2. Lansia menengah: usia 75-84 tahun

    3. Lansia tua: usia 85-99 tahun

    4. Lansia elit: usia 100 tahun ke atas. 

    Mengapa saya tersenyum? Karena saya bisa berkata pada Ibunda bahwa beliau belum 'tua"! Ya, ibu saya yang KTPnya setahun lebih tua dari usia aslinya (karena jadul, sekolah atau lurah enak saja memberikan tanggal lahir pada anak  :)) berusia 61 tahun.  

    Tinggal Bersama Orang Tua 

    Sebelum menikah, saya selalu tinggal bersama orang tua, kecuali saat saya studi atau training di luar negeri. Setelah menikah, saya keluar dari rumah orang tua, dan tinggallah kedua orang tua saya dan adik yang tinggal bersama orang tua sampai kini.

    Saat saya masih single, saya selalu berharap dapat tinggal bersebelahan dengan orang tua saya. Sayapun telah merencanakan agar saya, orang tua dan adik saya dapat tinggal bersebelahan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, jauh hari saya dan ayahanda membeli dua kapling tanah yang bersebelahan di daerah Sawangan, Bogor, tak jauh dari perumah ARCO Sawangan. Lokasinya sangat tak strategis 20 tahun yang lalu, namun dengan luas tanah 1000 meter persegi perkaplingnya kami fikir dapat dibangun tiga rumah mungil bagi kami dua bersaudara dan rumah masa tua ayah ibunda.

    Ternyata saat rencana tersebut belum terwujud, ayahanda sakit dan meninggal sebelum adik menikah. Saya sendiri tinggal jauh dari mereka berdua. Sejak ayah meninggal, ibunda sangat jauh berubah. Beliau sangat kehilangan ayah dari kesehariannya. Ibu seakan kehilangan motivasi hidupnya. Akhirnya pengurusan sertifikasi tanah kepunyaan ayah juga tertunda-tunda. 

    Kepala desa di daerah kapling yang kami beli rupanya juga meninggal tak lama setelah ayahanda meninggal. Tanpa sepengetahuan kami, anak-anak beliau yang bersengketa membuat surat tanah palsu dan menjual kepada orang lain. Sang pembeli yang kaya, langsung membuat sertifikat tanah atas namanya. Jadilah kami yang terkejut, saat mengajukan pembuatan sertifikat tanah, dijawab dengan pernyataan bahwa tanah tersebut sudah ada sertifikasinya atas nama orang lain! Hal ini tak akan terjadi di Amerika. Masalah pertanahan sangat teratur dan terbuka, dapat dimonitor dari manapun dan tak dapat dipalsukan semena-mena.

    Orang tua saya, sangat jarang terikat dengan materi. Setiap Ayahanda pindah, beliau menyerahkan begitu saja tanah, rumah atau milik pribadi kepada yang memerlukan, dan tak pernah mengingatnya atau sampai memintanya kembali. Hanya ketika kami sepakat untuk membangun rumah berdekatan, beliau tergerak untuk membeli kapling di sana.  Tanah  dan rumah lainnya beliau beli untuk membantu teman yang memerlukan biaya. Sebelumnya, saya dan ayahanda pernah juga membeli tanah dekat lokasi yang sama, karena ajakan teman pengajar di UI, namun akhirnya berbuntut sama, karena yang mengelola menjual kembali tanah kami ke orang lain. Ayahanda tak mengusutnya lebih lanjut, karena beliau mengenal ybs. Allah Maha Adil katanya sambil tersenyum, "Belum rezeki kita."

    Masya Allah sabarnya ayahanda dalam menangani banyak hal dalam kehidupannya, sehingga banyak orang yang berdatangan untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan persaudaraan sesama muslim. Kepala desa pemilik tanah asal juga salah satu tamu reguler kami dulu. Beliau sangat santun dan ramah, dan menepati janji. Namun, belasan anak dari berbagai istri yang ditinggalkannya ketika meninggal tak semuanya begitu. 

    Ibunda memutuskan melepas tangan dari haknya, selain saat itu masih dalam keadaan berduka, kondisi fisiknya juga drop. Apalagi pengacara yang bersedia membantu menggugat perkara meminta biaya yang tak kalah aduhainya. Jadilah ibu memutuskan menyerah dan kehilangan peninggalan almarhum Ayahanda. Alhamdulillah, beliau masih meninggalkan properti lain dan  biaya hidup yang cukup bagi Ibunda, sehingga Ibunda tak kekurangan. Saya hanya tertegun mendengarnya. Apalagi, ibu baru memberitahu saya setelah peristiwa berlalu. Andaikan saya ada di sisi ibu, minimal saya bisa berlari ke sana-sini mengurus pengembalian hak keluarga. Pelajaran bersabar yang luar biasa bagi ibu. 

    Sejak peristiwa itu saya bertekad untuk dapat tinggal dan merawat Ibunda. Suatu hal yang ironis, karena sampai detik ini saya masih tinggal ribuan mil jauhnya dari beliau. Begitu egoisnya keinginan saya untuk memastikan beliau dalam keadaan baik, sampai-sampai saya meminta adik untuk terus tinggal bersama Ibunda.

    Di Amerika 

    Saat saya datang ke Amerika, saya tinggal pertama kali di Maryland, di daerah kantong kota yang padat dengan imigran. Saya terheran-heran melihat banyaknya gereja di mana-mana, dan setiap hari Minggunya dipenuhi oleh para lansia. Setelah beberapa waktu barulah saya menyadari, bahwa meskipun apa yang saya lihat di film-film Hollywood tak selamanya refleksi dari kehidupan sehari-hari orang Amerika, namun benar, mayoritas penduduk mereka keluar dari rumah orang tua setelah usia 18 tahun atau setelah selesai SMA. 

    Saya saat itu tinggal di apartemen, dan banyak dari penghuni apartemen adalah lansia. Rupanya setelah pensiun mereka fikir tinggal di rumah besar hanya suami istri lansia membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk merawatnya. Jadilah mereka memilih menjual rumah mereka, tinggal di apartemen atau condo (apartemen yang merupakan milik sendiri). Saya sedih melihat para lansia tertatih-tatih berjalan dari atau ke apartemen mereka. Banyak yang masih menyupir kendaraan mereka sendiri. Saat ke supermarket, mereka selalu membawa kereta benjaan sendiri yang bisa dilipat. Saat itu saya merasa, kok anak-anak mereka tega, ya? 

    Setelah banyak berbincang dengan para lansia yang saya temui saat klinikal maupun saat bekerja, mereka mayoritas malah bangga dengan 'kesendirian' mereka. Tak jarang mereka memandang hubungan orang tua anak ala Asia terlalu memasuki daerah privasi masing-masing. Bahkan ada yang terang-terangan memberi selamat kepada saya yang memilih tinggal jauh dari orang tua. "Kau sekarang seperti orang Amerika umunya!" Mereka tak tahu apa sebenarnya yang ada di hati saya. 

    Dua tahun ini saya banyak melihat pasien lansia dengan segala komplikasi yang dideritanya. Ada juga yang sudah pikun dan tak mengenali keluarga mereka sendiri. Ada yang bahkan sampai tak tahu siapa dirinya lagi, tak dapat berjalan sendiri, tak dapat melihat, tak dapat mendengar, dan tak dapat makan selain makanan mekanikal (puree). 

    Setelah terjun langsung di lapangan, barulah saya tahu bahwa kebanyakan para lansia di Amerika tinggal di rumah mereka sendiri, baik itu rumah biasa atau apartemen/condo. Mereka baru ke rumah sakit bila sakit. Mereka berobat jalan ke dokter praktek, dan yang sudah tak bisa menyetir sendiri bisa mendapatkan fasilitas antar jemput ke dokter, supermarket, gereja atau ke tempat lainnya. Fasilitas ini diberikan oleh County atau dapat juga mereka dapatkan dari perusahaan swasta.  

    Bila mereka tak dapat lagi beraktifitas normal dalam kesehariannya, mereka dapat pindah dari rumah atau apartemen/condo ke Assisted Living. Assisted living ini berbeda dengan rumah jompo. Perusahaan yang mengelola tak hanya menyediakan perumahan, makanan, dan rekreasi, namun juga menyediakan sarana kebersihan/housekeeping, sampai sarana medis. Mahal? Tergantung tingkat sarana dan servis yang digunakan. Yang termurah dari kisaran 3500 dollar perbulan sampai 8000 dollar perbulannya. Lansia mendapatkan apartemen/kamar seperti studio, ada juga yang 1LDK (satu kamar tidur, living room, dining room, kitchen) atau 2LDK. Mereka masih dapat beraktifitas sebagaimana di rumah sendiri, namun mereka makan bersama di dining hall yang ada di setiap lantainya. Pegawai memastikan para lansia tersebut bangun tepat waktu, makan tepat waktu, meminum obat yang harus mereka konsumsi, mengikuti aktifitas yang disediakan institusi, hingga tidur tepat waktu pula. 

    Bila lansia tersebut mempunyai kondisi kesehatan yang kronis dan perlu pemantauan dan perawatan 24 jam seharinya, sementara tak ada keluarga yang sanggup mennagani karena berbagai hal, biasanya lansi ini dikirimkan ke panti jompo/Nursing Home. Di sini mereka ditempatkan di kamar-kamar persis seperti kamar inap rawat di rumah sakit. Pegawai di Nursing Home sebagian besar adalah perawat berlisensi. Selain mereka ada bagian kebersihan, bagian laundry, bagian makanan, bagian administrasi dan Pastoral. Biaya untuk nursing home jauh lebih mahal dari biaya di Assisted Living, karena ini seperti tinggal di rumah sakit secara permanen.  

    Bedanya, di sini para pasien harus makan di dining hall saat sarapan, makan siang dan makan malam. Mereka memepunyai beragam pilihan aktifitas juga. Namun kebanyakan penghuni Nursing Home ini juga menderita kepikunan/dimentia. Satu perawat bias menangani 8 sampai 12 lansia per shiftnya ( 8-12 jam). 

    Bagi lansia yang terkena dementia/kepikunan, ada Nursing Home khusus bagi orang pikun. Ini biayanya termahal dari semua pilihan yang ada. Bayangkan seperti ward/pavilion khusus di rumah sakit dengan penanganan intensif. Perawat menangani 3-5 orang lansia per shiftnya (8-12 jam). Biasanya lansia juga sudah dalam masa kritis, dan menanti ajal, sehingga merekapun dikunjungi oleh tim medis khusus untuk Hospice/perawatan menjelang ajal. 

    Bagi lansia yang sudah divonis ‘mati’ dan tak dapat disembuhkan secara medis oleh dokter, mereka berhak mendapatkan pelayanan Hospice karena ini adalah bagian dari sistem medis dan kesehtan di Amerika (Program Medicare/Medicaid). Jangka waktu pelayanan ini adalah selama setengah tahun, mereka akan mendapatkan kunjungan rutin baik dari asisten perawat, perawat, terapis, sampai dokter. Lansia dapat tetap tinggal di rumah mereka, atau di nursing home selama mendapatkan perawatan ini. Biayanya? Selama saat muda mereka bekerja, dan uang Social Security mereka mencapai lama tahun yang disyaratkan (minimal 8 tahun bekerja utnuk satu pekerjaan), maka mereka berhak mendapatkan uang Social Security. Sedangkan fasilitas Medicare/Medicaid ini tergantung  dari diagnosa dokter. Social worker dari rumah sakit yang akan mengurus pasien mendapatkan Medicare/Medicaid.

    Saat sendiri

    Saya tetap tak dapat mengubah prinsip saya bahwa kewajiban sayalah untuk merawat orang tua saya saat mereka tua.  Ayah saya meninggal di usia 64 tahun, belum masuk kategori manula menurut teori yang ada. Sementara Ibu saya masih 4 tahun lagi sampai memasuki usia lansia.

    Dengan perubahan pola kehidupan di Indonesia, termasuk di Jakarta, tak mudah lagi menemukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaan rumah seperti saat saya kecil dulu. Jangankan berfikir untuk membayar orang untuk merawat ibu, kini sangatlah sulit mencari pekerja asisten rumah tangga, atau baby sitter untuk keluarga adik. Akhirnya ibu saya banyak turun membantu dari menjaga cucu, memasak, hingga urusan merawat keluarga. Terbalik jadinya. 

    Saya teringat seorang lansia di sini yang punya dua putri yang tinggalnya ribuan mil dari dirinya. Ke dua putrinya bergantian mengunjungi sang ibu sekali sebulannya dan menjaga ibunya selama 3 sampai 5 hari. Sang ibu tinggal sendiri dan hanya didampingi oleh penjaga dari perusahaan yang dibayar oleh ke dua putrinya. Pertama melihat nenek ini, saya langsung teringat kepada ibu saya di Jakarta. Langsung saya berdoa, semoga saya dapat merawat langsung ibu saya di hari tuanya nanti. Saya juga berdoa, semoga saat saya lansia nanti tak menemui kondisi seperti nenek ini.
     
    Kedua putri nenek tersebut kaya raya, namun mereka bilang, mereka tak sanggup tinggal dengan ibu mereka sendiri karena tak tahan dengan perangai ibunda. Sang ibu yang mendekati usia 90 tahun sangat keukeuh dengan segala aturannya dan akan marah besar bila tak dituruti. Meskipun sudah sangat 'pelupa', namun mereka semua tak mau ibunya disebut pikun. Mereka memilih mengeluarkan puluhan ribu dollar sebulannya dengan tetap tinggal berjauhan. Saya sangat sedih melihatnya.

    Andaikan saya tua nanti, ingin saya tinggal berdekatan dengan anak-anak saya. Tak harus tinggal satu rumah, namun dekat dengan anak cucu. Pastinya ibu saya juga mengharapkan hal yang sama. Alhamdulillah, adik saya dan keluarganya berbesar hati bersedia tinggal dengan ibu. Tinggal dengan orang tua pasti penuh suka duka, pasti banyak privasi yang terlanggar, pasti diwarnai juga dengan konflik. Namun, sangat jauh lebih baik dari pada  keseharian sang nenek kaya yang anak-anaknya saja 'emoh' tinggal bersamanya. Meskipun setiap datang membawa hadiah dan bunga serta berbagai macam hal yang dianggap dapat membahagiakan sang ibu, tak ada yang lebih membahagiakannya lebih dari ketulusan kasih seorang anak yang dengan hormat dan santun merawat orang tua dengan tulus, menjaga rahasianya, menutupi aibnya, hingga berpisah dari dunia ini.

    Jadi lansia mesti dirawat anak atau dirawat negara? Sayangnya di Indonesia belum ada sistem kesehatan terpadu yang menjamin kesejahteraan penduduknya dari sebelum lahir sampai meninggalnya. Begitu sakit, habis terkuraslah semua tabungan dan harta benda yang dimiliki untuk membayar biaya medis. Seharusnyalah tidak sampai begitu. Saya tak hanya menantikan sistem kesehatan universal yang ideal  di Amerika, tetapi juga di Indonesia.

    Semoga di Jakarta kehidupan nafsi-nafsi tak mengubah para anak menjadi 'emoh' merawat orang tua masing-masing. 

    Hani
    Louisville 2014

    Thursday, October 28, 2010

    #16 Variasi Rasa Aneka Masakan Dunia Di Dapur Kita: Cara Menarik Kehangatan dan Cinta Anak Dan Suami




    Pernahkah terpikir oleh kita bahwa dapur kita adalah daerah yang paling sering dikunjungi oleh rasa ingin tahu anak-anak, suami hingga mertua dan tetangga kita? Kadang karena kesibukan kita, dapur semakin jarang kita kunjungi karena sudah ada yang membantu kita menangani masalah masak memasak ini. Kadang karena terbatasnya luas dapur kita dan juga karena terbatasnya waktu, sarana dan keuangan keluarga, membuat kita enggan untuk bereksperimen dengan berbagai resep baru.
     
    Namun sebenarnya dapur adalah jantung keluarga yang memberikan aliran kehangatan dan energi di dalam rumah dan dapat menjadi salah satu sarana untuk mempererat komunikasi dan keintiman di dalam rumah tangga.

    Meskipun banyak keluarga yang menyukai quality time bersama keluarga untuk aktivitas di luar rumah, seperti jalan-jalan dan makan bersama keluarga, tidak kurang pula keluarga yang meluangkan waktu keluarga lebih banyak di dapur daripada di ruangan lain di dalam rumah.
    Ada beberapa tips untuk menjalin cinta dan kehangatan di dalam rumah, melalui sarana dapur dan aneka resep dunia :
    1. Jadikanlah dapur menjadi tempat aktivitas yang menarik, minimal untuk memasak setiap hari. Bagi yang berminat, dapur dapat menjadi tempat aktualitas diri, menjadi tempat untuk sarana hobi, dekorasi, hingga tempat multi fungsi keluarga. Bagi yang sibuk, minimal luangkan waktu khusus misalnya setiap hari Minggu untuk membuat zone My Own Family Kitchen, saat dapur hanya thok dirajai oleh diri sendiri dan keluarga. Aroma masakan yang menyebar dari dapur pasti akan mengundang datangnya kaki-kaki kecil yang ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh Ibunda mereka, selain itu juga akan mengundang suami tercinta melongok ke dapur sekedar memenuhi rasa ingin tahu.
    2. Bila anak-anak sudah terbiasa dengan pattern baru keluarga, ajaklah mereka untuk ikut berpartisipasi. Dapat dilakukan dengan membuat aktifitas yang anak-anak dapat lakukan sesuai umur mereka. Dari membuat cookie atau cup cake , atau mini pizza bersama, hingga membuat kue besar atau hidangan lain sesuai selera bersama.
    3. Untuk menarik hati suami, cobalah masak makanan favorit suami yang sering diincar suami bila makan bersama di luar rumah. Bila perlu cari informasi resep dan trik/rahasia masakan dari sang penjual.
    4. Tidak suka masak ? Tidak bisa masak ? Tak interest dengan masak-memasak ? No problem. Siapa tahu suami dan anak-anak yang suka memasak atau interest dengan masak-memasak. Kita malah bisa bertindak sebagai supervisor atau manager yang memfasilitasi atau menyediakan semua sarana dan alat serta bahan-bahan. Atau bila tak ada yang berminat satupun di dalam keluarga, namun masih ingin mencoba masakan baru tanpa harus keluar rumah, bisa dilakukan dengan menyediakan tempat bagi keluarga atau teman yang hobi masak untuk masak dan makan bersama. Belajar langsung dari yang menguasai jauh lebih baik dari bereksperimen sendiri.
    5. Carilah resep-resep aneka rasa yang akan dicoba, bicarakan bersama suami dan anak-anak untuk menggugah rasa ingin tahu mereka. Bila mencoba resep baru yang masih asing dan unik buat kita, mencari bahan-bahan masakan di berbagai pelosok pasar atau supermarket dapat menjadi aktivitas sendiri yang menyenangkan buat anak-anak. Berikanlah shopping list kepada anak-anak, sehingga mereka merasa diri mereka penting dan sekaligus mengajarkan rasa tanggung jawab tanpa membebani mereka, dengan memberikan kesenangan game search and find pada mereka.
    6. Berikan budget khusus untuk resep baru yang dapat dialihkan dari budget makan bersama di luar rumah.
    Dengan berjalannya waktu, dapur kita pun semakin beragam dengan berbagai aroma, rasa, tekstur dan bahan masakan, yang tidak hanya mewakili aneka rasa berbagai suku di tanah air Indonesia, tetapi juga berbagai rasa berbagai bangsa di dunia.
    Dari mengenal rasa masakan, keluarga dapat kita ajak untuk mengenal budaya, bahasa dan kehidupan di berbagai bangsa. Kita semua dapat bersama-sama belajar bersama-sama, menelusuri berbagai informasi mengenai bangsa-bangsa asal masakan tersebut, baik melalui buku, majalah, atlas, internet, musik lagu maupun foto-foto yang bisa kita lihat. Pengenalan berbagai bangsa dan budaya beserta kehidupan bangsa lain akan memberikan pengaruh yang sangat positif bagi anak-anak, sekaligus menumbuhkan kreativitas dan keinginan bereksplorasi akan pengetahuan yang baru. Berawal dari sini bisa kita bukakan cakrawala pemikiran dan pengetahuan dan berbagai minat dan bakat anak-anak yang selama ini mungkin masih terpendam. Membaca, menulis, membuat scrap book/ kliping, fotografi, musik/nyanyi, travel, kulinari, jelajah/ekspedisi, science, dan berbagai kemungkinan minat anak-anak dan keluarga yang bisa dikembangkan bersama.
    Beberapa variasi masakan yang dapat dicoba bersama keluarga di rumah:
    1. Aneka Masakan Barat: Masakan Italia, Perancis, Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Denmark, Swiss dll.
    2. Aneka Masakan Asia: Masakan China, Jepang, Korea, Mongolia, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar dll
    3. Aneka Masakan Asia Selatan : India, Pakistan, Srilangka, Bangladesh, Nepal, Tibet, dll
    4. Aneka Masakan Afrika: Somalia, Kenya, Ethiopia, Ghana, Zimbabwe, Sudan, Niger, Ivory Coast, Tanzania, Aljazair, Tunisia, dll
    5. Aneka Masakan Jazirah Arabia: Saudi Arabia, Kuwait, Jordan, Syria, Maroko, Palestina, Libanon, Irak, Iran, dll
    6. Aneka Masakan Rusia: Rusia, Ukraina, Belarusia, Kadzakhstan, Uzbekhistan, Siberia, dll
    Happy Fun Cooking and Exploring…..
    Hani

    Louisville, September 2005

    #14 Masakan Lebaran Spesial: Cita Rasa Kasih Keluarga


     
    Tidak terasa, beberapa hari lagi Hari Raya Iedul Fitri akan tiba. Bagi siapapun yang merayakannya, hari ini terasa sangat istimewa. Bukan hanya sekedar sebagai suatu momen relijius, namun juga sebagai suatu momen penting mempererat tali kasih di dalam keluarga besar, juga dengan sanak saudara, teman dan tetangga.Lebaran dari tahun ke tahun yang penuh dengan romantika dan kesibukan cuti tahunan bersama keluarga, belakangan ini menjadi suatu kemewahan tersendiri yang mengobati kesibukan sehari-hari keluarga dalam mencari nafkah dan mengelola keluarga bagi orang tua, dan kesibukan belajar bagi anak-anak.

    Bagi saya yang tinggal jauh dari tanah air, masakan khas ala Lebaran selalu menimbulkan rasa rindu kepada keluarga dan tanah air. Kerinduan akan Ibunda dan keluarga serta tetangga di tanah air. Suasana Lebaran yang penuh kehangatan dan kekeluargaan bukan hanya di antara keluarga, melainkan juga di antara tetangga, teman sampai kepada mereka yang tidak merayakan Lebaran sekalipun. Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, suasana Lebaran di sekitar tempat tinggal Ibu sudah berubah bila dibandingkan dengan Lebaran 10 tahunan yang lalu. Tetangga-tetangga pun sudah menua, tidak ada lagi anak-anak kecil yang akan dengan gembira dan lahap menikmati sajian Lebaran. Sementara masakan Lebaran yang berlemak dan berkalori tinggi tidak dapat dinikmati dengan bebas lagi oleh para orang tua.

     
    Dulu, tidak ada lebaran yang sepi. Selain anak-anak rajin mengisi hari-hari di dalam bulan Ramadhan dengan mengaji dan bermain di jalan setelah shalat Tarawih, apalagi dulu belum ada larangan bermain petasan, anak-anak bermain petasan pletok dan berbagai aneka ragam permainan anak dari galasin, tak lari, tak umpet, dll. Belum lagi saat malam Lebaran tiba, anak-anak berkarnaval dengan melafalkan takbir dan membawa obor dari bambu, berjalan keliling kampung, menyalakan kembang api dan petasan di jalan. Orang tuapun lebih memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk bermain di luar rumah saat bulan Ramadhan. TV, video game atau komputer game belum memenuhi jadual keseharian anak-anak, dan permainan di luar rumah masih menjadi aktifitas keseharian yang sangat menyenangkan.
     
    Bagi semua yang merayakan, Lebaran sekaligus berkonotasi dengan kesempatan istimewa dapat mencicipi aneka hidangan yang kadang hanya muncul saat Lebaran (saat itu), kesempatan membersihkan dan mengecat rumah, berpakaian dan bersepatu bersih dan baru terutama kepada anak-anak. Jarang sekali ada anak-anak saat itu yang dapat mengganti sepatu dan baju mereka dengan yang baru selain saat Lebaran. Kesempatan emas untuk bertandang ke rumah tetangga, saudara dan kesempatan untuk mudik bagi para perantau yang bertebaran di berbagai kota besar tanah air dan dunia.
     
    Selama bulan Ramadhan, Ibu-ibu sudah mencicil kue-kue Lebaran dan memasaknya bersama-sama. Seringkali, setelah selesai menderas Al Qur’an, atau sehabis shalat tarawih, Ibu-ibu bergadang tidak tidur, sementara Bapak-bapak asyik mengobrol sambil minum kopi dan merokok (maklum zaman saya kecil, hampir semua bapak-bapak merokok, tidak seperti sekarang yang banyak anti merokok dan menjadi vegetarian). Anak-anakpun sah-sah saja berlarian ke sana kemari, atau hanya sekedar menemani Ibu-ibu,mencicipi kue yang gosong atau hancur, nanti pergi ke kumpulan Bapak-bapak mendapat kue-kue camilan, atau cerita-cerita seram yang membuat anak-anak takut setiap melewati jalan yang gelap saat pulang dari mesjid. Apalagi saat itu, PLN seringkali down, entah ada gardu yang terbakar, korslet, rusak atau voltage naik turun. Saya masih ingat saat voltage listrik turun, dan gambar TV menjadi goyang-goyang atau suaranya berubah menjadi lamban sekali.
     
    Saat Ibu di rumah memasak bersama sahabat-sahabatnya yang tinggal berjauhan, minimal lain RT, atau lain tempat yang datang bergantian ke rumah merupakan saat yang paling saya tunggu-tunggu.Senang sekali....karena saya bisa bermain dengan anak-anak Tante selama mereka bertandang ke rumah. Selain memasak bersama sahabat-sahabat, Ibu juga memasak bersama para tetangga. Setiap selesai masak-masak, Ibu selalu menyimpan bagiannya di dalam toples-toples khusus yang diselotip rapat dan disiapkan untuk menjamu tamu Lebaran. Toples-toples ini tidak akan dibuka sampai semua kue dan masakan yang Ibu masak sendiri habis. Kue-kue dan masakan bagian Ibu,juga dimasukkan ke dalam toples dan plastik box (dulu belum zaman tupperware) dan diseal pula, lalu disimpan di lemari kabinet di dapur. Kadang bila penuh, lemari makan sampai bawah tempat tidurpun jadi tempat menyimpan toples Kacang Bawang, Kacang Mede, Kacang Atom, Kue Nastar, aneka Kue Semprit dll. Untuk masakan, Ibu masukkan ke dalam kulkas dan fridge. Ini juga tidak akan Ibu buka sampai semua masakan Ibu habis.
     
    Menu Lebaran di rumah tidak jauh berbeda sebenarnya dengan menu Lebaran di rumah-rumah lain. Kadang menu Lebaran, berarti menu se RT bersama, mungkin se RW/RK bersama, mungkin juga menu sekampung atau malah se-Indonesia bersama. Ketupat, Lontong Sayur, Opor Ayam, Rendang Sapi, Sambel Goreng Kentang Ati/Bola-bola daging/Udang, Acar, Kerupuk, Sambel Bajak / Terasi / Tomat, Ayam Goreng, Semur Daging, Bacem Jeroan, Dendeng Gepuk, Pepes Ikan. Lain asal daerah mungkin lain variasi bumbu dan isi, dan rasa. Namun sajian ketupat, lontong, lepat, burasa, lemang yang tidak lain merupakan varian dari nasi selalu menjadi hidangan utama. Meskipun demikian, bagi saya serumah, menu Lebaran ala Ibu selalu terasa sangat istimewa. Menu dapat serupa, namun hasil olah rasa penuh cinta kasih Ibu selalu menjadi sajian yang kami serumah tunggu-tunggu.
     
    Biasanya 2 hari sebelum lebaran, tetangga semua memasak di rumah sendiri, begitu juga Ibu. Kecuali memang bila ada yang ingin menghabiskan malam takbiran di rumah, sehingga jarang ada malam takbiran tanpa kehadiran saudara ataupun tetangga. Sambil membuat berbagai masakan saat Ibu memasak dengan sahabat/ tetangga, di dapur luar Ibu menggodok Ketupat, sementara di berbagai panci yang berderet di dapur Ibu membuat berbagai masakan lain, dari Gudeg, Semur, Opor, Kalio serta Rendang dsbnya. Oven pun sibuk tak henti memanggang kue-kue besar untuk hidangan tamu esok hari, dari Lapis Surabaya, dan berbagai kue aneka rasa. Semua bahan sudah Ibu siapkan sebelumnya, sehingga tinggal dijadikan masakan saja.
     
    Beberapa malam sebelum malam takbiran, di sela-sela waktu malam sesudah tarawih dan saat bersahur mengisi waktu sebelum Subuh, kita semua menyiapkan bahan-bahan masakan. Dari membuat santan, menumis semua bumbu, menggoreng Kerupuk, menggoreng Bawang, memotong Kentang dan menggorengnya, menggoreng Cabe dan menyambal, membuat Telur Rebus, mengungkep Ayam, membuat rendang Daging, membacem Daging dst. Satu persatu bahan tersebut disimpan di dalam box plastik dan dimasukkan ke dalam kulkas. Sehingga saat malam takbiran, semua bahan tinggal dijadikan satu. Tak lupa kami juga membuat berbai kue kecil dan kue kering kesukaan keluarga. Kami membuat sendiri Chocolate Cookies ala Famous Amous dengan tambahan Kurma dan Kismis serta Kenari dan Kacang Mede. Belum lagi aneka puding dan resep-resep baru yang Ibu coba untuk kesempatan istimewa ini.
     
    Hasilnya begitu hidangan Lebarang disajikan, masakan di rumah menjadi berbeda rasa dengan masakan bersama. Kadang tetangga yang masih masak bersama saat takbiran sampai bertanya-tanya, "Lha Ibu masaknya kapan? Kok nggak kelihatan masak ini semua?."
    Memang bila masakan dan menu serupa apalagi bila rasanya pun sama, kadang membuat keengganan para tamu yang tinggal berdekatan untuk mencicipi. Namun Ibu selalu menyajikan kue dan masakan yang berbeda, sehingga para tamu yang datang berlebaran ke rumah selalu tertarik untuk memakannya. Giliran keluarga atau teman yang tinggal jauh yang datang, barulah toples-toples simpanan Ibu hasil masakan bersama di buka, box-box plastik makanan dikeluarkan dan dihidangkan, sehingga tidak ada masakan yang sekedar dilihat, namun tak dimakan.
     
    Setiap Lebaran, setiap keluarga pasti mempunyai menu spesial tersendiri. Ada tradisi saling menghantar makanan lebaran, terutama bagi mereka yang bersuku Jawa, Sunda dan Betawi. Kebiasaan ini akhirnya merembet ke semua tetangga, hingga kita pun mengirim ke tetangga yang non-muslim agar mereka dapat menikmati rasa kesyukuran dan kegembiraan kita di hari Raya. Apalagi banyak tukang sayur dan toko serta pasar yang tutup berhari-hari saat hari Raya, karena mereka pulang kampung berlebaran di kampung asalnya.
     
    Setiap tahun pasti ada hantaran tape ketan uli dan dodol Jakarta, Roti Cane dan Kalbi Kambing ala Kal-Bar, Rendang Jengkol Padang, Nasi Kebuli/Briyani Kambing ala Padang Pasir, belum lagi Lontong Sayur Spesial dengan Tetelan dan Krecek, Lemang Padang dan Ketupat ketan, hingga Sambal Petai dan Gule Kambing,hingga Pepes Ikan.
     
    Hantar-menghantar ini menambah ramai sajian Lebaran, sekaligus menimbulkan kerinduan tersendiri, karena tak bisa memasak sendiri untuk mendapatkan rasa yang sama dengan masakan hantaran! Sama-sama Ketupatpun, ada yang suka Ketupat Ketan, ada yang suka Ketupat Lunak, ada yang suka Ketupat Keras, ada yang suka Lontong. Opor ayam ada yang suka pakai kunyit ada yang tidak. Ada yang hanya memakai Ayam Kampung, ada yang suka Broiler. Ada yang suka Sambal Goreng Hati Ayam, ada yang suka Sambal Goreng Hati Sapi, ada yang sukanya dengan Bola-bola Daging, ada yang sukanya dengan Udang, ada suka dengan Petai ada yang tidak suka Petai. Beragam variasi masakan lebaran. Belum lagi ada yang sukanya dengan Rendang Sapi, ada yang sukanya Daging Gepuk, ada yang sukanya Ayam Goreng, ada yang sukanya Semur ada yang sukanya Gule atau Kari Kambing. Ada yang suka dengan Oseng-oseng Buncis dan Jagung Muda, Acar Kuning dan Ikan, Balado Telur, Ayam Rica-Rica dan berbagai variasi lainnya.
     
    Setahun sekali Ibu membuat Bingka Istimewa khusus untuk Lebaran, dibuatnya langsung pagi sebelum Subuh Lebaran, kadang setelah pulang dari Shalat Hari Raya. Kadang ditemani dengan Kue Lumpur, Lemper Ayam Bakar, atau kadang Black Forest, Lapis Surabaya dan Kue Soes yang masih hangat baru keluar dari oven. Bingka ini adalah kue khas ala Banjar yang dibuat saat Ramadhan dan Iedul Fitri. Tiada Lebaran yang lengkap tanpa Wadai Banjar, minimal dengan adanya Kue Bingka. Menu lengkap dengan Gangan Kuning, Dodol Waluh, Soto Banjar dan Ayam Masak Habang dan Itik Panggang Kecap atau Haruan panggang. Saat Nenek masih hidup, hidangan Ikan dan Telur Ikan Wadi serta Tampoyak Durian pun menghiasi meja. Namun hidangan ala tempo dulu ini semakin sulit didapat dan semakin asing dari cita rasa keseharian.
     
    Setelah 2-3 hari setelah Lebaran, biasanya Ibu menyajikan hidangan yang menyegarkan, Soto Banjar, Sayur Asem, Ikan Bandeng Bakar, Pepes Ikan Mas, Soto Bandung, Soto Mi Bandung, Sayur Lodeh, Coto Makassar, Asem-asem kacang Panjang, Goreng Tempe Tahu, dan Lalapan, belum lagi Gudeg komplit dengan Sambel Goreng Krecek, Woku Belanga, Pepes Jamur dan Buntil, kadang ada Bothok dan Asem-asem Kacang Panjang. Kadang ada Rica-rica Ayam, Balado Telur, Ayam Masak Habang, Itik Panggang, Gangan Asam Kepala Ikan, Cacapan dan segala Sop-sopan dan Sayur Bening. Tak lupa segala rebusan Sayuran dan Lalapan.
     
    Lebaran saya tahun ini Insya Allah, Lebaran kolaborasi pot luck dengan sahabat sekota. Rencana masak bersama selalu terbentur kesibukan masing-masing yang berbeda, sehingga saya sekeluarga hanya akan bertandang untuk Lebaran Lunch di rumah mereka sambil membawa Lontong Sayur dan Daging Semur. Menu utama, Lontong Sayur Spesial ala Perantauan, Daging Semur/Daging Gepuk, plus hidangan ala Thanksgiving di rumah tuan rumah yang terdiri dari Rottiserrie Chiken, Brocolie Casserole, Mashed Potatoes, Fruit Jelly Salad, dan Devils Cake/Black Forest. Masakan Thanksgiving sengaja dihidangkan tuan rumah bagi tamu-tamu yang belum menyukai cita rasa Nusantara, meskipun mereka beristri orang Indonesia. Lontong Sayur dan Daging Semur minimal sebagai pengobat rindu Lebaran bagi istri-istri Indonesia yang bersuamikan bangsa lain. Makan-makan seperti ini merupakan kemewahan bagi kami, dan jarang sekali ada kesempatan untuk berkumpul bersama teman sekedar untuk makan bersama.
     
    Lebaran akhirnya menjadi momen istimewa gathering para perantau sambil mempererat silaturahim dengan teman-teman lain bangsa. Kali ini sayapun berfikir untuk membuat momen Lebaran istimewa setidaknya untuk saya sekeluarga. Nasi Briyani Ayam dan Daging Sapi yang sudah saya modifikasi dan menjadi favorit suami dan anak, mungkin bisa menjadi tradisi tahunan kami. Setelah itu, Nasi Soto Ayam ala kaki lima Jakarta dengan Ayam Goreng Kuning, dan Mi goreng, Cah Brokoli, Acar dan Lumpia menjadi alternatif hidangan Lebaran Hari Kedua.
     
    Di tengah keprihatinan banyak orang di berbagai Negara dan di tanah air, masakan ala Lebaran menjadi kemewahan bagi banyak orang di mana-mana, bukan hanya bagi kami yang jauh di rantau. Semoga mereka yang berkelebihan dan berkecukupan di hari-hari akhir Ramadhan ini, terketuk hatinya untuk membantu mereka di sekitarnya yang kekurangan, agar mereka dapat ikut bergembira merayakan Hari Iedul Fitri bersama yang lainnya, setidaknya ikut merasakan Masakan Lebaran Keluarga yang penuh Cinta Kasih setulusnya.
    Louisville, menjelang Iedul Fitri 1426 H
     
    Hani Iskadarwati
     
    Nasi Kuning Gurih (aka Briyani Fun)
    Ayam/Sapi/Mutton/Lamb

    Serving: satu keluarga (4-6 orang)
    Bahan Nasi :

    Beras Basmati/Jasmine 4 cups
    Telur Rebus 6 buah (optional)
    Kentang 2-3 buah potong 4-6
    Onion medium 3 buah
    Bawang Putih 5 siung
    Ketumbar bubuk 1 sdm
    Jinten Bubuk 1 sdm
    Kunyit Bubuk 1 sdt/ Saffron 1/2 sdt dilarutkan dalam air 2 sdm
    Jahe bubuk 1/2 sdt atau 1 sdt paste
    Curry Powder 1 sdm
    Cardamon/kapulaga hijau 3
    Bay Leave 2 helai
    Clove 5 tangkai
    Kayu Manis 1/4 batang atau 1/2 sdt bubuk
    Garam 1 sdt/secukupnya
    Minyak Sayur 5 sdm
    Air 5-6 cups

    Bahan Ayam/Sapi/Mutton/Lamb:
    Ayam 1 ekor bagi 8-12 bagian/ Sapi daging short rib atau
    sirloin 4 lbs bagi per-orang/Mutton/Lamb bagian iga atau
    potongan untuk lamb of a rack 1/2nya potong per serving.
    Onion 3 buah
    Bawang Putih 10 buah
    Garam masala 1 1/2 sdm
    Curry powder 1 sdm
    Cumin/coriander 1 sdm
    Kunyit bubuk 1 sdt
    Cardamon 5 buah
    Clove 5 buah
    Cinnamon 1 batang kecil
    Bay Leave 2 helai
    Paprika Powder 1 sdm
    Chilli Powder (optional bila suka pedas 1 sdt-1sdm)
    Garam secukupnya
    Minyak 3 sdm
    Marinate Sauce ( 2 sdm oliveoil, 2 sdm onion paste,
    1 sdt garam, 1 sdt black peper, 1 sdm papikra bubuk, 1 sdt
    kunyit)
    minyak sayur 2 cups untuk menggoreng


    Bahan Acar/Sambal Nasi:
    Onion besar 1
    Tomat besar 2
    Jalapeno 4 buah atau cabe merah tumbuk 1 cup/ sambel
    Oeloek 2 sdm
    Gula Pasir, Garam, cuka/air asam/air jeruk

    Cara Membuat:
    Nasi : Cuci bersih beras dan tiriskan. Haluskan onion dan bawang putih. Campur semua bumbu bubuk, beri air 2 sdm dan aduk rata. Cuci potongan kentang dan tiriskan. Rebus telur dan kupas. Panaskan fry-pan ukuran besar, panaskan minyak,tumis semua bumbu keras, tumis campuran bawang bombay dan bawang putih sampai berbau harum, masukkan kentang, setelah kentang setengah matang, masukkan bumbu bubuk yang sudah dicampur air, setelah bumbu matang masukkan beras dan tumis beras hingga minyak meresap ke dalam beras. Masukkan air/kaldu ayam sebanyak 6 cups. Aduk rata dan tutup fry-pan dengan aluminium foil. Kecilkan api menjadi medium.Tunggu sekitar 10 menit, cek nasi. Bila air sudah mengering, jaga jangan sampai berkerak, pindahkan seluruh bahan ke dalam rice-cooker, selipkan telur rebus di antara nasi. Nyalakan Rice-cooker seperti untuk memasak nasi biasa. Siap untuk dihidangkan.

    Bahan Daging:(Pilih bahan yang disukai, bila ingin menyajikan semuanya buat satu persatu agar rasa terjaga)Bersihkan bahan dan keringkan, marinate dengan olive oil-garam-lada -kunyit-onion paste-paprika selama 15 menit. Panaskan panci dan minyak sayur, tumis bumbu keras sampai harum, lalu masukkan onion dan garlic yang sudah dihaluskan, tumis sampai harum, baru masukkan semua bumbu bubuk yang sudah diaduk rata dengan 2 sdm air, masukkan daging yangsudah dimarinate, aduk rata dengan bumbu, dan tutup panci. Masak dengan api medium-high. Setelah 5 menit, balikkan daging dan tutup panci kembali tunggu sampai kedua sisi brown merata. Setelah daging setengah matang, masukkan 4 cups air mendidih dan tutup panci dengan api medium, selama 30 menit. Bila air sudah mulai mengental, balikkan daging dan jaga jangan sampai gosong. Angkat daging dari panci dan tiriskan.

    Panaskan minyak sayur di fry-pan, goreng daging dengan panas medium-high hingga kecoklatan, lalu balik hingga kedua sisi brown.
    Tiriskan dan serap minyak dengan paper towel. Siap Saji. Sekitar 5 menit.

    Acar/Sambal:
    Potong kotak onion dan tomat serta jalapeno pepper, atau bisa masukkan semua bahan jadi satu di food processor/blender dan chop semua bahan jangan terlalu halus. Sesuaikan asam manisnya sesuai selera.

    Cara Menyajikan:

    Per-piring: Nasi Kuning dengan kentang dan satu telur dan daging goreng. Pisahkan piring Acar/sambal tersendiri. Hidangkan pula lalapan dari potongan timun, tomat, iceberg lettuce, dan kol mentah, serta cabe hijau mentah. Sertakan pula kerupuk goreng dan bawang goreng sebagai pelengkap hidangan.






    hani
    Louisville, Lebaran 2005