Showing posts with label love. Show all posts
Showing posts with label love. Show all posts

Wednesday, April 19, 2017

#33 April's Flower



        April yang biasanya penuh dengan bebungaan, tahun ini terasa sepi. Bunga-bungaan mekar terlalu awal di bulan Februari. Saat memasuki bulan April, hujan yang datang silih berganti meluruhkan bebungaan sebelum waktunya. Hanya dedaunan hijau yang melebat memenuhi pinggiran jalan.

         Tentu saja bebungaan selalu tersedia di toko bunga atau pojok florist di dalam supermarket. Dari mawar yang selalu tersedia setiap musim, tulip, lili, garbera, daisy, hingga sweet pea.

           Indah sekali bebungaan di musim semi. Namun, tahun ini alergi sangat mengganggu. Dari gatal-gatal, mata merah berair, hidung tersumbat, bersin dan batuk tak henti, sangat mengganggu sekali. Itulah seasonal alergy. Pertama kali kudengar istilah itu waktu aku tinggal di Jepang. Guru di kelasku bercerita, bagaimana susahnya dia setiap musim semi tiba karena dia menderita seasonal allergy/kafunsho.

         Kafunsho sendiri di Jepang adalah hay fever allergy, terutama terjadi karena tingginya pollenisasi bunga Pohon Japanese Cedar. Belakangan, istilah ini juga dipakai untuk alergi polen berbagai bunga lain.

            Saat itu, aku tak punya alergi apapun. Alergi baru kurasakan sejak tinggal di tepian sungai Ohio ini.  Topografi kotaku yang seperti cekungan dikelilingi oleh bukit dan pegunungan di sekitarnya, membuat semua endapan dan polutan alam terkumpul di daerahku. Satu-satunya cara untuk menyembuhkan permanen hanya dengan berhijrah dan tinggal di tempat yang bersih dari polusi. Bila tidak, maka bersabarlah dengan obat alergi yang ada, atau sibuk mempertinggi imunitas tubuh dari kerentanan polusi alam.

             Amerika Serikat adalah satu wilayah benua yang luas. Beda dengan Indonesia, Jepang atau Filipina yang merupakan negara kepulauan, apa yang terjadi di tetangga State akan langsung berdampak pada wilayah sekitarnya. Dari, cuaca, temperatur, kecepatan angin, hujan hingga kebakaran hutan, kekeringan dan banjir, tornado atau badai akan saling berpengaruh satu sama lain dalam skala yang sangat besar.

             Menyebarnya polenpun begitu. Bayangkan bila polen dari jutaan bebungaan pinus atau cedar, atau bunga dalam skala luas menyerang satu daerah. Sekuat apapun seseorang, akhirnya akan terkena seasonal allergy juga pada satu saat.

            Begitulah polen. Bila hanya satu butir polen, mungkin tak akan mampu menyerang kekebalan tubuh manusia. Tapi berjuta-juta polen, bahkan bisa meluluhlantakkan penduduk satu daerah.

Thursday, February 5, 2015

#31 Emotional Eater;Seasonal Writer


#31 Emotional Eater;Seasonal Writer


Tak terasa setengah tahun telah berlalu dari posting terakhirku di tahun 2014. Lagi-lagi, New Year Revolution yang tak terucapkan dan tak terpenuhi! Menulis setidaknya satu blog sebulannya. Aish!
Ini kata K-Drama, lho.

Bebenah rumah setelah sekian lama, baru sadar kalau punya blog yang lama banget gak di update. Gubraks! Tahun ini bukan main deh! Alhamdulillah Ya Allah, sampai-sampai waktu berlalupun sangat tak terasa.

Jadilah tak ada New Year Resolution. Tak ada list yang dilanggar karena tak pernah direalisasikan.
Tinggal satu pertanyaan yang tersisa. Quo Vadis, Hani?

2014 vs 2015

Tahun lalu banyak nano-nano jadi satu. Alhamdulillah transisi status dari student menjadi pekerja berjalan mulus. Banyak tantangan silih berganti, banyak kemudahan pula yang didapat dariNya. Alhamdulillah, satu persatu kesulitan hilang dan terselesaikan dengan sempurna. Alhamdulillah pula banyak bantuan tak terduga, dan uluran tangan yang sangat berharga.

Memasuki tahun 2015, penuh dengan harapan dan doa. Tersadar sekali betapa tak berdayanya diri ini. Sehari yang 24 jam ini, sangat tak cukup untuk semua kesibukan sehari-hari. Jalan baru mulai ditapaki. Tak dapat mundur atau berbalik arah lagi. Sekarang bagaimana mengolah waktu yang 24 jam itu menjadi bermanfaat seefisien mungkin.

Tahun 2015 insya Allah tahunnya bintang buat kami sekeluarga. Lho, kok bisa bilang begitu? Setelah melewati tiga tahun penuh perjuangan di segala segi, alhamdulillah, kami sekeluarga insya Allah bisa melalui hari-hari ke depan dengan rasa syukur yang lebih kepadaNya dari pada hari-hari yang lalu.

Ada kemajuan di segala arah bagi kami sekeluarga, dari pekerjaan, kesehatan, pendidikan hingga hubungan dengan keluarga dan teman. Terbukti sekali bahwa di setiap kesulitan Allah berikan kemudahan. Banyak hal yang tak mungkin dijadikanNya nyata. "Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan?"

Emotional Eater

Merefleksi diri serumah, ternyata kita serumah masuk golongan emotional eater. Begitu senang, kita semua langsung setuju makan di luar, atau belanja grocery makanan saat itu juga. Begitu sedih dan susah, kita menghibur diri juga dengan makan. Semakin stress, semakin banyak makanan yang dikonsumsi.

F besar sepertinya punya cita rasa yang cukup tinggi. Hobinya makan sushi, gourmet fusion dan Mediterranian. F kecil, cocok jadi kritikus foodie. Aduh, jangan tanya pickynya! Kalau dia jadi juri food contest atau jadi food kritik, bisa habis dibantai tuh para kontestannya. Hasilnya, jaraaaang sekali masakan ibunya dipuji F kecil, ihiks. Yang dipuji masakan Mediterranian. Aaaah, alamak mamanya harus belajar masak neh!

Setelah melanglang berbagai restoran bersama, kesimpulan terakhir:
1. Pass semua restoran buffet; rendah kualitas baik bahan, rasa, kebersihan, kesehatan.
2. Pass junk food chain restoran; alasan idem di atas.
    (Yang masih masih kadang dilanggar, alasannya beli kopi atau salad)
3. Pass resto masakan Cina, Korea, Jepang, Asia, kecuali 1-2 yang lulus uji lidah keluarga.
    (Semua setuju, masakan mamanya masih lebih enak, murah dan dijamin halal, hooray!)
4. Pass semua Pizza Corner, kecuali 1-2 occassion.
    (Jadi ingat zaman bikin pizza sendiri, ehm. Mana waktunya?)
5. Sepakat, beli bahan yang organik sebisa mungkin, segar dan halal.
6. Masakan mama TOP deh! (Mamanya happy deh!)

Hasilnya? Papa turun 5 kg, F besar bertahan di kisaran normal, F kecil naik 5 kg, mamanya  tetap bundar! Rahasia papa adalah tak makan nasi, dan nasi diganti dengan flat bread. F besar makan separoh porsi biasa dengan variasi yang lebih berbeda. F kecil naik timbangan karena selalu minum susu dan keju. Mamanya? Jadi lapar setiap nonton K-drama. Apalagi setiap scene makan sekeluarga! Duh itu banchan lengkap muncul semua. Cita-cita pengen punya dapur minimal dua, dapur basah, kering dan dapur terpisah dari rumah buat nyale, nyate, mepes, ngerendang, nahu, nempe, ngecap, ngasinin, manisin etc! Pengen punya halaman belakang yang luas, cukup buat kebun sayur mayur sendiri, buat tempat guci kimchi, tunjang kanjang, sama gazebo buat  ngeringin radish, cabe etc.

Seasonal Writer

Yang ini sudah terbukti tuh. Nulisnya sesuka hati. Ini nih yang perlu dibenahi. Harusnya teratur ya, seperti shalat. Ehm. Jadi langkah pertama nih mesti benerin shalatnya. Kalau shalat bener, insya Allah yang lain-lainnya ikut teratur juga. (Ini sih, nalar saya saja, xixixi).

Hayuk ah, sudah berlabel dua di tahun 2015, jadi ada target yang harus dibenahi diri.
1. Makan seperlunya saja, biar sedang senang susah etc, cukup secubit serasa deh. Kalau lapaar bangetz gimana? Sedia jeruk Mandarin sama Nature Valley Protein Bar yang penuh nuts, almond sama dark chocolate. Haiyyya! Anak-anak happy sama microwave popcorn organik.
2. Tidur yang pulas dan cukup. Terutama buat anak-anak, supaya segar di pagi hari berikutnya.
3. Banyak-banyak berdoa dan beribadah, serta bebersih dan berbenah.
4. Sering-seringlah bersedekah. Senyum ikhlas juga sudah masuk sedekah :) Semoga diberi kelancaran rezeki dan dapat bersedekah lebih tahun ini dan ke depan.
5. Selalu bersyukur padaNya dan selalu memohon ampunanNya.
6. Membersihkan hati, fikiran, raga dan lingkungan.
7. Always in love! Love will always surround you. Smile.

Semoga besok semakin baik dari hari ini!

Hani




Monday, February 10, 2014

#27 Déjà vu; Rasa itu Tetap Ada; Melancholy Edition

 
Hari ini matahari bersinar sangat garang.  Sebegitupun masih tak mampu melenyapkan timbunan es dan salju di atas atap, dedaunan dan rumput-rumput halaman. Serasa summer datang di tengah-tengah kebekuan musim dingin. Tahun ini badai salju dan es melanda berkali-kali. Meskipun kami tinggal di perbatasan antara daerah Northeast dengan daerah Mid-West, namun winter kali ini serasa seperti saat kami tinggal di Massachusetts.
 
Déjà vu
  • Déjà vu, from French, literally "already seen", is the phenomenon of having the strong sensation that an event or experience currently being experienced has been experienced in the past, whether it has actually happened or not. (Wikipedia)

  • Entah mengapa, sejak pagi hari saya diterpa perasaan ini. Rasa yang sama yang saya alami saat kecil, saat menatap matahari terbit atau matahari terbenam. Saat mendengar azan Subuh yang mengalun di keheningan pagi, azan Maghrib yang terdengar saat berkendaraan melewati masjid, saat memandang keluar jendela pesawat memandang awan-awan, saat melihat bintang-bintang yang berkedipan di langit kelam.
  •  
  • Rasa itu yang membuat saya sepi, sendiri, membuat saya bertanya-tanya tentang diri. "Siapa saya, untuk apa saya dilahirkan dan kemana saya akan kembali." Rasa itu biasanya muncul sebelum terjadi suatu perubahan dalam hidup saya. Entah perubahan besar atau kecil.
  •  
  • Terakhir saya merasakannya pada waktu saya berada di Boston, dan itu sudah bertahun lalu. Rasa itu sangat kuat  hari ini, dan mengangkat kembali banyak memori lama yang terpendam. Banyak kesedihan dan kepedihan yang lalu, banyak kehilangan, kegagalan dan kematian. Saat saya kecil, setahun sekali kami menghabiskan saat liburan sekolah di rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri saya di kaki gunung Sumbing dan Sindhara. Begitu terpencil desanya, begitu indah namun penuh kesunyian dan kepiluan. Saat itu, sekeliling rumah Mbah di kaki bukit yang penuh dengan pohon kopi dan cengkeh. Aroma bunga kopi berbaur dengan harumnya mawar putih. Pagi-pagi yang dipenuhi kabut tebal saat satu persatu penduduk datang untuk menunaikan sholat Subuh di masjid di pojokan rumah Mbah. Setiap memandang gunung-gunung yang menjulang serasa sangat kecil diri ini. Serasa begitu fana dan sendiri.
  •  
  • Entah mengapa saya banyak menghabiskan waktu naik bis umum, entah itu angkot, kopaja, metro-mini, sampai patas AC. Saya angkat tangan dengan kemacetan Jakarta. Bahkan sampai saya bekerja, saya lebih memilih naik taksi daripada menyetir mobil sendiri. Mungkin karena saya suka melihat pemandangan dari balik jendela. Apalagi saat turun hujan. Saat sendiri, di antara gelapnya malam, karena saya biasanya pulang ke rumah di atas jam sebelas malam, saya seperti melihat bintang yang sama yang saya lihat saat saya kecil. Waktu terasa tiada. Begitu mudahnya bagiNya mengubah segala sesuatu, hidup, mati, peradaban, perubahan, yang bahkan sangat tak mungkin sekalipun bagi manusia bukanlah hal yang mustahil. Sering berlinangan air mata saya, saat teringat hal-hal yang fana. Saat teringat jatuh bangunnya seseorang. Begitu mudahnya seseorang kan terlupakan. Sementara waktu terus bergulir dan kehidupan terus berjalan sampai nanti datangnya hari terakhir.
  •  
  • Hujan entah itu hujan biasa atau hujan salju, dingin, sunyi dan kepiluan, rasanya sama seperti air mata yang mengalir saat mengalami kegetiran dalam kehidupan. Saat saya kecil, saya tak mengerti mengapa begitu sedihnya saya bila tinggal lebih dari tiga hari di tempat Mbah Kakung dan Mbah Putri saya. Desa yang sangat terpencil dan sunyi. Bahkan hingga kini desa itu belum tersentuh oleh modernisasi. Sayangnya penduduknya sudah berubah jauh tak lagi polos dan lugu  seperti dulu.
  •  
  • Kini saya merasa begitu kecil dan sendiri. Hanya ada diri ini dan diriNya. Bagai melihat sebuah film, kenangan dan memori lama datang satu persatu. Seperti pusaran waktu yang menyerap diri ini. Saya melihat kaleidoskop waktu. Saya saat kecil di atas kereta malam dari Gambir menuju Yogyakarta. Berjejalan manusia segala rupa memenuhi gerbong-gerbong kereta kelas ekonomi. Saya duduk di antara mereka. Di setiap perhentian, menyeruak masuk para pedagang asongan menjajakan dagangan, dari telur asin, pecel, minuman, rokok, hingga segala rupa. Saat kereta mendekati stasiun Purwokerto, ibu mulai membuka rantangan, membagi nasi, telur pindang, ayam goreng, empal, serta kering tempe bekal semua. Nikmat sekali rasanya. Ah, masa-masa yang telah berlalu, tak akan pernah kembali. Saat masih ada orang tua yang melindungi dan mengayomi. Hidup kita memang sangat fana.
  •  
  • Kini, saat bepergian sangat mudah mencari makanan, tak perlu lagi jauh-jauh membawa bekal makanan. Namun lucunya, suami dan anak-anak lebih suka bila saya membawa bekal makanan, atau sekedar membawa rice cooker, dan aneka pernak-pernik yang dapat dijadikan masakan sedap sekejap. Sayalah seorang ibu bagi anak-anak saya. Mungkin, jauh di lubuk hati mereka, mereka rasakan juga kesedihan dan kepiluan  seperti yang saya rasakan saat kecil? Kami jauh dari sanak keluarga, jauh sekali. Saat melahirkan ke dua anak saya, hanya ditemani suami saja. Seminggu setelah suami kembali kerja, kembalilah harus menangani sendiri semua pekerjaan rumah bersama si kecil. Mungkinkah seperti ini perasaan ibu saya, yang berpisah jauh dengan kakek dan nenek saya di usia sebelas tahun? Ibu saya menikah saat berusia  enam belas tahun (umur ktp, sebenarnya masih berusia lima belas tahun), untungnya sudah menyelesaikan sekolah menengah atas, jadi tak ada yang percaya kalau ibu saya masih di bawah umur.
  •  
    Tak disangka, saya kini terpisah jauh dari ibunda. Rasa rindu, dan pilu menyatu. Rekor lama berpisah sudah terpecahkan. Bila ibu saya bertemu kedua orang tuanya setelah sepuluh tahun, saya sudah memecahkan rekor itu. Ah, siapa sangka, waktu bergulir begitu cepat.
     
    Saya merasa diriNya begitu dekat, sangat dekat. CintaNya begitu indah, begitu dalam. Bertahun-tahun berlalu, begitu banyak kelalaian diri ini, namun begitupun hanya cinta dan cinta yang diberikanNya selalu. Berlinangan air mata saat teringat sekian lama waktu yang tersia. Banyak yang dapat dilakukan, namun banyak waktu yang terbuang.
     
    Wahai Sang Maha Pengasih
    Engkau lah Pencinta Terbesar di atas langit dan bumi
    Sesejuk pagi Kau mendinginkan hati-hati yang membenci
    Kau basahi lidah-dan hati kami dengan pujian akan kecintaanMu
     
    Duhai Sang Maha Penyayang dan Pengampun
    Tiadalah arti hidup kami yang hina dina ini Ya Rabb tanpa kasihMu
    Sementara kan terbentang dan tersiapkan Padang Makhsyar tuk hari terakhir nanti
    Saat wajah-wajah kami nanti kan termunculkan sesuai dengan amalan kami
     
    Di saat-saat seperti ini, tak ada yang dapat saya lakukan, kecuali berserah diri secara total kepadaNya. Bila manusia berlomba mendetoks diri dari racun raga, inilah saat mendetoks diri dari racun segala. Kehidupan akan terus bergulir, namun kita tak akan pernah tahu kemana dan bagaimana kehidupan akan berlanjut. Bagi seseorang yang paling berkesan mungkin saat dirinya mencapai berbagai keberhasilan, tetapi bukan bagi saya. Momen kehidupan yang paling berkesan adalah saat kehilangan, saat kejatuhan, saat kepedihan, saat terlenakan, saat diri ini hancur dan tak berdaya. Karena pada saat itulah, saat saya merasa berada dalam pelukanNya. Berkali-kali tak terhitung, hidup saya diselamatkanNya. Sekali lagi, berkali-kali lagi, saya diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
     
    Tak ada cinta yang sepedih  dan sepilu ini, seperti cintaMu Ya Rabb...
     
    Louisville
     
    Februari 2014
     
    Hani
     

    Sunday, February 2, 2014

    #25 Expiration Date for Friendship?

     
    Demam Cari Alumni
     
    Beberapa hari yang lalu, masih dalam suasana demam tahun baru, saya mengontak teman lama sewaktu studi di Jepang. Saat saya mengontak mereka, sayapun teringat dengan teman-teman dari berbagai bangsa yang mengikuti training di Jepang. Duh senangnya, saat satu persatu menemukan teman-teman lama!
     
    Ternyata waktu dan jarak yang memisahkan saya dan teman-teman tak menghapus kenangan manis saat kami bersama. Ternyata kenangan baik saja yang muncul dari memori. Alhamdulillah. Senang mengetahui banyak teman yang sudah berhasil dalam karir dan kehidupan. Meskipun banyak yang belum terup-date  datanya terkini, namun di balik sanubari terdalam terucap pengharapan agar mereka sehat selalu dan menjalani kehidupan sebaik-baiknya.
     
    Saya; Sepi dalam keramaian
     
    Bagi perantau seperti saya, dunia saya sangat kecil. Sehari-hari saya hanya bertemu dengan anak dan suami. Sesekali bertemu teman kuliah, sesekali bertemu orang saat belanja di supermarket, atau menyapa satpam di gedung kampus dan perpustakaan. Memori perantau terpantek saat terakhir bertemu atau berkunjung ke sesuatu tempat. Sementara waktu terus berputar, dan kitapun bergerak, berubah.
     
    Saat saya masuk SMP, saya terputus komunikasi dengan teman TK dan SD. Melanjutkan ke SMA, komunikasi saya terputus dengan teman SMP, kecuali dengan teman SMA dari SMP yang sama. Saat melanjutkan kuliah, saya bertemu kembali dengan teman baik dari TK sampai SMA.
     
    Namun, entah kenapa, saat kuliah, saya seperti terputus komunikasi dengan hampir semua teman yang ada. Saya sibuk antara kuliah, bekerja dan giliran menjaga adik yang bolak-balik dirawat lama di RS, sampai meninggalnya. Begitu terfokusnya saya dengan urusan sendiri, sampai-sampai saya tak terlalu memikirkan tentang indahnya masa kuliah. Akhirnya kelas saya selesaikan di tahun ke tiga, dan sambil menulis skripsi, saya bekerja di tahun keempat perkuliahan.
     
    Saya; Pertapa
     
    Dari satu waktu, ke waktu yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, saya hidup seperti pertapa. Bagaimana tidak? Selalu ada saja hal yang membuat saya jauh dari keramaian. Saya jadi teringat opini mereka yang anti sosmed, intinya punya teman satu tapi real lebih berharga dari punya teman sejuta tapi sosmed semua.
     
    Waduh! Teman real saya sekarang tak lebih dari jumlah jari jemari saya. Itupun biar sekota tak mudah untuk berjumpa. Saya bukan tukang ngobrol yang suka telpon-telponan, atau chatting atau berbalas texting.
     
    Saya; Facebook
     
    Teman di fb saya berubah jumlah tergantung suasana hati. Saya pernah punya kontak 2000 orang hanya untuk bisa naik level di Mafia War. Xixixi, saat itu sedang tarik tambang dengan suami supaya mendapat lampu hijau untuk kuliah lagi. Setahun lebih saya main MW, FV, dan 2-3 games yang ada di fb. Saat 'nge-game' saya sampai riset semua tips and tricknya, sampai dalam waktu 3 bulan level saya sudah menuju angka ribuan, sampai-sampai diadd oleh para suhu gamer. Xixixi, mungkin ada beberapa yang masih jadi kontak saya sekarang.
     
    Tarik tambang menghasilkan lampu hijau suami untuk kuliah! Cihui! Alhamdulillah. No Ph.D.! kata suami. KELAMAAN! Xixixi. Tapi, ada tapinya. Stop semua fb games, dan hapus semua kontak gamer. Oh lalala! Demi demikian, akhirnya saya pangkas habis semua kontak gamer, kecuali yang memang teman sekolah. Saya ndak sempat minta maaf, atau ba bi bu, lha gamer kan konsennya saat nge'game' kan. Ribet nanti kalau sudah masuk wilayah personal.
     
    Lalu sempat juga demam event ini atau event itu, ikut group ini dan group itu. Hasilnya, saya mungkin satu-satunya yang ndak bisa meet-up atau kopi darat dengan semua. Kembali deh, saya tetap jadi pertapa. Serasa dunia saya malah semakin menciut.
     
    Melanda deh yang namanya pemangkasan alias bersih-bersihan kontak di fb. Bukan sekali dua kali saya bebersih juga, terutama akun yang non-aktif, atau yang postingannya miring-miring. Eh, ternyata saya juga termasuk yang 'dipangkas' xixixi! Gubraks! Gak sekali dua kali, sering kali!
     
    Kalau yang memangkas saya memang ndak pernah kenal, ndak ada ilfil deh di hati. Tapiiiiii, kalau tahu yang memangkas nih temen kuliah dulu, atau tetangga pojok jalan yang sekarang dah jadi kaya raya, ternama dan super popular, rasanya gimana gitu! Bikin hati jadi bertanya-tanya, kenapa ya? Kita salah apa ya sama dia? Ooh, memang salah besar kok, pernah pinjam barang belum terkembalikan. Nah lo, bagaimana nih? Meskikah berulang kali meminta maaf sampai ybs rela memaafkan?
     
    Sering kali saya baca, kontak saya bebersih kontak yang ndak pernah menyapa, ndak pernah komen, ndak pernah kirim PM atau inbox message, atau ndak pernah chatting atau telpon langsung dengannya. Saat terbaca status itu, saya 'nyengir kuda' deh. Semua kategori itu klop sekali dengan saya! Saya ngelike yang pas kelihatan aja, jarang komen, jarang PM atau kirim inbox message, hampir ndak pernah chatting apalagi telpon langsung!
     
    Saat teringat teman-teman di Jepang, saya jadi terfikir. Bagaimana ya reaksi mereka setelah sekian lama tak ada kontak sama sekali. Maklum, saya bersekolah di sana sebelum masa sosmed ada. Untuk internetan saja masih pakai dial-up. Begitu kembali ke tanah air, baru mulai boomed warnet dan internet café, tapi ya itulah, babar blas hilang semua kontak. Ternyata, Allah Maha Pengasih dan Penyayang! Surprise! Very nice surprise! Serasa kembali muda lagi dan bernostalgia.
     
    Saya; Sosial Media
     
    Setiap kali saya pindah ke suatu tempat, ada saja kejadian yang membuat saya terputus hubungan dengan teman di tempat sebelumnya. Bagi saya yang bertapa di tengah keramaian, sosmed menjadi jendela dunia. Banyak orang-orang yang saya kenal, dulu, yang masih bisa saya baca statusnya atau saya lihat fotonya. Banyak saudara yang sudah puluhan tahun tak jumpa, bisa saling menyapa di sana. Banyak pula yang masih terus saling melihati tanpa komen dan pesan, kadang masih me'like', namun saya dapat merasakan ketulusan pengharapan untuk kebaikan.
     
    Buat saya, teman sekolah di manapun berada adalah teman. Teman bermain saat kecil sampai kini adalah teman. Teman mengaji di manapaun berada adalah teman. Teman menuntut ilmu, bahkan sampai hanya untuk belajar sebuah hal yang kecil dan remeh adalah teman.
     
    Teman yang saya peroleh dari dunia maya adalah teman, meskipun kadangkala ada fluktuasinya. Agaknya, buat kontak fb, pertemanan saya terbatas sampai saya dipangkas dari lingkaran teman nyata. Padahal sejujurnya, bila lingkaran teman nyata itu diterapkan dengan rigid, kontak saya hanyalah sebatas jari jemari saja. Dan lebih sejujurnya, saya bahkan jarang komen, menyapa, me'like' atau mengirim PM dan inbox message pada teman sekota saya sekarang! Jadi saya ini contoh murni dari kontak yang tak real, xixixi!
     
    Saya; Friendship
     
    Ada orang yang berkata bahwa kita harus selektif dalam berteman. Banyak teman di kelas saya sekarang yang berprinsip, sekelas belum berarti berteman. Sementara saat saya tinggal di Jakarta, dan di Tokyo serta Chiba, teman sekelas adalah teman meskipun kita tak pernah dekat, meskipun kita tak pernah jumpa, meskipun mungkin kita tak pernah tahu kehidupan pribadinya. Meskipun, mungkin kita tak mau menjadi kontak fbnya !
     
    So, bagi saya susah mengatakan bahwa friendship ada expiration datenya. Sekali menjadi teman, akankah terus menjadi teman? Insya Allah, selama masih terus berada di jalan kebenaran dan kebaikan utnuk dunia akherat. Semoga!
     
    By the way, mohon saya dimaafkan untuk semua kekhilafan lahir batin, baik yang pernah saya pangkas dari fb atau yang pernah memangkas saya dari fb, dan semua yang mengenal saya baik hanya nama, hanya cerita sampai yang benar real teman yang pernah jumpa. Saya bisa berkata tak ada expiration date for friendship!
     
    Louisville
    Februari 2014

    Hani

    For: Ida Ayu Mustika Dewi, Savitri Handayani, Anna Herlina dan Ratna Sari, we met in Worcester, MA. Love, you all!



    Sunday, January 5, 2014

    #24 Merawat Lansia=Kewajiban Anak?

     


    Dua tahun belakangan ini saya banyak bertemu dan mendampingi pasien segala umur. Namun, pasien lansia adalah mayoritas yang saya temui di kota kecil kami. Pertama kali mendapatkan teori tentang definisi lansia membuat saya tersenyum simpul sendiri. Ignatavicius membagi lansia dalam empat kategori:

    1. Lansia muda: usia 65-74 tahun

    2. Lansia menengah: usia 75-84 tahun

    3. Lansia tua: usia 85-99 tahun

    4. Lansia elit: usia 100 tahun ke atas. 

    Mengapa saya tersenyum? Karena saya bisa berkata pada Ibunda bahwa beliau belum 'tua"! Ya, ibu saya yang KTPnya setahun lebih tua dari usia aslinya (karena jadul, sekolah atau lurah enak saja memberikan tanggal lahir pada anak  :)) berusia 61 tahun.  

    Tinggal Bersama Orang Tua 

    Sebelum menikah, saya selalu tinggal bersama orang tua, kecuali saat saya studi atau training di luar negeri. Setelah menikah, saya keluar dari rumah orang tua, dan tinggallah kedua orang tua saya dan adik yang tinggal bersama orang tua sampai kini.

    Saat saya masih single, saya selalu berharap dapat tinggal bersebelahan dengan orang tua saya. Sayapun telah merencanakan agar saya, orang tua dan adik saya dapat tinggal bersebelahan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, jauh hari saya dan ayahanda membeli dua kapling tanah yang bersebelahan di daerah Sawangan, Bogor, tak jauh dari perumah ARCO Sawangan. Lokasinya sangat tak strategis 20 tahun yang lalu, namun dengan luas tanah 1000 meter persegi perkaplingnya kami fikir dapat dibangun tiga rumah mungil bagi kami dua bersaudara dan rumah masa tua ayah ibunda.

    Ternyata saat rencana tersebut belum terwujud, ayahanda sakit dan meninggal sebelum adik menikah. Saya sendiri tinggal jauh dari mereka berdua. Sejak ayah meninggal, ibunda sangat jauh berubah. Beliau sangat kehilangan ayah dari kesehariannya. Ibu seakan kehilangan motivasi hidupnya. Akhirnya pengurusan sertifikasi tanah kepunyaan ayah juga tertunda-tunda. 

    Kepala desa di daerah kapling yang kami beli rupanya juga meninggal tak lama setelah ayahanda meninggal. Tanpa sepengetahuan kami, anak-anak beliau yang bersengketa membuat surat tanah palsu dan menjual kepada orang lain. Sang pembeli yang kaya, langsung membuat sertifikat tanah atas namanya. Jadilah kami yang terkejut, saat mengajukan pembuatan sertifikat tanah, dijawab dengan pernyataan bahwa tanah tersebut sudah ada sertifikasinya atas nama orang lain! Hal ini tak akan terjadi di Amerika. Masalah pertanahan sangat teratur dan terbuka, dapat dimonitor dari manapun dan tak dapat dipalsukan semena-mena.

    Orang tua saya, sangat jarang terikat dengan materi. Setiap Ayahanda pindah, beliau menyerahkan begitu saja tanah, rumah atau milik pribadi kepada yang memerlukan, dan tak pernah mengingatnya atau sampai memintanya kembali. Hanya ketika kami sepakat untuk membangun rumah berdekatan, beliau tergerak untuk membeli kapling di sana.  Tanah  dan rumah lainnya beliau beli untuk membantu teman yang memerlukan biaya. Sebelumnya, saya dan ayahanda pernah juga membeli tanah dekat lokasi yang sama, karena ajakan teman pengajar di UI, namun akhirnya berbuntut sama, karena yang mengelola menjual kembali tanah kami ke orang lain. Ayahanda tak mengusutnya lebih lanjut, karena beliau mengenal ybs. Allah Maha Adil katanya sambil tersenyum, "Belum rezeki kita."

    Masya Allah sabarnya ayahanda dalam menangani banyak hal dalam kehidupannya, sehingga banyak orang yang berdatangan untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan persaudaraan sesama muslim. Kepala desa pemilik tanah asal juga salah satu tamu reguler kami dulu. Beliau sangat santun dan ramah, dan menepati janji. Namun, belasan anak dari berbagai istri yang ditinggalkannya ketika meninggal tak semuanya begitu. 

    Ibunda memutuskan melepas tangan dari haknya, selain saat itu masih dalam keadaan berduka, kondisi fisiknya juga drop. Apalagi pengacara yang bersedia membantu menggugat perkara meminta biaya yang tak kalah aduhainya. Jadilah ibu memutuskan menyerah dan kehilangan peninggalan almarhum Ayahanda. Alhamdulillah, beliau masih meninggalkan properti lain dan  biaya hidup yang cukup bagi Ibunda, sehingga Ibunda tak kekurangan. Saya hanya tertegun mendengarnya. Apalagi, ibu baru memberitahu saya setelah peristiwa berlalu. Andaikan saya ada di sisi ibu, minimal saya bisa berlari ke sana-sini mengurus pengembalian hak keluarga. Pelajaran bersabar yang luar biasa bagi ibu. 

    Sejak peristiwa itu saya bertekad untuk dapat tinggal dan merawat Ibunda. Suatu hal yang ironis, karena sampai detik ini saya masih tinggal ribuan mil jauhnya dari beliau. Begitu egoisnya keinginan saya untuk memastikan beliau dalam keadaan baik, sampai-sampai saya meminta adik untuk terus tinggal bersama Ibunda.

    Di Amerika 

    Saat saya datang ke Amerika, saya tinggal pertama kali di Maryland, di daerah kantong kota yang padat dengan imigran. Saya terheran-heran melihat banyaknya gereja di mana-mana, dan setiap hari Minggunya dipenuhi oleh para lansia. Setelah beberapa waktu barulah saya menyadari, bahwa meskipun apa yang saya lihat di film-film Hollywood tak selamanya refleksi dari kehidupan sehari-hari orang Amerika, namun benar, mayoritas penduduk mereka keluar dari rumah orang tua setelah usia 18 tahun atau setelah selesai SMA. 

    Saya saat itu tinggal di apartemen, dan banyak dari penghuni apartemen adalah lansia. Rupanya setelah pensiun mereka fikir tinggal di rumah besar hanya suami istri lansia membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk merawatnya. Jadilah mereka memilih menjual rumah mereka, tinggal di apartemen atau condo (apartemen yang merupakan milik sendiri). Saya sedih melihat para lansia tertatih-tatih berjalan dari atau ke apartemen mereka. Banyak yang masih menyupir kendaraan mereka sendiri. Saat ke supermarket, mereka selalu membawa kereta benjaan sendiri yang bisa dilipat. Saat itu saya merasa, kok anak-anak mereka tega, ya? 

    Setelah banyak berbincang dengan para lansia yang saya temui saat klinikal maupun saat bekerja, mereka mayoritas malah bangga dengan 'kesendirian' mereka. Tak jarang mereka memandang hubungan orang tua anak ala Asia terlalu memasuki daerah privasi masing-masing. Bahkan ada yang terang-terangan memberi selamat kepada saya yang memilih tinggal jauh dari orang tua. "Kau sekarang seperti orang Amerika umunya!" Mereka tak tahu apa sebenarnya yang ada di hati saya. 

    Dua tahun ini saya banyak melihat pasien lansia dengan segala komplikasi yang dideritanya. Ada juga yang sudah pikun dan tak mengenali keluarga mereka sendiri. Ada yang bahkan sampai tak tahu siapa dirinya lagi, tak dapat berjalan sendiri, tak dapat melihat, tak dapat mendengar, dan tak dapat makan selain makanan mekanikal (puree). 

    Setelah terjun langsung di lapangan, barulah saya tahu bahwa kebanyakan para lansia di Amerika tinggal di rumah mereka sendiri, baik itu rumah biasa atau apartemen/condo. Mereka baru ke rumah sakit bila sakit. Mereka berobat jalan ke dokter praktek, dan yang sudah tak bisa menyetir sendiri bisa mendapatkan fasilitas antar jemput ke dokter, supermarket, gereja atau ke tempat lainnya. Fasilitas ini diberikan oleh County atau dapat juga mereka dapatkan dari perusahaan swasta.  

    Bila mereka tak dapat lagi beraktifitas normal dalam kesehariannya, mereka dapat pindah dari rumah atau apartemen/condo ke Assisted Living. Assisted living ini berbeda dengan rumah jompo. Perusahaan yang mengelola tak hanya menyediakan perumahan, makanan, dan rekreasi, namun juga menyediakan sarana kebersihan/housekeeping, sampai sarana medis. Mahal? Tergantung tingkat sarana dan servis yang digunakan. Yang termurah dari kisaran 3500 dollar perbulan sampai 8000 dollar perbulannya. Lansia mendapatkan apartemen/kamar seperti studio, ada juga yang 1LDK (satu kamar tidur, living room, dining room, kitchen) atau 2LDK. Mereka masih dapat beraktifitas sebagaimana di rumah sendiri, namun mereka makan bersama di dining hall yang ada di setiap lantainya. Pegawai memastikan para lansia tersebut bangun tepat waktu, makan tepat waktu, meminum obat yang harus mereka konsumsi, mengikuti aktifitas yang disediakan institusi, hingga tidur tepat waktu pula. 

    Bila lansia tersebut mempunyai kondisi kesehatan yang kronis dan perlu pemantauan dan perawatan 24 jam seharinya, sementara tak ada keluarga yang sanggup mennagani karena berbagai hal, biasanya lansi ini dikirimkan ke panti jompo/Nursing Home. Di sini mereka ditempatkan di kamar-kamar persis seperti kamar inap rawat di rumah sakit. Pegawai di Nursing Home sebagian besar adalah perawat berlisensi. Selain mereka ada bagian kebersihan, bagian laundry, bagian makanan, bagian administrasi dan Pastoral. Biaya untuk nursing home jauh lebih mahal dari biaya di Assisted Living, karena ini seperti tinggal di rumah sakit secara permanen.  

    Bedanya, di sini para pasien harus makan di dining hall saat sarapan, makan siang dan makan malam. Mereka memepunyai beragam pilihan aktifitas juga. Namun kebanyakan penghuni Nursing Home ini juga menderita kepikunan/dimentia. Satu perawat bias menangani 8 sampai 12 lansia per shiftnya ( 8-12 jam). 

    Bagi lansia yang terkena dementia/kepikunan, ada Nursing Home khusus bagi orang pikun. Ini biayanya termahal dari semua pilihan yang ada. Bayangkan seperti ward/pavilion khusus di rumah sakit dengan penanganan intensif. Perawat menangani 3-5 orang lansia per shiftnya (8-12 jam). Biasanya lansia juga sudah dalam masa kritis, dan menanti ajal, sehingga merekapun dikunjungi oleh tim medis khusus untuk Hospice/perawatan menjelang ajal. 

    Bagi lansia yang sudah divonis ‘mati’ dan tak dapat disembuhkan secara medis oleh dokter, mereka berhak mendapatkan pelayanan Hospice karena ini adalah bagian dari sistem medis dan kesehtan di Amerika (Program Medicare/Medicaid). Jangka waktu pelayanan ini adalah selama setengah tahun, mereka akan mendapatkan kunjungan rutin baik dari asisten perawat, perawat, terapis, sampai dokter. Lansia dapat tetap tinggal di rumah mereka, atau di nursing home selama mendapatkan perawatan ini. Biayanya? Selama saat muda mereka bekerja, dan uang Social Security mereka mencapai lama tahun yang disyaratkan (minimal 8 tahun bekerja utnuk satu pekerjaan), maka mereka berhak mendapatkan uang Social Security. Sedangkan fasilitas Medicare/Medicaid ini tergantung  dari diagnosa dokter. Social worker dari rumah sakit yang akan mengurus pasien mendapatkan Medicare/Medicaid.

    Saat sendiri

    Saya tetap tak dapat mengubah prinsip saya bahwa kewajiban sayalah untuk merawat orang tua saya saat mereka tua.  Ayah saya meninggal di usia 64 tahun, belum masuk kategori manula menurut teori yang ada. Sementara Ibu saya masih 4 tahun lagi sampai memasuki usia lansia.

    Dengan perubahan pola kehidupan di Indonesia, termasuk di Jakarta, tak mudah lagi menemukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaan rumah seperti saat saya kecil dulu. Jangankan berfikir untuk membayar orang untuk merawat ibu, kini sangatlah sulit mencari pekerja asisten rumah tangga, atau baby sitter untuk keluarga adik. Akhirnya ibu saya banyak turun membantu dari menjaga cucu, memasak, hingga urusan merawat keluarga. Terbalik jadinya. 

    Saya teringat seorang lansia di sini yang punya dua putri yang tinggalnya ribuan mil dari dirinya. Ke dua putrinya bergantian mengunjungi sang ibu sekali sebulannya dan menjaga ibunya selama 3 sampai 5 hari. Sang ibu tinggal sendiri dan hanya didampingi oleh penjaga dari perusahaan yang dibayar oleh ke dua putrinya. Pertama melihat nenek ini, saya langsung teringat kepada ibu saya di Jakarta. Langsung saya berdoa, semoga saya dapat merawat langsung ibu saya di hari tuanya nanti. Saya juga berdoa, semoga saat saya lansia nanti tak menemui kondisi seperti nenek ini.
     
    Kedua putri nenek tersebut kaya raya, namun mereka bilang, mereka tak sanggup tinggal dengan ibu mereka sendiri karena tak tahan dengan perangai ibunda. Sang ibu yang mendekati usia 90 tahun sangat keukeuh dengan segala aturannya dan akan marah besar bila tak dituruti. Meskipun sudah sangat 'pelupa', namun mereka semua tak mau ibunya disebut pikun. Mereka memilih mengeluarkan puluhan ribu dollar sebulannya dengan tetap tinggal berjauhan. Saya sangat sedih melihatnya.

    Andaikan saya tua nanti, ingin saya tinggal berdekatan dengan anak-anak saya. Tak harus tinggal satu rumah, namun dekat dengan anak cucu. Pastinya ibu saya juga mengharapkan hal yang sama. Alhamdulillah, adik saya dan keluarganya berbesar hati bersedia tinggal dengan ibu. Tinggal dengan orang tua pasti penuh suka duka, pasti banyak privasi yang terlanggar, pasti diwarnai juga dengan konflik. Namun, sangat jauh lebih baik dari pada  keseharian sang nenek kaya yang anak-anaknya saja 'emoh' tinggal bersamanya. Meskipun setiap datang membawa hadiah dan bunga serta berbagai macam hal yang dianggap dapat membahagiakan sang ibu, tak ada yang lebih membahagiakannya lebih dari ketulusan kasih seorang anak yang dengan hormat dan santun merawat orang tua dengan tulus, menjaga rahasianya, menutupi aibnya, hingga berpisah dari dunia ini.

    Jadi lansia mesti dirawat anak atau dirawat negara? Sayangnya di Indonesia belum ada sistem kesehatan terpadu yang menjamin kesejahteraan penduduknya dari sebelum lahir sampai meninggalnya. Begitu sakit, habis terkuraslah semua tabungan dan harta benda yang dimiliki untuk membayar biaya medis. Seharusnyalah tidak sampai begitu. Saya tak hanya menantikan sistem kesehatan universal yang ideal  di Amerika, tetapi juga di Indonesia.

    Semoga di Jakarta kehidupan nafsi-nafsi tak mengubah para anak menjadi 'emoh' merawat orang tua masing-masing. 

    Hani
    Louisville 2014

    Friday, January 3, 2014

    #23 Resolusi Oh Resolusi 2014


    Selamat Tahun Baru 2014!
     
    Di hari ketiga di tahun 2014 ini, saya masih menikmati kebersamaan dengan keluarga dalam nuansa musim dingin yang penuh salju. Anak-anak masih menikmati winter break, suami sudah kembali bekerja sejak kemarin. Saya? Alhamdulillah, diberi kesempatan menengok balik waktu yang diberikan oleh sang Maha Pencipta.
     
    Semalam, kami sekeluarga pergi ke bioskop dekat rumah dan menonton Frozen, film animasi anak-anak yang masuk kategori PG. Menonton film di bioskop bukan hal yang istimewa buat anak-anak, tapi buat saya, ternyata sudah lama sekali tak saya lakukan. Terakhir kali saya menonton bersama anak-anak ternyata sudah lewat lima tahun yang lalu.
     
    Selama ini, saya selalu di rumah sendiri saat anak-anak dan suami menikmati 'movie time' mereka. Saat yang hanya 2-3 jam itu menjadi 'me time', saat-saat saya menikmati kesendirian dan kebanyakan saya gunakan untuk bebenah dan bebersih rumah yang selalu berantakan seperti kapal pecah!
     
    Filmnya khas film Disney dengan cerita prince dan princessnya, ada pangeran tampan yang ternyata hatinya tak setampan rupanya, ada troll, ada kekuatan sihir, dan ada pria biasa yang menjadi penyelamat, serta happy ending yang menyentuh.
     
    Tak terasa mata saya berembun saat kekuatan cinta mengalahkan kekuatan sihir. Betapa saya kehilangan kebersamaan dengan anak-anak selama ini!
     
    Tanpa saya sadari, saya telah melabeli diri dengan Big Sign Board "GIVE ME TIME'! Meskipun saya bukan pecandu film di bioskop, ternyata saat duduk di samping anak-anak, saya jadi teringat kembali, "Oh, si kecil sangat menikmati film ini!" "Oh, si sulung yang selalu bersikap matang ternyata masih anak-anak."
     
    Tahun 2013
     
    Tahun 2013 adalah tahun penuh percobaan bagi kami. Banyak hal yang terjadi. Banyak hal-hal dilematik yang terjadi bersamaan yang membuat kami kehilangan kesempatan untuk dapat bersapa ria dengan tetangga, teman dan bahkan keluarga. Sampai-sampai dengan penuh rasa malu, saya tak dapat mengikuti Muktamar IMSA 2013 yang diselenggarakan di kota kami. Bukan itu saja, untuk bertemu dengan sesama teman dari Indonesiapun jadi sangat terbatas. Rencana berhalal bihalal sejak sebelum Ramadhan terus terundur sampai-sampai baru terrealisasi di akhir bulan Desember!
     
    Anak kami yang sulung selama tahun 2013 mengalami komplikasi reaksi lambat dari terapi yang diterimanya selama bayi. Alhasil, saya dan suami kelabakan mengatur waktu yang sudah sangat terbatas. Setiap dua hari dalam seminggu, biasanya Senin-Kamis atau Selasa-Jumat, kami harus membawanya ke rumah sakit untuk periksa darah dan periksa dokter ke klinik khusus di rumah sakit. Jam 7 pagi kami sudah harus menanti di depan antrian registrasi dan bergegas membawanya pulang untuk mengantarkannya ke sekolah. Lalu jam setengah 3 sore sudah harus siap menjemputnya dari sekolah untuk membawanya ke rumah sakit.
     
    Sebenarnya ini hal yang sangat biasa. Namun, kami masih punya satu anak lagi yang pagi-pagi masih harus dibantu untuk bangun dan bersiap pergi ke sekolah, dan sore harinya masih harus dijemput dari perhentian bis sekolah karena belum boleh turun dari bis sendiri sampai dia mencapai kelas 3. Jadwal suami dan sayapun sangat beragam setiap harinya. Kadang suami sudah harus ada di tempat kerjanya sebelum jam 7 pagi dan pulang setelah jam 6 sore, sehingga sayalah yang kebagian jatah antar jemput dan membawa si sulung ke rumah sakit, sekaligus dengan membawa si kecil juga.
     
    "Begitu aja kok ribet sih?" eh, ada aja yang celetuk begitu!  Saya sudah tutup kuping kiri kanan sambil terus berdoa. Tahun 2013 adalah masa kritis kesehatan anak kami, juga masa kritis keseharian kami sekeluarga. Suami mengalami banyak hal dilematik dalam fase hidupnya. Selama ini beliau sangat antusias pada suatu hal. Rupanya, memasuki usia sekarang, ada hal lain yang menarik hatinya. Namun tak mudah menentukan pilihan.
     
    Sementara saya sendiri dalam masa peralihan profesi. Setelah 11 tahun menjadi ibu rumah tangga 'saja', akhirnya mencoba memulai bekerja paruh waktu dan kembali ke bangku kuliah. Sistem kuliah yang saya ikuti ternyata sangat intensif dan kompetitif. Siapa sangka program yang saya ambil ternyata tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi dari program sarjana 4 tahun? Saya mengambil program diploma dua tahun untuk menjadi tenaga medis. Satu profesi yang memungkinkan buat saya bila menetap di kota kami sekarang. Tinggal di kota kecil membawa resiko lapangan pekerjaan juga tak sebanyak di kota besar. Faktor utama adalah keinginan saya untuk dapat bekerja dengan suami sekaligus dapat merawat anak kami dengan lebih baik.
     
    Tapi dengan 24 jam sehari dan 7 hari dalam satu minggu, rasanya saya sangat minus waktu! Dua hari saya gunakan untuk klinikal di rumah sakit untuk shift 12 jam, dengan kelas yang full seharian, dan kerja paruh waktu 12 jam,  serta 2 hari untuk si sulung ke rumah sakit, sementara hari Minggu satu-satunya hari saya dapat membawa anak-anak ke klub Renang dan olahraga mereka. Saya sudah seperti setrikaan yang bolak-balik dari Down-town ke area rumah bisa bolak-bolak sampai 8 kali seharinya melalui tempat yang sama! Alhamdulillah, selama tahun 2013, saya tak menemui masalah di jalan.
     
    Jangan tanya soal tidur! Satu-satunya waktu untuk belajar adalah saat semua sudah tidur :) Jadilah setiap hari saya tidur 3-4 jam saja, dengan tidur sekitar jam 2 pagi dan bangun setelah jam 5-6. Sangat tidak dianjurkan bagi siapapun! Setiap hari serasa zombie gentayangan. Rasa capek sudah terlewatkan berganti dengan rasa tegang, bagaimana bila tak dapat menghandle semuanya? Setiap pagi yang tadinya semua mendapatkan sarapan hangat kahirnya tergantikan dengan cereal dan oatmeal saja. Tadinya semua membawa bento untuk lunch, jadinya hanya membawa sandwich plus buah. Makan malampun yang masih selalu fresh from the pan, jadi berkurang variasinya.
     
    Suami sampai geleng-geleng kepala. "Saya ndak nyangka program yang kau ambil sesulit ini, kalau saja saya tahu, lebih baik kau ambil program Master saja di jurusan lain, Psikologi atau Pendidikan," katanya sambil melihat buku ajar dan semua materi  online yang harus diselesaikan setiap harinya. Ternyata teman sekelas hampir semuanya menghadapi hal yang sama. Entah karena jaim atau karena tak mau orang lain tahu, banyak teman di kelas yang 'pura-pura' lulus ujian, sampai di akhir semester mereka buka kartu kalau selama ini tertinggal dan terpaksa harus tinggal kelas atau keluar dari program.
     
    Tahun 2014
     
    Alhamdulillah tahun 2013 sudah berlalu. Meskipun terasa sangat sulit, namun semua dilemma telah terlalui. Alhamdulillah, saya sudah masuk di semester terakhir. Suami masih mempunyai beberapa pilihan yang mau tak mau harus dipilihnya dalam beberapa bulan ke depan. Anak sulung kami harus mengulang terapi, namun Alhamdulillah, kondisinya jauh lebih baik dari tahun 2013. Si kecil menjadi jauh lebih termotivasi untuk belajar, setelah mendapat beberapa sertifikat Distinguished dari Kepala Sekolahnya :) Meskipun kami tak memasalahkan mereka jadi Honor Roll atau Student of the Month, tapi melihat wajah-wajah senang mereka saat memberikan sertifikat tersebut membuat kami sangat bersyukur, "Alhamdulillah, Kau berikan titipan anak-anak yang menyenangkan hati kami, membuat kami tersenyum dan memujiMu."
     
    Resolusi?
     
    Beberapa hari ini, saya membuka tulisan lama. Eh, lucu juga ya :) Ternyata saya 8 tahun yang lalu saya sangat produktif menulis. Tak semua tulisan saya publish di blog saya, yang saat itu ada di Multiply. Ada beberapa tulisan yang masih saya simpan di blog lain, namun entah kenapa, saya tak urus secara teratur.
     
    Duh, malu deh rasanya. Dibanding saya delapan tahun lalu, ternyata saya sekarang sangat terbelakang. Delapan tahun yang lalu, saya sangat bersahaja, berapi-api, dan sangat rajin membaca!Delapan tahun yang lalu, saya bahkan sempat belajar berbagai macam hal, dari art-craft, sampai belajar mengaji. Saya juga ternyata sangat rajin bebersih, berbenah dan masih rajin olahraga.
     
    Sekarang? Awww...perlu banyak perbaikan. Saya merasa diri lebih lamban dalam segala hal, lebih tak sensitif  dalam banyak hal, lebih 'ndablek' dalam memprioritaskan urusan pribadi dan keluarga daripada urusan ummah, dan lebih dekat dengan keluarga.
     
    Delapan tahun yang lalu, saya sangat rajin menelaah berbagai buku dan teori, sekarang saya lebih mencoba mendengar suara badan dan suara hati.
     
    Resolusi 2014? Lebih baik saya lakukan saja langsung apa yang saya bisa dan saya anggap bisa diteruskan dalam keseharian saya selanjutnya. Kita tak akan pernah tahu sampai kapan jatah umur kita di dunia ini. Selama masih ada nyawa di kandung badan, selama itu kita diberi kesempatan olehNya untuk bertaubat dan beramal yang baik. Insya Allah. Mengembalikan semuanya karena Allah, hanya untuk Allah dan hanya untuk mencapai keridlaanNya. Insya Allah. Mohon dimaafkan segala kesalahan saya dan keluarga selama ini.
     
    Niat dari diri untuk hidup lebih baik dari kemarin. Lillahi ta'ala. "Never put up until tomorrow what you can do today!"
     
    Hani
    Louisville, 2014
     
     

    Thursday, October 28, 2010

    #22 Dari Mana Datangnya Cinta?


    2

    Ada sebait lagu tahun 70-an mengenai cinta :Dari mana datangnya cinta kalau bukan darilah rasa
    Dari mana hati tersentuh kalau bukan karenamu
    Oh dirimu kasihku kasih sayangku kau memikat hatiku


    Benarkah cinta berasal dari rasa seperti bait lagu di atas, atau berasal dari mata dan hati seperti pantun lama yang masih membekas di kepala :

    Dari mana datangnya lintah
    Dari sawah turun ke kali
    Dari mana datangnya cinta
    Dari mata turun ke hati


    Sebenarnya proses apa yang terjadi pada seseorang sehingga ia merasa jatuh cinta ? Benarnya hanya ada satu cinta bagi setiap orang ? Benarkah ada cinta sejati yang setia hanya pada satu orang sampai mati ?

    I. Cinta dan Jatuh Cinta

    Sepanjang sejarah manusia, diyakini bahwa HATI adalah pusat dari perasaan cinta. Namun para peneliti sains menyatakan bahwa cinta seluruhnya berada di PIKIRAN dan OTAK manusia, dan dipicu oleh zat/senyawa kimia. Sebagian besar mekanisme kontrol /perintah terhadap emosi/perasaan kita bersumber dari neurotransmitter. Neurotransmitter adalah zat /senyawa kimia yang menjadi aktif begitu sel-sel syaraf berhubungan satu sama lain. Ada tidaknya jumlah tertentu dari neurotransmitter pada tempat penerima di akhir jalur syaraf yang akan mengatur timbulnya berbagai macam emosi /perasaan pada diri manusia.

    Ada bebarapa tahapan komunikasi antar lawan jenis hingga sepasang laki-laki dan perempuan merasa tertarik satu sama lain hingga mereka merasa jatuh cinta. Secara alami, manusia dan binatang melepaskan sejumlah senyawa kimia biologis ke dalam air mata, air liur dan keringat. Aroma atau bau/wewangian alami (feromon) di dalamnya mengirimkan sinyal-sinyal yang berhubungan dengan mood, status, rangsangan/ keinginan, dan kesehatan laki-laki kepada pikiran bawah sadar perempuan. Sehingga semakin kuat daya tarik feromon seorang laki-laki,akan semakin banyak perempuan yang tertarik kepadanya. Teori ini dibuktikan di dunia binatang, di mana feromon dapat dideteksi dalam jarak yang cukup jauh dan menggantikan komunikasi verbal. Feromon pada binatang membantu mereka menandai daerah kekuasaan, mengenali pasangan lawan jenis,dan untuk memberikan sinyal ketertarikan seksual.

    Pada saat laki-laki dan perempuan tertarik secara seksual satu dengan lainnya, masing-masing akan merasakan suatu percepatan aliran dari zat/senyawa kimia syaraf yang menyerupai adrenalin. PEA atau phenylethilamine (feniletilamin) adalah suatu zat/senyawa kimia yang mempercepat aliran informasi antara sel-sel syaraf. PEA inilah yang melepaskan dopamine yang membuat kita merasa nyaman. Sementara secara bersamaan, norepinephrine (sejenis amphetamine) menstimulasi peningkatan produksi adrenalin. Inilah yang membuat jantung kita berdebar-debar.

    Kombinasi dari dopamine, norepinephrine dan phenylethylamine inilah yang memberikan rasa jatuh cinta atau mabuk kepayang pada pasangan yang saling tertarik secara seksual satu dengan lainnya. Peningkatan aliran ketiga zat /senyawa kimia ini membuat orang yang sedang jatuh cinta dapat mengalami muka yang memerah, telapak tangan yang berkeringat dan nafas yang menyesak. Inilah alasan mengapa pasangan yang baru jatuh cinta merasakan euphoria dan sangat energik, juga merasa melayang. Karena gabungan ketiga zat/senyawa kimia inilah pasangan yang baru jatuh cinta dapat bercinta berjam-jam dan berbicara tanpa henti sepanjang malam selama berminggu-minggu.

    II. Mengapa Jatuh Cinta Pada Orang Tertentu ?

    Banyak alasan yang dikemukakan bila kita bertanya pada seseorang mengapa ia jatuh cinta pada seseorang tertentu. Sudah kita ketahui bahwa manusia sama seperti hewan, melepaskan aroma pheromon (feromon) yang akan menarik lawan jenisnya. Dari penelitian ternyata jenis kelamin perempuanlah yang sebenarnya memilih pasangan mereka melalui penyeleksian aroma pheromon yang mereka baui, bukan jenis kelamin laki-laki. Laki-laki lebih memfokuskan pemilihan pada daya tarik seksual secara visual, yaitu apa yang dapat mereka lihat pada tampilan fisik perempuan.

    Perempuan pada awalnya tertarik pada laki-laki tertentu secara visual pula, juga karena kecocokan di antara keduanya. Namun begitu mereka menjadi lebih akrab, bau/aroma inilah yang menjadi faktor penentu. Pendapat ini dikemukakan oleh Rachel Herz Ph.D.dari Brown University, yang meneliti dan memperdalam studi mengenai « Smell and Behavior ».

    Secara sosiobiologis, seleksi aroma pheromone ini dilakukan oleh perempuan untuk mencari pasangan yang kompatibel secara genetis, sehingga dapat menurunkan anak-anak yang sehat. Manusia mempunyai odorprints yang jelas berbeda satu orang dengan yang lainnya seperti fingerprints. Aroma pheromone ini dapat memberikan sinyal khusus kepada perempuan bahwa seorang laki-laki cocok secara genetik dengannya, namun berbeda secara genetik bila ingin mendapatkan anak-anak yang sehat.

    Apa yang terjadi di dalam pikiran dan otak kita, bila kita jatuh cinta pada orang tertentu? Menurut Harville Hendrix, kita merasakan jatuh cinta bila ada tumpukan PEA (phenilethylamine) dalam jumlah tertentu di dalam otak, dan kita terutama akan menumpuk PEA di otak kita bila kita menemui:

    1. Orang yang dapat menyelesaikan masalah kita di masa kanak- kanak
    2. Orang yang dapat memberikan apa yang kita rasakan hilang seiring dengan proses sosialisasi pendewasaan diri.


    Para bujangan seringkali memberikan persyaratan-persyaratan mengenai kualitas seseorang yang mereka ingin dapatkan dari pasangannya, seperti: kejujuran, alim, kesetiaan, sense of humor, intelejen, hangat ,dll. Namun begitu orang yang memenuhi semua persyaratan itu muncul, seringkali mereka hanya mengatakan “tidak ada rasa apa-apa”. Tidak ada getaran cinta.

    Sayangnya, kita merasakan getaran cinta pada orang-orang yang mengingatkan kita kembali pada saat-saat masa kecil kita, yang menyebabkan adanya tumpukan PEA di otak kita.

    III. Love Junkies

    Ada orang-orang tertentu yang begitu tergantung pada adanya getaran cinta ini yang membuat mereka disebut Love Junkies. Mereka selalu membutuhkan getaran cinta dan mabuk kepayang yang membuat mereka berada di awing-awang. Begitu aliran adrenalinnya menurun (bervariasi antara 6 bulan hingga 3 tahun), hubungan percintaan dari orang-orang yang menjadi Love Junkies ini menjadi berantakan. Psikolog Dorothy Tennov mempunyai pendapat lain mengenai durasi getaran cinta ini yang menurutnya berkisar antara 18 bulan sampai 3 tahun. Ini didukung oleh John Money.

    Hubungan percintaan yang berantakan ini membuat mereka sangat down dan membutuhkan lebih banyak rangsangan untuk mencapai getaran cinta. Mereka membuat diri mereka ketagihan akan cinta. Semakin sering mereka patah hati dan mencari cinta yang baru untuk mengobati patah hati mereka, semakin tinggi zat/senyawa kimia syaraf yang dibutuhkan untuk merasakan kebahagiaan cinta.
    Banyak orang dewasa yang menjadi love junkies, dan melewati banyak percintaan yang kandas setelah getaran cinta menghilang. Seringkali, para love junkies ini bisa bertahan di dalam suatu perkawinan, namun mereka kerap tergoda untuk melakukan affair yang dapat membuat diri mereka merasa di awing-awang.

    IV. Tahapan-tahapan Menuju Cinta

    Bila sepasang laki-laki dan perempuan saling jatuh cinta, secara psikologis ada tahapan-tahapan yang dilalui oleh ke duanya. Tahapan –tahapan ini adalah bagian dari strategi seksual manusia dalam menemukan pasangan masing-masing, dan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Namun,keseluruhannya menampakkan suatu pola tertentu terutama di dalam pencarian pasangan, cinta dan perkawinan.

    Di dalam bukunya, Anatomy of Love : the Natural History of Monogamy, Adultery and Divorce, Helen E. Fischer memaparkan step-by step seseorang memulai ritual pencarian pasangan ini hingga fenomena cinta, perkawinan, penyelewengan dan perceraian ditinjau dari sudut psikologis.
    Tahapan-tahapan itu a.l:

    1. Tahapan saling menggoda dan mencari perhatian

    Tahapan paling awal dari ritual pencarian pasangan hidup. Taktik ini dilakukan baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan, baik secara disadari maupun secara tidak disadarinya. Ada perbedaan antara ekspresi menggoda yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan.

    Pada perempuan, ia akan tersenyum kepada lawan jenis yang memikat hatinya, mengangkat alisnya dan membuka matanya lebar-lebar saat memandangnya, namun segera membuang muka. Kadang ia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, lalu tertawa kecil di balik telapak tangan nya. Gesture menggoda ini menurut Eibl-Eibesfeldt adalah sinyal ketertarikan secara seksual.

    Sementara pada laki-laki, ia akan membusungkan dadanya entah dengan berbagai cara. Pernahkah melihat seseorang laki-laki berjalan dengan menegakkan tubuhnya dan membusungkan dadanya ketika melalui seorang perempuan yang menarik hatinya? Inilah sinyal dari sang laki-laki bahwa ia tertarik pada sang perempuan.

    2. Tahapan saling memandang dan mencari kecocokan

    Tahapan selanjutnya, di mana laki-laki dan perempuan bicara dengan bahasa mata. Kontak mata ini memiliki efek langsung yang segera mendapatkan jawaban, apakah mendekati atau mundur. Seringkali seseorang yang mendapatkan tatapan dari orang yang tertarik kepadanya menjadi salah tingkah karena tidak tahu mau berbuat apa selanjutnya. Ada yang pura-pura membuang muka, menjadi gelisah,ada yang membetulkan kaca mata, ada yang mengusap telinga atau hidung, sebelum menentukan untuk pergi menjauh atau tetap di tempat dan meneruskan ritual.

    Laki-laki biasanya yang akan mendekati perempuan, saling bertukar pandangan sambil membuka percakapan. Kecocokan di antara keduanya yang akan membawa mereka kepada tahapan selanjutnya.
    Pada tahapan inilah aroma tubuh seseorang akan berpengaruh pada pemilihan pasangan.

    Secara alami, perempuanlah yang lebih menfokuskan pada aroma pheromone yang mereka tangkap dalam penyeleksian pasangan. Namun banyak pula bangsa yang sangat sensitif dengan aroma tubuh ini, seperti bangsa Jepang, dan bangsa lain yang menganggap bahwa aroma tubuh lebih merupakan suatu ancaman daripada suatu daya tarik. Beberapa peneliti berfikir bahwa bangsa Jepang sangat terganggu dengan aroma alami tubuh karena budaya mereka yang lama mempraktekkan pernikahan perjodohan (arranged marriage).

    3. Tahapan menentukan pasangan

    Menurut seksolog John Money, kita tertarik pada orang tertentu, karena peta cinta yang kita miliki, yang berbeda satu dengan lainnya. Peta cinta di dalam otak inilah yang terpeta di dalam sirkuit otak dan menentukan apa-apa yang membuat kita tertarik secara seksual, apa yang membuat kita jatuh cinta pada orang tertentu.

    Meskipun standar seks appeal/ketertarikan seksual dari satu bangsa ke bangsa lain berbeda, namun bila ditarik persamaannya, baik laki-laki maupun perempuan tertarik kepada mereka yang berwajah bersih. Sementara, laki-laki menyukai perempuan yang moleg, dan berpinggul daripada yang kurus. Kesimpulannya, penampilan adalah faktor penting.

    4. Tahapan pernikahan

    Manusia menikah dipercayai terutama untuk meneruskan keturunan. Sebagaimana essayist abad 16 Perancis Montaigne menyimpulkan:

    Kita tidak menikah untuk diri kita sendiri, kita menikah lebih banyak untuk keturunan kita.

    V. Apakah Manusia Monogamis?


    Ternyata dibandingkan dengan binatang mammal/menyusui lainnya yang tidak monogamis, manusia cenderung monogamis. Pada masyarakat yang mengizinkan poligini(poligami/poliandri), hanya 5-10 % dari mereka yang mempunyai pasangan lebih dari satu.

    Meskipun cenderung monogamis, namun manusia mempunyai kecenderungan untuk tergoda dengan perselingkuhan. Bisakah kita mempertahankan hubungan percintaan kita meskipun telah melewati tahapan getaran cinta?

    Pada banyak pasangan yang telah mencapai tahapan hilangnya getaran cinta, zat/senyawa kimia yang lain yang bernama endorphins yang akan berfungsi di dalam hubungan percintaan mereka. Efek dari endorphins yang memberikan rasa tenang, keyakinan terhadap keintiman, kepercayaan, kehangatan dan sharing pengalaman. Efeknya tidak semeluap-luap dan ekstrim seperti PEA, namun jauh lebih stabil dan lebih adiktif. Semakin lama sepasang laki-laki dan perempuan menikah, semakin besar kemungkinan mereka akan terus terikat dalam pernikahan.

    Bila ada konflik dan perpisahan, sampai terjadi perceraian, penyebabnya sangat bervariasi, terutama karena tidak adanya keharmonisan dalam hubungan suami istri. Dari tiga alasan utama mengapa terjadi perceraian, perselingkuhan adalah penyebab terbanyak, sterilitas dan kemandulan adalah penyebab ke dua, dan kekerasan di dalam rumah tangga adalah penyebab ke tiga terbanyak.

    Kesimpulannya: Selama kita telah mencapai tahapan pernikahan dan mampu menjaga integritas dan kelurusan serta kesetiaan di dalam rumah tangga, semakin lama tarikh pernikahan akan semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan pernikahan yang langgeng.

    Bagi yang belum mendapatkan pasangan hidup, waspadalah terhadap Love Junkies, jangan sampai tidak mengetahui latar belakang calon pendamping dan akhirnya berurusan dengan naik-turunnya adrenalin calon pasangan yang akan mengancam langgengnya hubungan dan pernikahan kelak. Tapi, siapa tahu malah ada yang tertantang dengan Love Junkies ini! Yang jelas, di tangan perempuanlah sebenarnya terletak pilihan terhadap siapa yang akan menjadi pasangan mereka, bukan di tangan laki-laki. Meskipun dalam melanggengkan pernikahan tetap harus merupakan kerjasama keduanya. Secara ilmu manusia ternyata lebih monogamis daripada species mammal lainnya.

    Louisville, 2005

    Check:
    1. Psychology Today: The Biology of Attraction
    2. Readers Digest May 2005: Follow Your Nose
    3. What is Chemistry in Love Relationship
    4. Biology 202;What’s Love Got To Do With It?

    #21 Berhasil di Sekolah VS Berhasil Dalam Hidup

     
     
     

    Sekolah sangat mahal di Indonesia. Ini adalah suatu realita yang kontradiktif dengan segala yang kita harapkan dan impikan selama ini. Susah payah kedua orang tua kita membesarkan dan mendidik kita, agar kita-kita mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan kehidupan beliau-beliau.
    Ternyata semakin tinggi taraf pendidikan dan taraf kehidupan semakin naik pula biaya yang harus disediakan untuk dapat mengenyam segala fasilitas dan kenyamanan yang tersedia. 
    Sudah bukan berita baru lagi bila dikabarkan sekolah favorit A mensyaratkan dua digit juta rupiah bila kita ingin memasukkan anak ke sana. Sementara menjamur puluhan, ratusan, ribuan sekolah lain yang tidak segan-segan mematok harga menjulang langit untuk memberi 1 tempat bagi buah hati kita.
    Bila mereka yang jelas-jelas tak mampu berkompetisi hanya bisa mengurut dada dan mensyukuri apapun yang dapat mereka raih. Banyak pula di antara mereka yang tidak dapat mempunyai keinginan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah favorit/mahal. Sementara, sekolah negeri 'tak favorit'pun sekarang semakin banyak mematok uang sumbangan. Kemana lagi para orang tua ini mesti berpaling? 
    "Ya Mbak....anak tante kan nggak pinter-pinter amat, sudah UMPTN gagal, masuk ke PT swasta mahal.....eh disuruh kursus nggak mau...maluu katanya...". "Masuk program Diploma...gengsi...akhirnya ya...cuma ubak-ubek ke sana kemari sama temennya...tuh."
    Saya teringat kata-kata orang tua teman SD saya, dulu. Teman saya, akhirnya masih bergantung kepada orang tuanya hingga kini. Satu-satunya kebanggaannya, 'menyetir mobil', hal yang sangat 'keren' masa-masa SMA, akhirnya yang menjadikannya sumber mata pencariannya. Itupun seringkali mogok, karena menjadi supir pribadi 'orang kaya' tidak bisa dijadikan penghasilan tetap dengan mentalitas dirinya yang masih merasa sebagai'orang kaya' karena orang tuanya yang kaya. 
    Orang tua teman saya adalah produk yang melihat keberhasilan seseorang dari bebet, bibit bobot. Beliau pun mencari menantu yang minimal masih mempunyai gelar ningrat, yang pekerjaannya minimal insinyur atau dokter, yang orangnya cantik ganteng. Jadilah, teman saya ini selalu menolak tawaran pekerjaan yang menurutnya 'tidak bobot, bibit, bebet'. 
    Sementara ada temannya sesama lulusan SMA dulu yang sama-sama ditawari pekerjaan untuk menjadi detailer obat, dan mengambil tawaran menjadi detailer perusahaan Farmasi, sekarang sudah berkeluarga mapan, dapat menyelesaikan Sarjana Ekonominya di sebuah Universitas Negeri Extension, sudah beralih posisi dari detailer menjadi posisi eksekutif di bagian marketing perusahaan yang sama. Padahal dua-duanya berangkat dari lulusan SMA dengan nilai yang biasa-biasa saja. 
    Satu teman saya masih menikmati kebebasannya, tanpa pekerjaan, masih melajang, dan masih bergantung sepenuhnya kepada orang tua. Sementara temannya yang sama-sama ditawari pekerjaan yang 'dianggap'nya rendah, mengambil tawaran tersebut dan penuh ketekunan dan dedikasi sehingga sekarang mulai menikmati buah kerja kerasnya. Manakah yang lebih berhasil di dalam hidupnya?
    Seringkali kita mendengar keluh kesah orang tua bahwa anak-anak mereka tidak cemerlang di dalam studinya. Seringkali juga kita dengar pomeo bahwa bila tidak berhasil dalam studi berarti sudah kehilangan satu anak tangga menuju keberhasilan hidup. 
    Apa benar bila kita berhasil di dalam studi akan banyak mempengaruhi keberhasilan kita di dalam kehidupan? Ini adalah suatu tema yang abadi dari perdebatan banyak para ahli. Apa sebenarnya parameter keberhasilan dan kesuksesan di dalam hidup? 
    Secara reliji, seringkali di dalam doa-doa yang muncul adalah permohonan dan harapan agar diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, lebih detail lagi dengan perinciian, umur panjang yang penuh berkah dan manfaat bagi semua, penuh kesehatan, dimudahkan dan dilancarkan dalam segala hal, diberikan kehidupan penuh kedamaian dan kemudahan, rezeki yang mengalir berlimpah tak putus, diberikan ilmu yang penuh manfaat, dibebaskan dari kesempitan, ketakutan, kemiskinan, kelaparan dan bencana, dan lain seterusnya. 
    Tidak ada di dalam doa-doa permohonan untuk dijadikan orang bertitel dan menjadi orang jenius. Kenyataannya memang keberhasilan dalam studi tidak menjamin bahwa ybs akan otomatis berhasil di dalam kehidupannya. Hanya saja, memang, keberhasilan di dalam studi bisa menjadi satu faktor yang membuat seseorang menjadi berhasil di dalam kehidupan, meskipun hal ini tidaklah mutlak. Tidak sedikit orang yang tidak menuntaskan jenjang studi formalnya yang berhasil menjadi pengusaha besar. Sebut saja Bill Gates, atau pencipta Apple, atau banyak lagi sederetan nama baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Kalau kita melihat sekeliling pastinya akan banyak kita temui orang-orang yang sukses tanpa sederetan gelar-gelar pendidikan tinggi. 
    Namun untuk di Indonesia, kelihatannya mayoritas orang masih melihat titel ataupun gelar-gelar yang disandang oleh seseorang dalam menentukan keberhasilan seseorang. Sehingga tak jarang ada orang yang setelah mampu secara ekonomi berusaha meraih gelar-gelar tersebut dengan segala cara, hingga membeli gelar.
     Di satu sisi, ini merupakan satu faktor yang menggembirakan untuk para praktisi akademisi. Ladang yang subur untuk meraup emas-berlian adalah BISNIS PENDIDIKAN. Berarti ini masa depan yang gemilang dan menjanjikan bagi mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan secara profesional. Di sisi lain, menimbulkan kompetisi baik sehat maupun tidak sehat bagi bangsa Indonesia di dalam meraih gelar-gelar pendidikan tinggi.
    Saya sendiri mengalami saat-saat melihat perjuangan banyak orang untuk mengubah taraf kehidupan dan penghidupan mereka melalui pendidikan. Tak segan-segan banyak orang mengeluarkan uang berjuta-juta demi mendapatkan seberkas sertifikat/ijazah. Namun sayangnya, jarang ada di antara mereka yang murni belajar 'hanya' sekedar untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
    Walaupu banyak yang mendengungkan pentingnya EQ yang balans dengan IQ, selama ini yang saya temui adalah teman-teman atau orang-orang yang saya kenal yang berhasil di dalam studinya adalah mereka pula yang berhasil di dalam kehidupan. Hal ini memang kadang menimbulkan kecemburuan, dan iri hati. Benarkah mereka yang berhasil dalam studi sekaligus mereka mempunyai balans EQ dan IQnya? Sementara kita meyakini bahwa Allah SWT Sangat Maha Adil terhadap semua ciptaanNya. Apa ini berarti ada yang diciptakan untuk menjadi sukses dan ada yang diciptakan untuk sulit menjadi sukses?
    Apakah ini diskrimanasi? Saya lebih cenderung mengatakan bahwa seperti seleksi alam, manusia hidup juga sangat kompetitif. Hidup adalah perjuangan, juga bukan sekedar slogan. Sehingga di manapun manusia hidup dan berada, dia yang diberikan fitrah dan kebebasan oleh Allah dalam memilih sendiri 'way of lifenya', bebas memilih 'faith dan beliefnya', bebas memilih 'medan tempur kehidupannya sendiri'.
    Kita tak bisa hanya berteriak-teriak memprotes kesenjangan kesejahteraan dan kehidupan serta berbagai kenyamanan lain yang tak tergapai oleh mayoritas bangsa Indonesia. Sementara secara mentalitas, impian semua orang adalah sama yaitu menikmati semua kenyamanan tersebut tanpa kecuali. Selama mentalitas /idealisme kenyamanan kehidupan yang diimpikan oleh bangsa Indonesia masih satu versi, berarti seluruh bangsa Indonesia menceburkan diri ke dalam suatu "medan tempur besar materialisme dan borjuisme nasional".
    Teman-teman saya dari bangsa lain kadang menyindir saya, katanya orang di Indonesia beragama, religius, kenapa ya sampai jadi negara terkorup dan masuk negara termiskin? Kalau religius, bukankah itu sangat kontradiktif dengan korup dan kemiskinan?
    Mereka lebih menyindir lagi masalah pelanggaran HAM, dan masalah pelestarian sumber-sumber hayati negara. Apalagi mengetahui hasil report dan survey lembaga dunia/ media internasional mengenai gaya hidup para penguasa dan keluarga mereka.
    Saya sangat susah untuk berkata-kata dan menjawabnya. Bagaimana bangsa Indonesia memilih pemimpin dan para pejabatnya?
    Saya jadi teringat seorang teman, yang sampai diejek banyak orang karena ia menjawab, bahwa ia sebagai pribadi baru mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, dan "baru belajar"untuk menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya.
    Jawabannya yang sangat simple dan low-profile ini pada awalnya kedengaran kurang PD. Namun dibalik jawaban yang super simple ini, terkandung suatu percaya diri yang kuat. Lha, wong dia bisa bilang dapat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri berarti dia memililiki 'confidence' dapat take-control of his own-life.
    Kebanyakan challenge dari mereka yang sukses di dalam studi adalah 'over-confident'. Apalagi bila sekolah yang dilalui adalah sekolah favorit di LN yang ternama dengan bidang yang super-sulit. Kebalikannya, mereka yang kurang berhasil di dalam studi seringkali dihinggapi hal sebaliknya. Tak PD dan terlalu PD ini sebenarnya bisa menghinggapi siapapun tanpa kecuali. Hanya saja memang selalu ada faktor-faktor pencetus dan pendukung timbulnya hal tersebut.
    Banyak di antara teman yang setelah meraih gelar tertinggi di bidang akademisi menjadi 'terlahir' sebagai orang yang baru yang sudah mengubah 'medan tempur kehidupannya' dan beranjak ke stage yang lebih tinggi. Meskipun masih banyak pula yang tidak berubah gaya hidup serta personalitynya. Masih tetap bersahaja dan low-profile, dan bergaya hidup sederhana, tidak hanya mau bergaul dengan mereka yang dianggap selevel baik gaya hidup, pendidikan, maupun pergaulan.
    Saya jadi teringat komentar seorang teman, yang setengah mengeluh mengatakan bahwa dirinya tidak dianggap di dalam pergaulan teman-temannya hanya karena dia dan suaminya tidak mempunyai gelar pendidikan tinggi dan level penghasilan mereka tidak sebanding dengan teman-temannya yang lain.
    Baginya tidak jadi masalah bila tidak diajak dalam aktifitas lingkaran pergaulan teman-temannya yang sudah menanjak lebih baik, namun rasanya aneh dan menyakitkan bagi mereka untuk tiba-tiba saja menjadi kehilangan banyak teman lama karena kesenjangan pendidikan dan ekonomi keluarga.
    Sementara ini saya masih belum berubah dalam berfikir bahwa pendidikan adalah satu jembatan emas yang mengantarkan manusia ke dalam kehidupan dan pendewasaan diri. Sehingga selayaknya, semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan akan semakin bijak dan pandai menempatkan dirinya di dalam pergaulan masyarakat. Itu adalah harapan dan idealism.
    Masalahnya kini adalah, pendidikan seperti apa yang hendak diberikan kepada anak-anak kita, karena hal tersebut adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk membekali anak-anak kita dengan pendidikan yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka kelak.
    Banyak di antara orang tua yang sekarang sering mengadaptasi cara pengasuhan dan pendidikan ala negara-negara Barat. Banyak hal yang sangat baik dalam menanamkan rasa percaya diri dan motivasi anak, namun kita perlu menengarai bahwa tidak semua yang masuk dari Barat bisa begitu saja kita terapkan di rumah. Meskipun teori pengasuhan dan pendidikan mereka melalui serangkaian percobaan dan pengujian, ada banyak hal yang berbeda dengan kultur budaya dan juga faktor faith-belief yang sering berbeda.
    Salah satu diantaranya yang tidak saya dukung untuk saat ini adalah faham yang membebaskan orang tua dari kewajiban menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan tinggi seperti yang banyak terjadi di negara-negara Barat. Selepas SMA, anak-anak harus membiayai biaya pendidikan tinggi mereka sendiri, sementara orang tua mereka membeli rumah, properti atau mobil baru. Dengan situasi dan kondisi di Indonesia, secara realita sangatlah sulit bagi saya untuk melepas anak-anak mencari uang sendiri untuk membiayai pendidikan tinggi mereka.
    Sekarang, dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang kian jauh dari peta dan ranking kompetisi pendidikan dunia (silakan dicek sendiri ranking universitas-universitas Indonesia di peta pendidikan dunia) apa yang dapat kita harapkan dari pendidikan tinggi di Indonesia di masa mendatang bagi anak-anak kita?
    Sementara kita masih bergelut dengan biaya pendidikan yang membumbung tinggi, universitas- universitas ternama membagikan ilmunya secara gratis. Siapa yang tidak tahu web-site Massachusett Institute of Technology: http:///ocw.mit.edu/index.html/ yang menawarkan program dari undergraduate sampai program doctoral secara on-line dan free. Bayangkan saja bila bangsa Indonesia bisa semudah itu mendapatkan pendidikan dan ilmu. Apalagi sekarang ada 5 universitas top di Jepang yang ikut bergabung di dalamnya.
    Benarkah pendidikan on-line free benar-benar gratis? Tentu saja tidak. Setiap yang ikut tetap harus berdedikasi dalam belajarnya, belum lagi meluangkan untuk membaca dan membeli buku, kertas, belum biaya untuk on-line dan printing. Tidak ada pendidikan yang benar-benar gratis.
    Masalahnya,sampai saat ini tidak ada satu perusahaan/kantor pun yang mau menerima karyawannya yang lulus semua program hingga doctoral program dengan nilai cum laude sekalipun, BILA tanpa sertifikat atau ijazah. Bila program on-line free tidak memberikan ijazah dan tidak mengizinkan pesertanya untuk menikmati fasilitas normal di dalam kampus, apakah ini berarti pembuktian akan mahalnya nilai sebuah ijazah /sertifikat?
    (HI) Louisville, 2005