Wednesday, May 21, 2014

#30 Demam Wisudawan

 
 
 
Tak terasa sudah memasuki pertengahan akhir bulan Mei 2014. Setelah sekian lama berpacu dengan waktu, akhirnya selesai juga studiku tanggal 13 Mei lalu. Ada yang hilang dari sisi hati. Spontanitas kegembiraan yang jauh berbeda dengan wisuda-wisuda yang lalu.
 
Tak seperti saat wisuda pertamaku di kampus UI Depok, saat aku maju menyampaikan pidato wakil wisudawan di antara sekitar tiga ribuan wisudawan dari tingkat Diploma sampai Doktoral. Betapa kikuknya diriku berjalan menyangga sanggul sebesar dan seberat cobek diantara lilitan kain wiron yang kekencangan. Kepala dan dadaku hanya penuh dengan doa, "Ya Allah jangan sampai sanggul ini lepas menggelundung saat aku berada di atas panggung, atau jangan sampai kain wironku merosot terinjak langkahku yang tertatih tatih."
 
Hooray! Merdeka rasanya setelah acara selesai! Tak ada yang  membahagiakan diriku lebih dari melihat orang tua yang membiayaiku sekolah tersenyum setulusnya. Satu beban mereka telah usai.
 
Wisuda yang ke dua, aku berada jauh dari keluarga. Demam panggungku lebih terasa daripada wisuda pertamaku. Wisudawan yang ada adalah utusan dari sekitar lima puluhan negara. Aku serasa robot, maju ke panggung dengan tanpa ekspressi. Dentum-dentum detak jantungku memenuhi rongga telinga. Serasa seluruh mata tertuju pada diriku. Para Duta Besar masing-masing negara juga hadir di sana. Aku sibuk mensimulasikan diriku berjalan ke panggung, menerima Diploma lalu bersalaman dengan para pembesar yang ada di atas panggung sambal berjalan kembali ke tempat semula. Senyum dan tawaku begitu diplomatis di sana. "Fotonya bagus, kok!" kata semua.
 
Duh, mereka tak tahu demam panggungku begitu membahana, sampai-sampai sedetik serasa seabad!
 
Wisuda ke-tiga, masih jauh dari keluarga, aku absen. Karena bersamaan dengan ujian masuk Program di Universitas lain. Tak ada foto, tak ada jabat tangan, tak ada Diploma yang diserah terimakan. Tak ada cerita. Titik.
 
Wisuda ke empat sangat mengharu biru. Semuanya seperti mimpi. Dari masuk ke Program sampai lulus, penuh dengan keberuntungan. Bisa-bisa aku ganti gelar jadi Master of Luck! Aku memakai set kebaya sendiri. Rambutku panjang sampai sepantat, jadi cukup kugulung menjadi konde cepol. Kain wironku buatan ibuku tercinta, sudah custom-made sehingga sangat nyaman dipakai dengan kebaya dan selendang merah mudanya. Fotoku dan Professor pembimbingku penuh dengan senyum sumringah.
 
13 Mei yang lalu adalah wisudaku ke lima. Tak ada kebaya atau sanggul. Aku memakai ghamis made in Indonesia kiriman ibuku tercinta, mungkin lebih tepatnya Kaftan Indonesia warna abu-abu dengan bordiran deretan mawar pink memanjang vertikal sepanjang tengah badan. Ibuku selalu berfikir kalau aku cocok dengan warna abu-abu dan pink. Pertama kalinya aku hadir di wisuda tanpa demam panggung! Ada sekitar tiga ribuan wisudawan, namun hanya seperlima dari mereka yang hadir. Aku datang bersama ke dua anak laki-lakiku. Mereka tak terlihat di antara ratusan keluarga yang hadir. Seperti yang kuduga, akhirnya tak ada foto diriku di dalam kamera! Kedua anakku sibuk selfie sendiri berbagai gaya! Xixixixi. Apa boleh buat. Siapa suruh anak umur 11 dan 7 tahun mengambil foto wisuda, sementara mereka jauh tertelan ratusan manusia yang tinggi-tinggi dan besar-besar.
 
"Mama, sampai berapa wisuda lagi akan Mama hadiri?" hari ini ke dua anakku dengan polos bertanya bersamaan, saat kubawa mereka ke calon tempat wisudaku ke enam. "Hmmmm,  mungkin tujuh, delapan atau sembilan? Who knows?!" kucoba mengelak. "Hey, kalian jangan seperti mama ya! Kalau kuliah, cukup satu atau dua universitas saja. Pastikan kalian dapat job offer sebelum lulus, dan kalian bangun karirmu dari sana. Kalau bisa dapatkan sekolah yang memberikan full-scholarship, jadi kalian dapat menabung biaya kuliah untuk masa depanmu."
 
Believe me or not, aku ini sangat suka sekolah sepertinya. Karena begitu kelas usai, aku merasa sangat kehilangan! Mungkin aku akan terus sekolah sampai nanti!
 
Louisville, 21 May 2014, Dini hari