Sunday, January 5, 2014

#24 Merawat Lansia=Kewajiban Anak?

 


Dua tahun belakangan ini saya banyak bertemu dan mendampingi pasien segala umur. Namun, pasien lansia adalah mayoritas yang saya temui di kota kecil kami. Pertama kali mendapatkan teori tentang definisi lansia membuat saya tersenyum simpul sendiri. Ignatavicius membagi lansia dalam empat kategori:

1. Lansia muda: usia 65-74 tahun

2. Lansia menengah: usia 75-84 tahun

3. Lansia tua: usia 85-99 tahun

4. Lansia elit: usia 100 tahun ke atas. 

Mengapa saya tersenyum? Karena saya bisa berkata pada Ibunda bahwa beliau belum 'tua"! Ya, ibu saya yang KTPnya setahun lebih tua dari usia aslinya (karena jadul, sekolah atau lurah enak saja memberikan tanggal lahir pada anak  :)) berusia 61 tahun.  

Tinggal Bersama Orang Tua 

Sebelum menikah, saya selalu tinggal bersama orang tua, kecuali saat saya studi atau training di luar negeri. Setelah menikah, saya keluar dari rumah orang tua, dan tinggallah kedua orang tua saya dan adik yang tinggal bersama orang tua sampai kini.

Saat saya masih single, saya selalu berharap dapat tinggal bersebelahan dengan orang tua saya. Sayapun telah merencanakan agar saya, orang tua dan adik saya dapat tinggal bersebelahan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, jauh hari saya dan ayahanda membeli dua kapling tanah yang bersebelahan di daerah Sawangan, Bogor, tak jauh dari perumah ARCO Sawangan. Lokasinya sangat tak strategis 20 tahun yang lalu, namun dengan luas tanah 1000 meter persegi perkaplingnya kami fikir dapat dibangun tiga rumah mungil bagi kami dua bersaudara dan rumah masa tua ayah ibunda.

Ternyata saat rencana tersebut belum terwujud, ayahanda sakit dan meninggal sebelum adik menikah. Saya sendiri tinggal jauh dari mereka berdua. Sejak ayah meninggal, ibunda sangat jauh berubah. Beliau sangat kehilangan ayah dari kesehariannya. Ibu seakan kehilangan motivasi hidupnya. Akhirnya pengurusan sertifikasi tanah kepunyaan ayah juga tertunda-tunda. 

Kepala desa di daerah kapling yang kami beli rupanya juga meninggal tak lama setelah ayahanda meninggal. Tanpa sepengetahuan kami, anak-anak beliau yang bersengketa membuat surat tanah palsu dan menjual kepada orang lain. Sang pembeli yang kaya, langsung membuat sertifikat tanah atas namanya. Jadilah kami yang terkejut, saat mengajukan pembuatan sertifikat tanah, dijawab dengan pernyataan bahwa tanah tersebut sudah ada sertifikasinya atas nama orang lain! Hal ini tak akan terjadi di Amerika. Masalah pertanahan sangat teratur dan terbuka, dapat dimonitor dari manapun dan tak dapat dipalsukan semena-mena.

Orang tua saya, sangat jarang terikat dengan materi. Setiap Ayahanda pindah, beliau menyerahkan begitu saja tanah, rumah atau milik pribadi kepada yang memerlukan, dan tak pernah mengingatnya atau sampai memintanya kembali. Hanya ketika kami sepakat untuk membangun rumah berdekatan, beliau tergerak untuk membeli kapling di sana.  Tanah  dan rumah lainnya beliau beli untuk membantu teman yang memerlukan biaya. Sebelumnya, saya dan ayahanda pernah juga membeli tanah dekat lokasi yang sama, karena ajakan teman pengajar di UI, namun akhirnya berbuntut sama, karena yang mengelola menjual kembali tanah kami ke orang lain. Ayahanda tak mengusutnya lebih lanjut, karena beliau mengenal ybs. Allah Maha Adil katanya sambil tersenyum, "Belum rezeki kita."

Masya Allah sabarnya ayahanda dalam menangani banyak hal dalam kehidupannya, sehingga banyak orang yang berdatangan untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan persaudaraan sesama muslim. Kepala desa pemilik tanah asal juga salah satu tamu reguler kami dulu. Beliau sangat santun dan ramah, dan menepati janji. Namun, belasan anak dari berbagai istri yang ditinggalkannya ketika meninggal tak semuanya begitu. 

Ibunda memutuskan melepas tangan dari haknya, selain saat itu masih dalam keadaan berduka, kondisi fisiknya juga drop. Apalagi pengacara yang bersedia membantu menggugat perkara meminta biaya yang tak kalah aduhainya. Jadilah ibu memutuskan menyerah dan kehilangan peninggalan almarhum Ayahanda. Alhamdulillah, beliau masih meninggalkan properti lain dan  biaya hidup yang cukup bagi Ibunda, sehingga Ibunda tak kekurangan. Saya hanya tertegun mendengarnya. Apalagi, ibu baru memberitahu saya setelah peristiwa berlalu. Andaikan saya ada di sisi ibu, minimal saya bisa berlari ke sana-sini mengurus pengembalian hak keluarga. Pelajaran bersabar yang luar biasa bagi ibu. 

Sejak peristiwa itu saya bertekad untuk dapat tinggal dan merawat Ibunda. Suatu hal yang ironis, karena sampai detik ini saya masih tinggal ribuan mil jauhnya dari beliau. Begitu egoisnya keinginan saya untuk memastikan beliau dalam keadaan baik, sampai-sampai saya meminta adik untuk terus tinggal bersama Ibunda.

Di Amerika 

Saat saya datang ke Amerika, saya tinggal pertama kali di Maryland, di daerah kantong kota yang padat dengan imigran. Saya terheran-heran melihat banyaknya gereja di mana-mana, dan setiap hari Minggunya dipenuhi oleh para lansia. Setelah beberapa waktu barulah saya menyadari, bahwa meskipun apa yang saya lihat di film-film Hollywood tak selamanya refleksi dari kehidupan sehari-hari orang Amerika, namun benar, mayoritas penduduk mereka keluar dari rumah orang tua setelah usia 18 tahun atau setelah selesai SMA. 

Saya saat itu tinggal di apartemen, dan banyak dari penghuni apartemen adalah lansia. Rupanya setelah pensiun mereka fikir tinggal di rumah besar hanya suami istri lansia membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk merawatnya. Jadilah mereka memilih menjual rumah mereka, tinggal di apartemen atau condo (apartemen yang merupakan milik sendiri). Saya sedih melihat para lansia tertatih-tatih berjalan dari atau ke apartemen mereka. Banyak yang masih menyupir kendaraan mereka sendiri. Saat ke supermarket, mereka selalu membawa kereta benjaan sendiri yang bisa dilipat. Saat itu saya merasa, kok anak-anak mereka tega, ya? 

Setelah banyak berbincang dengan para lansia yang saya temui saat klinikal maupun saat bekerja, mereka mayoritas malah bangga dengan 'kesendirian' mereka. Tak jarang mereka memandang hubungan orang tua anak ala Asia terlalu memasuki daerah privasi masing-masing. Bahkan ada yang terang-terangan memberi selamat kepada saya yang memilih tinggal jauh dari orang tua. "Kau sekarang seperti orang Amerika umunya!" Mereka tak tahu apa sebenarnya yang ada di hati saya. 

Dua tahun ini saya banyak melihat pasien lansia dengan segala komplikasi yang dideritanya. Ada juga yang sudah pikun dan tak mengenali keluarga mereka sendiri. Ada yang bahkan sampai tak tahu siapa dirinya lagi, tak dapat berjalan sendiri, tak dapat melihat, tak dapat mendengar, dan tak dapat makan selain makanan mekanikal (puree). 

Setelah terjun langsung di lapangan, barulah saya tahu bahwa kebanyakan para lansia di Amerika tinggal di rumah mereka sendiri, baik itu rumah biasa atau apartemen/condo. Mereka baru ke rumah sakit bila sakit. Mereka berobat jalan ke dokter praktek, dan yang sudah tak bisa menyetir sendiri bisa mendapatkan fasilitas antar jemput ke dokter, supermarket, gereja atau ke tempat lainnya. Fasilitas ini diberikan oleh County atau dapat juga mereka dapatkan dari perusahaan swasta.  

Bila mereka tak dapat lagi beraktifitas normal dalam kesehariannya, mereka dapat pindah dari rumah atau apartemen/condo ke Assisted Living. Assisted living ini berbeda dengan rumah jompo. Perusahaan yang mengelola tak hanya menyediakan perumahan, makanan, dan rekreasi, namun juga menyediakan sarana kebersihan/housekeeping, sampai sarana medis. Mahal? Tergantung tingkat sarana dan servis yang digunakan. Yang termurah dari kisaran 3500 dollar perbulan sampai 8000 dollar perbulannya. Lansia mendapatkan apartemen/kamar seperti studio, ada juga yang 1LDK (satu kamar tidur, living room, dining room, kitchen) atau 2LDK. Mereka masih dapat beraktifitas sebagaimana di rumah sendiri, namun mereka makan bersama di dining hall yang ada di setiap lantainya. Pegawai memastikan para lansia tersebut bangun tepat waktu, makan tepat waktu, meminum obat yang harus mereka konsumsi, mengikuti aktifitas yang disediakan institusi, hingga tidur tepat waktu pula. 

Bila lansia tersebut mempunyai kondisi kesehatan yang kronis dan perlu pemantauan dan perawatan 24 jam seharinya, sementara tak ada keluarga yang sanggup mennagani karena berbagai hal, biasanya lansi ini dikirimkan ke panti jompo/Nursing Home. Di sini mereka ditempatkan di kamar-kamar persis seperti kamar inap rawat di rumah sakit. Pegawai di Nursing Home sebagian besar adalah perawat berlisensi. Selain mereka ada bagian kebersihan, bagian laundry, bagian makanan, bagian administrasi dan Pastoral. Biaya untuk nursing home jauh lebih mahal dari biaya di Assisted Living, karena ini seperti tinggal di rumah sakit secara permanen.  

Bedanya, di sini para pasien harus makan di dining hall saat sarapan, makan siang dan makan malam. Mereka memepunyai beragam pilihan aktifitas juga. Namun kebanyakan penghuni Nursing Home ini juga menderita kepikunan/dimentia. Satu perawat bias menangani 8 sampai 12 lansia per shiftnya ( 8-12 jam). 

Bagi lansia yang terkena dementia/kepikunan, ada Nursing Home khusus bagi orang pikun. Ini biayanya termahal dari semua pilihan yang ada. Bayangkan seperti ward/pavilion khusus di rumah sakit dengan penanganan intensif. Perawat menangani 3-5 orang lansia per shiftnya (8-12 jam). Biasanya lansia juga sudah dalam masa kritis, dan menanti ajal, sehingga merekapun dikunjungi oleh tim medis khusus untuk Hospice/perawatan menjelang ajal. 

Bagi lansia yang sudah divonis ‘mati’ dan tak dapat disembuhkan secara medis oleh dokter, mereka berhak mendapatkan pelayanan Hospice karena ini adalah bagian dari sistem medis dan kesehtan di Amerika (Program Medicare/Medicaid). Jangka waktu pelayanan ini adalah selama setengah tahun, mereka akan mendapatkan kunjungan rutin baik dari asisten perawat, perawat, terapis, sampai dokter. Lansia dapat tetap tinggal di rumah mereka, atau di nursing home selama mendapatkan perawatan ini. Biayanya? Selama saat muda mereka bekerja, dan uang Social Security mereka mencapai lama tahun yang disyaratkan (minimal 8 tahun bekerja utnuk satu pekerjaan), maka mereka berhak mendapatkan uang Social Security. Sedangkan fasilitas Medicare/Medicaid ini tergantung  dari diagnosa dokter. Social worker dari rumah sakit yang akan mengurus pasien mendapatkan Medicare/Medicaid.

Saat sendiri

Saya tetap tak dapat mengubah prinsip saya bahwa kewajiban sayalah untuk merawat orang tua saya saat mereka tua.  Ayah saya meninggal di usia 64 tahun, belum masuk kategori manula menurut teori yang ada. Sementara Ibu saya masih 4 tahun lagi sampai memasuki usia lansia.

Dengan perubahan pola kehidupan di Indonesia, termasuk di Jakarta, tak mudah lagi menemukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaan rumah seperti saat saya kecil dulu. Jangankan berfikir untuk membayar orang untuk merawat ibu, kini sangatlah sulit mencari pekerja asisten rumah tangga, atau baby sitter untuk keluarga adik. Akhirnya ibu saya banyak turun membantu dari menjaga cucu, memasak, hingga urusan merawat keluarga. Terbalik jadinya. 

Saya teringat seorang lansia di sini yang punya dua putri yang tinggalnya ribuan mil dari dirinya. Ke dua putrinya bergantian mengunjungi sang ibu sekali sebulannya dan menjaga ibunya selama 3 sampai 5 hari. Sang ibu tinggal sendiri dan hanya didampingi oleh penjaga dari perusahaan yang dibayar oleh ke dua putrinya. Pertama melihat nenek ini, saya langsung teringat kepada ibu saya di Jakarta. Langsung saya berdoa, semoga saya dapat merawat langsung ibu saya di hari tuanya nanti. Saya juga berdoa, semoga saat saya lansia nanti tak menemui kondisi seperti nenek ini.
 
Kedua putri nenek tersebut kaya raya, namun mereka bilang, mereka tak sanggup tinggal dengan ibu mereka sendiri karena tak tahan dengan perangai ibunda. Sang ibu yang mendekati usia 90 tahun sangat keukeuh dengan segala aturannya dan akan marah besar bila tak dituruti. Meskipun sudah sangat 'pelupa', namun mereka semua tak mau ibunya disebut pikun. Mereka memilih mengeluarkan puluhan ribu dollar sebulannya dengan tetap tinggal berjauhan. Saya sangat sedih melihatnya.

Andaikan saya tua nanti, ingin saya tinggal berdekatan dengan anak-anak saya. Tak harus tinggal satu rumah, namun dekat dengan anak cucu. Pastinya ibu saya juga mengharapkan hal yang sama. Alhamdulillah, adik saya dan keluarganya berbesar hati bersedia tinggal dengan ibu. Tinggal dengan orang tua pasti penuh suka duka, pasti banyak privasi yang terlanggar, pasti diwarnai juga dengan konflik. Namun, sangat jauh lebih baik dari pada  keseharian sang nenek kaya yang anak-anaknya saja 'emoh' tinggal bersamanya. Meskipun setiap datang membawa hadiah dan bunga serta berbagai macam hal yang dianggap dapat membahagiakan sang ibu, tak ada yang lebih membahagiakannya lebih dari ketulusan kasih seorang anak yang dengan hormat dan santun merawat orang tua dengan tulus, menjaga rahasianya, menutupi aibnya, hingga berpisah dari dunia ini.

Jadi lansia mesti dirawat anak atau dirawat negara? Sayangnya di Indonesia belum ada sistem kesehatan terpadu yang menjamin kesejahteraan penduduknya dari sebelum lahir sampai meninggalnya. Begitu sakit, habis terkuraslah semua tabungan dan harta benda yang dimiliki untuk membayar biaya medis. Seharusnyalah tidak sampai begitu. Saya tak hanya menantikan sistem kesehatan universal yang ideal  di Amerika, tetapi juga di Indonesia.

Semoga di Jakarta kehidupan nafsi-nafsi tak mengubah para anak menjadi 'emoh' merawat orang tua masing-masing. 

Hani
Louisville 2014

Friday, January 3, 2014

#23 Resolusi Oh Resolusi 2014


Selamat Tahun Baru 2014!
 
Di hari ketiga di tahun 2014 ini, saya masih menikmati kebersamaan dengan keluarga dalam nuansa musim dingin yang penuh salju. Anak-anak masih menikmati winter break, suami sudah kembali bekerja sejak kemarin. Saya? Alhamdulillah, diberi kesempatan menengok balik waktu yang diberikan oleh sang Maha Pencipta.
 
Semalam, kami sekeluarga pergi ke bioskop dekat rumah dan menonton Frozen, film animasi anak-anak yang masuk kategori PG. Menonton film di bioskop bukan hal yang istimewa buat anak-anak, tapi buat saya, ternyata sudah lama sekali tak saya lakukan. Terakhir kali saya menonton bersama anak-anak ternyata sudah lewat lima tahun yang lalu.
 
Selama ini, saya selalu di rumah sendiri saat anak-anak dan suami menikmati 'movie time' mereka. Saat yang hanya 2-3 jam itu menjadi 'me time', saat-saat saya menikmati kesendirian dan kebanyakan saya gunakan untuk bebenah dan bebersih rumah yang selalu berantakan seperti kapal pecah!
 
Filmnya khas film Disney dengan cerita prince dan princessnya, ada pangeran tampan yang ternyata hatinya tak setampan rupanya, ada troll, ada kekuatan sihir, dan ada pria biasa yang menjadi penyelamat, serta happy ending yang menyentuh.
 
Tak terasa mata saya berembun saat kekuatan cinta mengalahkan kekuatan sihir. Betapa saya kehilangan kebersamaan dengan anak-anak selama ini!
 
Tanpa saya sadari, saya telah melabeli diri dengan Big Sign Board "GIVE ME TIME'! Meskipun saya bukan pecandu film di bioskop, ternyata saat duduk di samping anak-anak, saya jadi teringat kembali, "Oh, si kecil sangat menikmati film ini!" "Oh, si sulung yang selalu bersikap matang ternyata masih anak-anak."
 
Tahun 2013
 
Tahun 2013 adalah tahun penuh percobaan bagi kami. Banyak hal yang terjadi. Banyak hal-hal dilematik yang terjadi bersamaan yang membuat kami kehilangan kesempatan untuk dapat bersapa ria dengan tetangga, teman dan bahkan keluarga. Sampai-sampai dengan penuh rasa malu, saya tak dapat mengikuti Muktamar IMSA 2013 yang diselenggarakan di kota kami. Bukan itu saja, untuk bertemu dengan sesama teman dari Indonesiapun jadi sangat terbatas. Rencana berhalal bihalal sejak sebelum Ramadhan terus terundur sampai-sampai baru terrealisasi di akhir bulan Desember!
 
Anak kami yang sulung selama tahun 2013 mengalami komplikasi reaksi lambat dari terapi yang diterimanya selama bayi. Alhasil, saya dan suami kelabakan mengatur waktu yang sudah sangat terbatas. Setiap dua hari dalam seminggu, biasanya Senin-Kamis atau Selasa-Jumat, kami harus membawanya ke rumah sakit untuk periksa darah dan periksa dokter ke klinik khusus di rumah sakit. Jam 7 pagi kami sudah harus menanti di depan antrian registrasi dan bergegas membawanya pulang untuk mengantarkannya ke sekolah. Lalu jam setengah 3 sore sudah harus siap menjemputnya dari sekolah untuk membawanya ke rumah sakit.
 
Sebenarnya ini hal yang sangat biasa. Namun, kami masih punya satu anak lagi yang pagi-pagi masih harus dibantu untuk bangun dan bersiap pergi ke sekolah, dan sore harinya masih harus dijemput dari perhentian bis sekolah karena belum boleh turun dari bis sendiri sampai dia mencapai kelas 3. Jadwal suami dan sayapun sangat beragam setiap harinya. Kadang suami sudah harus ada di tempat kerjanya sebelum jam 7 pagi dan pulang setelah jam 6 sore, sehingga sayalah yang kebagian jatah antar jemput dan membawa si sulung ke rumah sakit, sekaligus dengan membawa si kecil juga.
 
"Begitu aja kok ribet sih?" eh, ada aja yang celetuk begitu!  Saya sudah tutup kuping kiri kanan sambil terus berdoa. Tahun 2013 adalah masa kritis kesehatan anak kami, juga masa kritis keseharian kami sekeluarga. Suami mengalami banyak hal dilematik dalam fase hidupnya. Selama ini beliau sangat antusias pada suatu hal. Rupanya, memasuki usia sekarang, ada hal lain yang menarik hatinya. Namun tak mudah menentukan pilihan.
 
Sementara saya sendiri dalam masa peralihan profesi. Setelah 11 tahun menjadi ibu rumah tangga 'saja', akhirnya mencoba memulai bekerja paruh waktu dan kembali ke bangku kuliah. Sistem kuliah yang saya ikuti ternyata sangat intensif dan kompetitif. Siapa sangka program yang saya ambil ternyata tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi dari program sarjana 4 tahun? Saya mengambil program diploma dua tahun untuk menjadi tenaga medis. Satu profesi yang memungkinkan buat saya bila menetap di kota kami sekarang. Tinggal di kota kecil membawa resiko lapangan pekerjaan juga tak sebanyak di kota besar. Faktor utama adalah keinginan saya untuk dapat bekerja dengan suami sekaligus dapat merawat anak kami dengan lebih baik.
 
Tapi dengan 24 jam sehari dan 7 hari dalam satu minggu, rasanya saya sangat minus waktu! Dua hari saya gunakan untuk klinikal di rumah sakit untuk shift 12 jam, dengan kelas yang full seharian, dan kerja paruh waktu 12 jam,  serta 2 hari untuk si sulung ke rumah sakit, sementara hari Minggu satu-satunya hari saya dapat membawa anak-anak ke klub Renang dan olahraga mereka. Saya sudah seperti setrikaan yang bolak-balik dari Down-town ke area rumah bisa bolak-bolak sampai 8 kali seharinya melalui tempat yang sama! Alhamdulillah, selama tahun 2013, saya tak menemui masalah di jalan.
 
Jangan tanya soal tidur! Satu-satunya waktu untuk belajar adalah saat semua sudah tidur :) Jadilah setiap hari saya tidur 3-4 jam saja, dengan tidur sekitar jam 2 pagi dan bangun setelah jam 5-6. Sangat tidak dianjurkan bagi siapapun! Setiap hari serasa zombie gentayangan. Rasa capek sudah terlewatkan berganti dengan rasa tegang, bagaimana bila tak dapat menghandle semuanya? Setiap pagi yang tadinya semua mendapatkan sarapan hangat kahirnya tergantikan dengan cereal dan oatmeal saja. Tadinya semua membawa bento untuk lunch, jadinya hanya membawa sandwich plus buah. Makan malampun yang masih selalu fresh from the pan, jadi berkurang variasinya.
 
Suami sampai geleng-geleng kepala. "Saya ndak nyangka program yang kau ambil sesulit ini, kalau saja saya tahu, lebih baik kau ambil program Master saja di jurusan lain, Psikologi atau Pendidikan," katanya sambil melihat buku ajar dan semua materi  online yang harus diselesaikan setiap harinya. Ternyata teman sekelas hampir semuanya menghadapi hal yang sama. Entah karena jaim atau karena tak mau orang lain tahu, banyak teman di kelas yang 'pura-pura' lulus ujian, sampai di akhir semester mereka buka kartu kalau selama ini tertinggal dan terpaksa harus tinggal kelas atau keluar dari program.
 
Tahun 2014
 
Alhamdulillah tahun 2013 sudah berlalu. Meskipun terasa sangat sulit, namun semua dilemma telah terlalui. Alhamdulillah, saya sudah masuk di semester terakhir. Suami masih mempunyai beberapa pilihan yang mau tak mau harus dipilihnya dalam beberapa bulan ke depan. Anak sulung kami harus mengulang terapi, namun Alhamdulillah, kondisinya jauh lebih baik dari tahun 2013. Si kecil menjadi jauh lebih termotivasi untuk belajar, setelah mendapat beberapa sertifikat Distinguished dari Kepala Sekolahnya :) Meskipun kami tak memasalahkan mereka jadi Honor Roll atau Student of the Month, tapi melihat wajah-wajah senang mereka saat memberikan sertifikat tersebut membuat kami sangat bersyukur, "Alhamdulillah, Kau berikan titipan anak-anak yang menyenangkan hati kami, membuat kami tersenyum dan memujiMu."
 
Resolusi?
 
Beberapa hari ini, saya membuka tulisan lama. Eh, lucu juga ya :) Ternyata saya 8 tahun yang lalu saya sangat produktif menulis. Tak semua tulisan saya publish di blog saya, yang saat itu ada di Multiply. Ada beberapa tulisan yang masih saya simpan di blog lain, namun entah kenapa, saya tak urus secara teratur.
 
Duh, malu deh rasanya. Dibanding saya delapan tahun lalu, ternyata saya sekarang sangat terbelakang. Delapan tahun yang lalu, saya sangat bersahaja, berapi-api, dan sangat rajin membaca!Delapan tahun yang lalu, saya bahkan sempat belajar berbagai macam hal, dari art-craft, sampai belajar mengaji. Saya juga ternyata sangat rajin bebersih, berbenah dan masih rajin olahraga.
 
Sekarang? Awww...perlu banyak perbaikan. Saya merasa diri lebih lamban dalam segala hal, lebih tak sensitif  dalam banyak hal, lebih 'ndablek' dalam memprioritaskan urusan pribadi dan keluarga daripada urusan ummah, dan lebih dekat dengan keluarga.
 
Delapan tahun yang lalu, saya sangat rajin menelaah berbagai buku dan teori, sekarang saya lebih mencoba mendengar suara badan dan suara hati.
 
Resolusi 2014? Lebih baik saya lakukan saja langsung apa yang saya bisa dan saya anggap bisa diteruskan dalam keseharian saya selanjutnya. Kita tak akan pernah tahu sampai kapan jatah umur kita di dunia ini. Selama masih ada nyawa di kandung badan, selama itu kita diberi kesempatan olehNya untuk bertaubat dan beramal yang baik. Insya Allah. Mengembalikan semuanya karena Allah, hanya untuk Allah dan hanya untuk mencapai keridlaanNya. Insya Allah. Mohon dimaafkan segala kesalahan saya dan keluarga selama ini.
 
Niat dari diri untuk hidup lebih baik dari kemarin. Lillahi ta'ala. "Never put up until tomorrow what you can do today!"
 
Hani
Louisville, 2014