Sunday, January 5, 2014

#24 Merawat Lansia=Kewajiban Anak?

 


Dua tahun belakangan ini saya banyak bertemu dan mendampingi pasien segala umur. Namun, pasien lansia adalah mayoritas yang saya temui di kota kecil kami. Pertama kali mendapatkan teori tentang definisi lansia membuat saya tersenyum simpul sendiri. Ignatavicius membagi lansia dalam empat kategori:

1. Lansia muda: usia 65-74 tahun

2. Lansia menengah: usia 75-84 tahun

3. Lansia tua: usia 85-99 tahun

4. Lansia elit: usia 100 tahun ke atas. 

Mengapa saya tersenyum? Karena saya bisa berkata pada Ibunda bahwa beliau belum 'tua"! Ya, ibu saya yang KTPnya setahun lebih tua dari usia aslinya (karena jadul, sekolah atau lurah enak saja memberikan tanggal lahir pada anak  :)) berusia 61 tahun.  

Tinggal Bersama Orang Tua 

Sebelum menikah, saya selalu tinggal bersama orang tua, kecuali saat saya studi atau training di luar negeri. Setelah menikah, saya keluar dari rumah orang tua, dan tinggallah kedua orang tua saya dan adik yang tinggal bersama orang tua sampai kini.

Saat saya masih single, saya selalu berharap dapat tinggal bersebelahan dengan orang tua saya. Sayapun telah merencanakan agar saya, orang tua dan adik saya dapat tinggal bersebelahan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, jauh hari saya dan ayahanda membeli dua kapling tanah yang bersebelahan di daerah Sawangan, Bogor, tak jauh dari perumah ARCO Sawangan. Lokasinya sangat tak strategis 20 tahun yang lalu, namun dengan luas tanah 1000 meter persegi perkaplingnya kami fikir dapat dibangun tiga rumah mungil bagi kami dua bersaudara dan rumah masa tua ayah ibunda.

Ternyata saat rencana tersebut belum terwujud, ayahanda sakit dan meninggal sebelum adik menikah. Saya sendiri tinggal jauh dari mereka berdua. Sejak ayah meninggal, ibunda sangat jauh berubah. Beliau sangat kehilangan ayah dari kesehariannya. Ibu seakan kehilangan motivasi hidupnya. Akhirnya pengurusan sertifikasi tanah kepunyaan ayah juga tertunda-tunda. 

Kepala desa di daerah kapling yang kami beli rupanya juga meninggal tak lama setelah ayahanda meninggal. Tanpa sepengetahuan kami, anak-anak beliau yang bersengketa membuat surat tanah palsu dan menjual kepada orang lain. Sang pembeli yang kaya, langsung membuat sertifikat tanah atas namanya. Jadilah kami yang terkejut, saat mengajukan pembuatan sertifikat tanah, dijawab dengan pernyataan bahwa tanah tersebut sudah ada sertifikasinya atas nama orang lain! Hal ini tak akan terjadi di Amerika. Masalah pertanahan sangat teratur dan terbuka, dapat dimonitor dari manapun dan tak dapat dipalsukan semena-mena.

Orang tua saya, sangat jarang terikat dengan materi. Setiap Ayahanda pindah, beliau menyerahkan begitu saja tanah, rumah atau milik pribadi kepada yang memerlukan, dan tak pernah mengingatnya atau sampai memintanya kembali. Hanya ketika kami sepakat untuk membangun rumah berdekatan, beliau tergerak untuk membeli kapling di sana.  Tanah  dan rumah lainnya beliau beli untuk membantu teman yang memerlukan biaya. Sebelumnya, saya dan ayahanda pernah juga membeli tanah dekat lokasi yang sama, karena ajakan teman pengajar di UI, namun akhirnya berbuntut sama, karena yang mengelola menjual kembali tanah kami ke orang lain. Ayahanda tak mengusutnya lebih lanjut, karena beliau mengenal ybs. Allah Maha Adil katanya sambil tersenyum, "Belum rezeki kita."

Masya Allah sabarnya ayahanda dalam menangani banyak hal dalam kehidupannya, sehingga banyak orang yang berdatangan untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan persaudaraan sesama muslim. Kepala desa pemilik tanah asal juga salah satu tamu reguler kami dulu. Beliau sangat santun dan ramah, dan menepati janji. Namun, belasan anak dari berbagai istri yang ditinggalkannya ketika meninggal tak semuanya begitu. 

Ibunda memutuskan melepas tangan dari haknya, selain saat itu masih dalam keadaan berduka, kondisi fisiknya juga drop. Apalagi pengacara yang bersedia membantu menggugat perkara meminta biaya yang tak kalah aduhainya. Jadilah ibu memutuskan menyerah dan kehilangan peninggalan almarhum Ayahanda. Alhamdulillah, beliau masih meninggalkan properti lain dan  biaya hidup yang cukup bagi Ibunda, sehingga Ibunda tak kekurangan. Saya hanya tertegun mendengarnya. Apalagi, ibu baru memberitahu saya setelah peristiwa berlalu. Andaikan saya ada di sisi ibu, minimal saya bisa berlari ke sana-sini mengurus pengembalian hak keluarga. Pelajaran bersabar yang luar biasa bagi ibu. 

Sejak peristiwa itu saya bertekad untuk dapat tinggal dan merawat Ibunda. Suatu hal yang ironis, karena sampai detik ini saya masih tinggal ribuan mil jauhnya dari beliau. Begitu egoisnya keinginan saya untuk memastikan beliau dalam keadaan baik, sampai-sampai saya meminta adik untuk terus tinggal bersama Ibunda.

Di Amerika 

Saat saya datang ke Amerika, saya tinggal pertama kali di Maryland, di daerah kantong kota yang padat dengan imigran. Saya terheran-heran melihat banyaknya gereja di mana-mana, dan setiap hari Minggunya dipenuhi oleh para lansia. Setelah beberapa waktu barulah saya menyadari, bahwa meskipun apa yang saya lihat di film-film Hollywood tak selamanya refleksi dari kehidupan sehari-hari orang Amerika, namun benar, mayoritas penduduk mereka keluar dari rumah orang tua setelah usia 18 tahun atau setelah selesai SMA. 

Saya saat itu tinggal di apartemen, dan banyak dari penghuni apartemen adalah lansia. Rupanya setelah pensiun mereka fikir tinggal di rumah besar hanya suami istri lansia membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk merawatnya. Jadilah mereka memilih menjual rumah mereka, tinggal di apartemen atau condo (apartemen yang merupakan milik sendiri). Saya sedih melihat para lansia tertatih-tatih berjalan dari atau ke apartemen mereka. Banyak yang masih menyupir kendaraan mereka sendiri. Saat ke supermarket, mereka selalu membawa kereta benjaan sendiri yang bisa dilipat. Saat itu saya merasa, kok anak-anak mereka tega, ya? 

Setelah banyak berbincang dengan para lansia yang saya temui saat klinikal maupun saat bekerja, mereka mayoritas malah bangga dengan 'kesendirian' mereka. Tak jarang mereka memandang hubungan orang tua anak ala Asia terlalu memasuki daerah privasi masing-masing. Bahkan ada yang terang-terangan memberi selamat kepada saya yang memilih tinggal jauh dari orang tua. "Kau sekarang seperti orang Amerika umunya!" Mereka tak tahu apa sebenarnya yang ada di hati saya. 

Dua tahun ini saya banyak melihat pasien lansia dengan segala komplikasi yang dideritanya. Ada juga yang sudah pikun dan tak mengenali keluarga mereka sendiri. Ada yang bahkan sampai tak tahu siapa dirinya lagi, tak dapat berjalan sendiri, tak dapat melihat, tak dapat mendengar, dan tak dapat makan selain makanan mekanikal (puree). 

Setelah terjun langsung di lapangan, barulah saya tahu bahwa kebanyakan para lansia di Amerika tinggal di rumah mereka sendiri, baik itu rumah biasa atau apartemen/condo. Mereka baru ke rumah sakit bila sakit. Mereka berobat jalan ke dokter praktek, dan yang sudah tak bisa menyetir sendiri bisa mendapatkan fasilitas antar jemput ke dokter, supermarket, gereja atau ke tempat lainnya. Fasilitas ini diberikan oleh County atau dapat juga mereka dapatkan dari perusahaan swasta.  

Bila mereka tak dapat lagi beraktifitas normal dalam kesehariannya, mereka dapat pindah dari rumah atau apartemen/condo ke Assisted Living. Assisted living ini berbeda dengan rumah jompo. Perusahaan yang mengelola tak hanya menyediakan perumahan, makanan, dan rekreasi, namun juga menyediakan sarana kebersihan/housekeeping, sampai sarana medis. Mahal? Tergantung tingkat sarana dan servis yang digunakan. Yang termurah dari kisaran 3500 dollar perbulan sampai 8000 dollar perbulannya. Lansia mendapatkan apartemen/kamar seperti studio, ada juga yang 1LDK (satu kamar tidur, living room, dining room, kitchen) atau 2LDK. Mereka masih dapat beraktifitas sebagaimana di rumah sendiri, namun mereka makan bersama di dining hall yang ada di setiap lantainya. Pegawai memastikan para lansia tersebut bangun tepat waktu, makan tepat waktu, meminum obat yang harus mereka konsumsi, mengikuti aktifitas yang disediakan institusi, hingga tidur tepat waktu pula. 

Bila lansia tersebut mempunyai kondisi kesehatan yang kronis dan perlu pemantauan dan perawatan 24 jam seharinya, sementara tak ada keluarga yang sanggup mennagani karena berbagai hal, biasanya lansi ini dikirimkan ke panti jompo/Nursing Home. Di sini mereka ditempatkan di kamar-kamar persis seperti kamar inap rawat di rumah sakit. Pegawai di Nursing Home sebagian besar adalah perawat berlisensi. Selain mereka ada bagian kebersihan, bagian laundry, bagian makanan, bagian administrasi dan Pastoral. Biaya untuk nursing home jauh lebih mahal dari biaya di Assisted Living, karena ini seperti tinggal di rumah sakit secara permanen.  

Bedanya, di sini para pasien harus makan di dining hall saat sarapan, makan siang dan makan malam. Mereka memepunyai beragam pilihan aktifitas juga. Namun kebanyakan penghuni Nursing Home ini juga menderita kepikunan/dimentia. Satu perawat bias menangani 8 sampai 12 lansia per shiftnya ( 8-12 jam). 

Bagi lansia yang terkena dementia/kepikunan, ada Nursing Home khusus bagi orang pikun. Ini biayanya termahal dari semua pilihan yang ada. Bayangkan seperti ward/pavilion khusus di rumah sakit dengan penanganan intensif. Perawat menangani 3-5 orang lansia per shiftnya (8-12 jam). Biasanya lansia juga sudah dalam masa kritis, dan menanti ajal, sehingga merekapun dikunjungi oleh tim medis khusus untuk Hospice/perawatan menjelang ajal. 

Bagi lansia yang sudah divonis ‘mati’ dan tak dapat disembuhkan secara medis oleh dokter, mereka berhak mendapatkan pelayanan Hospice karena ini adalah bagian dari sistem medis dan kesehtan di Amerika (Program Medicare/Medicaid). Jangka waktu pelayanan ini adalah selama setengah tahun, mereka akan mendapatkan kunjungan rutin baik dari asisten perawat, perawat, terapis, sampai dokter. Lansia dapat tetap tinggal di rumah mereka, atau di nursing home selama mendapatkan perawatan ini. Biayanya? Selama saat muda mereka bekerja, dan uang Social Security mereka mencapai lama tahun yang disyaratkan (minimal 8 tahun bekerja utnuk satu pekerjaan), maka mereka berhak mendapatkan uang Social Security. Sedangkan fasilitas Medicare/Medicaid ini tergantung  dari diagnosa dokter. Social worker dari rumah sakit yang akan mengurus pasien mendapatkan Medicare/Medicaid.

Saat sendiri

Saya tetap tak dapat mengubah prinsip saya bahwa kewajiban sayalah untuk merawat orang tua saya saat mereka tua.  Ayah saya meninggal di usia 64 tahun, belum masuk kategori manula menurut teori yang ada. Sementara Ibu saya masih 4 tahun lagi sampai memasuki usia lansia.

Dengan perubahan pola kehidupan di Indonesia, termasuk di Jakarta, tak mudah lagi menemukan tenaga kerja untuk membantu pekerjaan rumah seperti saat saya kecil dulu. Jangankan berfikir untuk membayar orang untuk merawat ibu, kini sangatlah sulit mencari pekerja asisten rumah tangga, atau baby sitter untuk keluarga adik. Akhirnya ibu saya banyak turun membantu dari menjaga cucu, memasak, hingga urusan merawat keluarga. Terbalik jadinya. 

Saya teringat seorang lansia di sini yang punya dua putri yang tinggalnya ribuan mil dari dirinya. Ke dua putrinya bergantian mengunjungi sang ibu sekali sebulannya dan menjaga ibunya selama 3 sampai 5 hari. Sang ibu tinggal sendiri dan hanya didampingi oleh penjaga dari perusahaan yang dibayar oleh ke dua putrinya. Pertama melihat nenek ini, saya langsung teringat kepada ibu saya di Jakarta. Langsung saya berdoa, semoga saya dapat merawat langsung ibu saya di hari tuanya nanti. Saya juga berdoa, semoga saat saya lansia nanti tak menemui kondisi seperti nenek ini.
 
Kedua putri nenek tersebut kaya raya, namun mereka bilang, mereka tak sanggup tinggal dengan ibu mereka sendiri karena tak tahan dengan perangai ibunda. Sang ibu yang mendekati usia 90 tahun sangat keukeuh dengan segala aturannya dan akan marah besar bila tak dituruti. Meskipun sudah sangat 'pelupa', namun mereka semua tak mau ibunya disebut pikun. Mereka memilih mengeluarkan puluhan ribu dollar sebulannya dengan tetap tinggal berjauhan. Saya sangat sedih melihatnya.

Andaikan saya tua nanti, ingin saya tinggal berdekatan dengan anak-anak saya. Tak harus tinggal satu rumah, namun dekat dengan anak cucu. Pastinya ibu saya juga mengharapkan hal yang sama. Alhamdulillah, adik saya dan keluarganya berbesar hati bersedia tinggal dengan ibu. Tinggal dengan orang tua pasti penuh suka duka, pasti banyak privasi yang terlanggar, pasti diwarnai juga dengan konflik. Namun, sangat jauh lebih baik dari pada  keseharian sang nenek kaya yang anak-anaknya saja 'emoh' tinggal bersamanya. Meskipun setiap datang membawa hadiah dan bunga serta berbagai macam hal yang dianggap dapat membahagiakan sang ibu, tak ada yang lebih membahagiakannya lebih dari ketulusan kasih seorang anak yang dengan hormat dan santun merawat orang tua dengan tulus, menjaga rahasianya, menutupi aibnya, hingga berpisah dari dunia ini.

Jadi lansia mesti dirawat anak atau dirawat negara? Sayangnya di Indonesia belum ada sistem kesehatan terpadu yang menjamin kesejahteraan penduduknya dari sebelum lahir sampai meninggalnya. Begitu sakit, habis terkuraslah semua tabungan dan harta benda yang dimiliki untuk membayar biaya medis. Seharusnyalah tidak sampai begitu. Saya tak hanya menantikan sistem kesehatan universal yang ideal  di Amerika, tetapi juga di Indonesia.

Semoga di Jakarta kehidupan nafsi-nafsi tak mengubah para anak menjadi 'emoh' merawat orang tua masing-masing. 

Hani
Louisville 2014

3 comments:

  1. Hiks, Mbak.... kok persis sama dengan ynag saya rasakan sekarang. Saya anak satu2nya dari orang tua. Papa (62), mama (60). Keduanya sakit diabetes. Walau sudah berusaha hidup sehat, ada kalanya salah satu dari mereka harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Sekarang ini ada seorang sepupu menjaga mereka. Sepupu tersebut sejak bayi ikut mama, jadi sudah seperti anak sendiri. Kalau tidak, aduhhhhhhh, saya tak berani membayangkan bagaimana jadinya. Sedangkan suami saya tidak berani jika pindah dan memulai dari awal lagi di tanah air... Benar banget kata Mbak Hani. Hanya doa2 ynag bisa kita kirimkan kepada mereka. ira

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dilematis ya Mbak Ira...saat kita menginjak usia menengah dan mulai mapan, ternyata kita sadar jarak terlalau jauh diantara kita dan orang tua. Saya sangat tergugah saat melihat nenek yang sudah pikun yang tinggal sendirian padahal ada anak cucunya. Selalu ternayang ibu di Ina. Insya Allah orang tua Mbak Ira selalu dalam lindunganNya dan diberi jalan Mbak yang lebih baik...Aamiin YRA

      Delete